15. Luruh

51K 3.7K 443
                                    

Selamat membaca!

🌤double update nih🌤

Setelah mengisi perut di rumah makan yang berada di pinggir jalan dan singgah di sebuah Masjid untuk melaksanakan ibadah salat Maghrib secara berjamaah, keempat manusia itu lantas pulang ke rumah masing masing.

Di sepanjang jalan menuju kediamannya, Hanum terus melamun dengan tatapan kosong tak berarti ke luar jendela, pikirannya masih dipenuhi dengan satu rahasia akbar dari Wildan yang tak sengaja Fiza curahkan, jika tidak ada Fiza, mungkin kebohongan itu akan terus berlanjut tanpa sepengetahuannya, entah sampai kapan itu akan terbongkar.

   Hanum tidak henti-hentinya memanjatkan doa kepada Allah, meminta pertolongan-Nya agar semua baik-baik saja. Tidak ada yang terluka hatinya.

Hanum tahu ini mungkin hanya masalah kecil yang laki-laki itu lakukan, tapi kenapa rasanya sesakit ini? Bahkan napasnya seakan tercekat saat mendengar pernyataan dari Fiza kalau Wildan selama ini sudah berbohong.

   Terlalu jauh meninggalkan realitas, Hanum sampai tidak sadar kalau ada Guntur di depan sana yang diam-diam mengamatinya, sesekali laki-laki berkulit sawo matang itu juga tersenyum samar kala Hanum menarik kedua sudut bibirnya ke atas.

Fiza seakan tidak kehabisan cara untuk membuat suasana di mobil jauh dari kata canggung, mungkin orang-orang juga akan mengira kalau mereka sudah lama saling mengenal satu sama lain, seolah tidak ada kata sungkan saat mereka bertukar kata.

Fiza terus mengeluarkan segudang gurauan yang sebenarnya tidak membuat mereka tertawa. Justru sikap lemot dari Guntur lah yang menjadi pelebur rasa jenuh di sini.

   Bahkan tidak sekali Fiza dibuat kesal ketika Guntur baru memahami arah pembicaraan mereka saat selesai bersuara, kalau diperhatikan lebih dalam, ternyata sikap Guntur sebelas duabelas dengan Jia.

Beberapa detik kemudian Hanum memutar kepalanya ke samping, menyapa Meisya yang masih tampak bersedih, perempuan itu hanya membalas Hanum dengan tersenyum yang ia bentuk dengan terpaksa.

"Aku antar kamu dulu ya,
Num?" tanya Fiza.

"Iya, Fiz."

•••

   Beberapa menit kemudian, akhirnya mobil milik Guntur berhenti di depan rumahnya, seperti hari yang sudah lalu, Hanum menginjakkan kedua kaki saat hari sudah gelap, bahkan penerangan di rumahnya belum menyala.

   "Terima kasih ya sudah antar aku pulang,  makanannya juga." Hanum mengangkat sebelah tangannya yang menenteng plastik berisi makanan untuk Wildan.

   "Sama-sama Num,"

   "Aku masuk duluan, ya?" Tanya Hanum meminta izin.

   Baru Fiza membuka mulut, Guntur sudah menyalipnya. "Iya, kamu hati-hati."

   "Kalian yang harus hati-hati," balas Hanum membuat dua laki-laki itu salah tingkah.

   Fiza semakin menurunkan kaca mobilnya. "Ya sudah, kami pulang ya, Num?"

   "Iya, jangan ngebut ya? Ada temanku di belakang."

   "Siap, Num!" Fiza melipat tangannya sejajar kening.

   Hanum tertawa kecil.

   "Assalamualaikum!" pamit Fiza setengah berteriak.

   "Waalaikumussalam," balas Hanum sambil melambaikan tangannya sampai mobil berwarna putih itu hilang dalam pandangannya. Perempuan itu lantas berbalik, melangkah masuk ke dalam rumahnya setelah membuka pintu yang terkunci, lalu menyalakan lampu sampai runganan menjadi terang.

Madu (terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang