17. Perlawanan Hanum

64K 4K 522
                                    

Selamat membaca!

Jam berapa kalian buka ini?

Setelah melaksanakan ibadah salat Isya secara berjamaah dengan Hanum, Wildan lantas melanjutkan aktivitasnya untuk mempersiapkan diri sebelum pergi meninggalkan rumah.

Sambil berdiri di depan cermin yang menempel di dinding, laki-laki itu menata rambutnya yang masih sedikit basah hingga rapi dan mengilap, juga menyemprotkan parfum ke seluruh bagian tubuhnya yang terbungkus oleh kemeja berwarna biru dongker.

Sementara Hanum, perempuan itu sedang berada di dapur, menyiapkan bekal untuk Wildan, memasukan nasi dan lauk yang ia peroleh saat makan bersama Fiza, Guntur, dan Meisya.

"Mau aku siapkan juga air untuk minumnya, Mas?" Tawar Hanum sedikit lantang agar bisa didengar Wildan yang masih berada di kamar.

Wildan memiringkan tubuhnya sebentar, menatap punggung Hanum dari belakang, "Aku bisa beli air mineral di luar," jawabnya menolak tawaran Istrinya.

   Tiba-tiba ponsel Wildan yang ada di atas meja bergetar hebat, diiringi dengan nada dering yang mengalun keras, dalam sekejap Wildan sudah meraih benda itu ke dalam genggaman tangannya, menerima panggilan dengan senyuman lebar, dan menempelkannya ke telinga.

Hanum tidak menghentikan kegiatannya, perempuan itu terus bergerak mencari tas kecil yang bisa menampung bekal makanan milik Wildan, namun dalam hatinya Hanum berharap panggilan telepon itu bukan dari Maya—perempuan yang sudah membagi cinta Suaminya menjadi dua.

"Assalamualaikum," Wildan berucap, laki-laki itu lalu mengambil langkah ke luar rumah, seakan tidak membiarkan Hanum mendengar pembicaraan mereka walau sepatah kata saja.

   Setelah semuanya siap, Hanum masuk ke dalam kamar, mengganti pakaian santainya dengan busana berjenis Abaya yang rajin perempuan itu gunakan ketika menghadiri acara keluarga, gayanya tidak begitu modis memang, tapi masih jauh lebih baik dari yang ia pakai sebelumnya.

Disaat yang sama saat Hanum keluar dari kamar, Wildan juga masuk ke dalam rumah, tatapan mereka bertemu, laki-laki itu memandangnya dari ujung kepala sampai ujung kaki, dibuat terkejut dengan penampilannya yang kini tampak anggun layaknya seorang bidadari surga.

  Bahkan perempuan yang pertama kali ia temui batang hidungnya di cafe itu turut  menyampirkan sebuah tas berukuran kecil di pundaknya, menambah kesan elegan.

Kejadian dua tahun lalu seakan terulang kembali, Wildan terpana melihat Hanum. Laki-laki itu lantas berjalan mendekat.

"Kamu mau kemana?" Tanya Wildan dengan mata berbinar.

"Ke rumah Jia, boleh kan Mas?"

   "Berangkat pakai apa? Taksi? Biar aku yang antar,"

   "Nanti dia yang jemput aku ke sini,"

   Entah habis kemasukan arwah mana, mendadak Wildan menarik Hanum ke dalam pelukannya, sebuah pelukan singkat namun tetap terasa hangat.

Hanum tidak membalas, perempuan itu hanya diam tanpa mengeluarkan ekspresi.

    "Jangan membantah, aku tunggu di mobil ya?" Ucap Wildan setelah menyentuh dagunya, laki-laki itu lalu berjalan ke luar rumah dengan kedua tangan yang menenteng tas kerja dan bekal makanan.

Madu (terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang