10. Berpisah lagi

50.1K 3.3K 133
                                    

Cerita ini sedang aku ikut sertakan dalam lomba menulis Grassmediagroup, jadi maaf jika bab 4-9 aku publish ulang, karena memang sudah termasuk dari ketetapan yang berlaku.

Namun bab 10 ini sudah baru, yeay!! Mohon doa dan dukungannya, ya!❤️❤️❤️

Selamat membaca!

Jam digital di atas nakas telah menunjukan waktu pukul 2 dini hari, Wildan terbangun karena deringan alarm yang ia atur di ponsel pintarnya, sebuah pengingat yang sengaja laki-laki itu tetapkan agar bisa terlepas dari alam mimpi.

   Wildan hendak melakukan salat Tahajud, suatu ibadah sunnah yang sengaja ia amalkan setelah terjaga, menghadap Allah dengan sekurangnya dua rakaat dan sebanyaknya tanpa penentu.

Dengan rasa kantuk masih melanda Wildan beralih duduk, lalu menujukan kedua matanya ke arah Hanum, tubuh perempuan itu sedang berbaring membelakanginya, namun Wildan tahu betul kalau istrinya belum terpejam.

Sejak mereka mengistirahatkan diri tadi malam, sesekali Wildan bisa merasakan kasurnya bergetar, Hanum seakan berusaha mencari posisi tidur yang bisa membuatnya nyaman, atau kemungkinan kedua yaitu Hanum tengah dirundung perasaan gelisah sampai membuatnya merasa tak tenang, semoga saja argumen pertama yang menjadi penyebabnya.

"Kenapa belum tidur?" tanya Wildan dengan suara serak khasnya.

   Hanum tidak menjawab, berlagak tidak sadarkan diri.

  "Aku tahu kamu masih bangun," perlahan Wildan menarik pundak istrinya sampai tatapan mereka bertemu. "apa yang kamu pikirkan?

    Hanum berjuang menyimpan perasaan gusarnya, perempuan itu tidak ingin Wildan merasa khawatir berkat ulahnya, "lagi susah tidur aja, mas." jawab Hanum bohong.

Kalau boleh jujur, pikirannya masih berkecamuk dengan segala peristiwa yang terjadi pagi lalu, dari amarah yang pertama kali Hanum lihat dari seorang Wildan, Wildan yang mendadak menitikan air mata, sampai kemunculan sesosok perempuan bernama Maya yang sukses membuat suaminya kegirangan begitu dihubungi via telepon.

Tidak pernah Hanum melihat Wildan sesenang ini, dari air muka yang Hanum lihat, suaminya itu seolah merasa kalau Maya adalah orang yang spesial dan layak dinanti.

Mengingatnya saja sudah mampu membuat hatinya terasa ditusuk ribuan jarum tanpa henti.

   Pagi itu, setelah Wildan keluar dari rumah untuk menerima panggilan dari Maya, Hanum melanjutkan aktivitasnya untuk menonton televisi tanpa bisa menyimak isi acara, otaknya sibuk menerka-nerka pokok dari pembicaraan mereka di sana, apa yang Wildan dan Maya bicarakan sampai suaminya itu betah di luar berlama-lama? Bahkan dua puluh menit waktu berselang, Wildan belum juga menampakkan batang hidungnya, seasik itu kah bertukar kata dengan perempuan yang jelas-jelas bukan mahramnya? Sampai melupakan kehadiran Hanum yang merupakan istri sendiri.

   Kala Hanum mematikan televisi untuk kembali ke kamar, barulah Wildan datang, kepala laki-laki menunduk, tidak berani menatap Hanum secara langsung.

"Aku mau salat tahajud, kamu ikut?" ajakan Wildan menyadarkan Hanum.

•••

"Tadi kamu berdoa apa sama Allah?"

   Hanum yang tengah melipat mukena lantas menoleh, mereka telah melaksanakan salat tahajud dengan khidmat, kini keduanya disibukan dengan merapikan alat ibadah yang tadi mereka pakai.

Madu (terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang