Selamat membaca!
Begitu kedua kakinya sudah berpijak di atas lantai, Wildan segera mengambil langkah ke luar kamar, meninggalkan Hanum seorang diri di atas kasur yang telah ia balut dengan selimut tebal.
Khusus hari ini Wildan berniat membuat sarapan seorang diri tanpa bantuan Hanum, laki-laki itu sekalian mencoba kemampuannya untuk memasak, apakah beberapa kali pernah campur tangan saat Hanum mengolah makanan bisa membantu Wildan dalam melakukannya tanpa kekeliruan? Lihat saja hasilnya nanti saat di meja makan, setidaknya semoga saja rasanya masih bisa diterima lidah mereka untuk disantap.
Wildan hanya tidak ingin kondisi Hanum akan semakin parah dari pada sebelumnya karena dipaksakan untuk bergerak, maka dari itu sebelum tubuhnya benar-benar keluar dari kamar, Wildan sempat memberi arahan pada istrinya agar tidak kemana-mana dan mengistirahatkan diri yang mungkin terasa letih dengan baik, biar kali ini Wildan saja yang memegang kendali penuh di dapur, walau ia belum bisa memastikan akan bagaimana akhir dari usahanya ini.
Untuk masalah rasa sebenarnya Hanum bisa saja menyelipkan kata 'maklum' saat memakannya, baik itu akan membuatnya merasa puas karena rasanya lezat atau pun sebaliknya, namun yang membuat perempuan itu sedikit khawatir adalah kondisi dapurnya kelak setelah Wildan selesai membuat sarapan untuk mereka berdua.
Apakah insiden yang dulu pernah terjadi akan terulang kembali? Dimana ruang memasaknya sukses dibuat seperti kapal pecah karena ulah Wildan, bukannya membantu tindakan suaminya malah membuat Hanum sampai melafazkan kalimat istigfar dalam hatinya.
Setelah memastikan Wildan menghilang dari balik pintu yang dibiarkan terbuka, sambil memejamkan kedua mata Hanum lantas membuang napasnya perlahan.
Perhatian demi perhatian yang telah lama menghilang dari seorang Wildan telah kembali muncul dan diberikan padanya dengan penuh ketulusan hati, Hanum merasa sangat bersyukur, usahanya untuk tidak mengenal kata menyerah dalam memanjatkan doa akhirnya mendapat jawaban dari-Nya.
'Ya Allah, Terima kasih karena permintan hamba-Mu ini telah Engkau kabulkan.'
Rasanya Hanum ingin menangis sekarang juga, tetapi bukan tangis penuh haru yang ingin perempuan itu curahkan melalui air matanya, melainkan sebuah ungkapan terima kasih pada Sang Maha Kuasa atas segala karunia yang telah diberikan padanya seakan tiada henti.
Baru saja kemarin Hanum menjalani hari tanpa pendamping, namun kini keadaannya telah berubah 180 derajat, seorang laki-laki yang sering ia sebutkan dalam doa di sujud rakaat terakhirnya tadi pagi tiba-tiba saja sudah ada di rumah tanpa memberi kabar lebih dulu, seakan sedang membuat suatu kejutan yang telah suaminya rencanakan matang-matang.
Perlahan Hanum mengangkat tubuhnya sampai posisi setengah duduk, lalu meletakkan punggung ke kepala kasur sebagai sandaran, cukup bosan rasanya kalau hanya berdiam diri di sini tanpa melakukan apa-apa, perempuan itu lantas mengedarkan pandangannya ke seluruh menjuru ruangan, mencari sesuatu yang bisa menarik perhatiannya.
Arah matanya lalu berhenti pada suatu benda berbentuk pipih yang ada di atas nakas sebelum ia raih ke genggaman tangan kanannya, sebuah gambar berbingkai tipis yang diambil dua tahun lalu, saat Wildan mengikatnya dalam kata pernikahan di suatu Masjid besar di kawasan Bandung, Jawa Barat.
Disaksikan oleh teman dekat dan keluarga besar oleh kedua belah pihak, baik itu dari Hanum maupun Wildan, Hanum masih ingat betul akan rentetan acara yang dilaksanakan di sana, bahkan saat Wildan tidak lancar dalam melafalkan ijab kabul juga masih melekat dipikirannya, karena saking gugupnya Hanum saja sampai bisa melihat keringat dingin yang menetes di kening calon suaminya.
Suasana yang tegang membuat Wildan tidak bisa mengulang kata-kata yang dituturkan oleh Ayahanda Hanum dengan baik, ahasil Wildan yang kerap dipandang sebagai laki-laki yang penuh kesungguhan hati, pada hari itu jadi sasaran empuk para undangan yang hadir sebagai bahan guyonan.
Otaknya tiba-tiba memutar ulang kejadian dimana Hanum pertama kali berjumpa dengan Wildan, kedua insan itu tidak sengaja bertemu di sebuah kafe yang tak jauh dari kampus tempat mereka menuntut ilmu.
Saat itu Hanum serta keempat sahabatnya yaitu Jia, Acha, Hannah, dan Alma tengah memanfaatkan waktu yang ada selama masa istirahat dengan mengisi perut.
Hannah memiliki peran penting disini, ia adalah apa yang banyak masyarakat sekarang bilang sebagai makcomblang, perantara yang menghubungkan Wildan dan Hanum hingga terikat seperti sekarang.
Hannah tidak sengaja menemui teman laki-lakinya di sebuah meja yang berada tak jauh dari tempat mereka duduk, laki-laki itu adalah Alan—yang kini resmi menjadi seorang suami dari Jia.
Alan yang tengah bersantai sembari menemani Wildan mengejarkan tugas dari sang dosen lantas dihampiri oleh Hannah, Jia, dan Acha.
Ketika Alan sibuk bertukar kata dengan Hannah dan kedua temannya, perhatian Wildan dari tumpukkan kertas di atas meja lantas teralihkan pada seorang perempuan berparas cantik yang tengah berkutat dengan sebuah laptop di depannya.
Singkat cerita, begitu Wildan sudah mengetahui kalau perempuan itu bernama Hanum, laki-laki itu mencoba menguliknya lebih dalam dengan mengajak Hanum pulang bersama, tentu mereka di mobil tidak hanya berdua, melainkan dengan ditemani oleh Jia dan Alan.
Setelah mereka sampai di tempat tujuan Hanum dan Jia lantas turun dari mobil yang dikemudikan langsung oleh Wildan, namun sebelum itu terjadi Wildan sempat meminta izin pada Hanum untuk ke rumah perempuan itu nanti malam bersama orang tuanya.
Hanum yang belum mengerti sepenuhnya akan penuturan Wildan hanya menganggukan kepala paham, memberi prasangka kalau laki-laki itu hanya sedang melontarkan sebuah lelucon.
Namun diluar dugaan saat hari sudah gelap Wildan benar-benar datang ke rumah Hanum, ditemani oleh kedua orang tuanya di sisi kiri dan kanan.
Belum pulih keterkejutan Hanum atas kemunculan Wildan yang tiba-tiba, perempuan itu tersentak kaget begitu mengetahui tujuan utama Wildan kemari, Wildan ingin mengkhitbahnya.
Mengingat kejadian itu membuat kedua sudut bibir Hanum terangkat ke atas, Tuhan memiliki rencana yang tidak terduga bagi Hambanya.
"Kamu mau makan apa, sayang? Aku sampai lupa mau masak apa." tanpa mengetuk pintu tiba-tiba saja Wildan muncul dengan memakai celemek di tubuh tegapnya, membuat Hanum telonjak kaget, foto pernikahan yang ada di genggaman tangannya pun sampai terjatuh ke atas lantai.
Cepat-cepat Hanum meraih gambar itu kembali, tidak peduli kalau ada pecahan kaca yang bisa melukai jemari tangannya.
Hanum sempat mengucap syukur saat mengetahui kaca yang melindungi gambarnya tidak sampai pecah dan berhamburan ke lantai, namun yang membuat perempuan itu tertegun adalah retakan kaca yang ada berada tepat ditengah-tengah mereka, seakan sebuah pertanda buruk datangnya suatu kejadian yang akam menimpa mereka.
Untuk beberapa detik Hanum nampak terdiam, berusaha mengusir pikiran-pikiran itu dari kepalanya, ia tidak ingin membuang waktunya untuk memikirkan hal-hal tidak penting seperti itu, karena Hanum yakin segala sesuatu yang di muka bumi ada tangan Allah, bukan lainnya yang bisa menjurus ke arah musyrik.
Namun tetap saja itu sukses membuat Hanum merasa gundah, Wildan yang tengah berdiri di daun pintu juga sampai menatapnya penuh tanda tanya.
Terima kasih sudah membaca! Sampai jumpa di bagian berikutnya! Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote atau comment, ya!
Mau cerita Jia sama Alan jadi bisa ikutan married nggak? Hahaha
Kalau mau baca lebih detail bagaimana Hanum dan Wildan bisa bertemu kalian bisa baca 'Khitbah' di work aku.
Itu prekuelnya, cuma cerpen kok🥰 jadi nggak butuh waktu lama bacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu (terbit)
EspiritualApa yang akan kau rasakan begitu mengetahui suami yang kau cintai sepenuh hati ternyata memiliki perempuan lain di luar sana? Sakit? Tentu! Itu yang Hanum rasakan begitu mengetahui jika Wildan, suaminya yang sedang bertugas di luar kota didapati mem...