Selamat membaca!
Kenapa Wildan bisa berubah seperti demikian begitu mendengar cercaan dari Jia? Memang, segala perkataan yang Jia lontarkan pada suaminya itu sangat tepat sasaran dan tidak bisa tampik dengan alasan apa saja sebagai pelindung, namun apa yang menjadi penyebab Wildan sampai menyambutnya dengan amarah?
Tidak pernah sebelumnya Wildan menunjukan rasa tidak senangnya secara terang-terangan di depan Hanum, lazimnya laki-laki itu malah melafalkan kalimat memohon ampun kepada Allah jika dihadapkan dengan situasi seperti sekarang.
Namun ajaibnya saat mereka duduk di meja makan, Wildan justru kembali bergaya seperti biasanya, berbanding terbalik dengan Wildan yang ada di kamar beberapa menit lalu, laki-laki itu bersikap seakan insiden tadi tidak pernah terjadi, dan berpikir semuanya baik-baik saja.
Cukup lama Hanum terjebak dalam alam bawah sadarnya, bahkan perempuan itu baru menyadari kalau ada sesuatu yang ganjil dari Wildan, suaminya itu tampak terus memandangnya dalam tanpa berkedip.
Entah sejak kapan Wildan melakukannya, yang pasti nasi dan lauk di atas piring miliknya ibarat tidak tersentuh sedikit pun, mungkin hanya hitungan jari Wildan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Hanum mencoba mengulas senyuman ayu di bibir merahnya, tetapi kening perempuan itu tahu-tahu berkerut begitu mengetahui bukan tatapan terpesonalah yang Wildan pamerkan, mimik wajah yang laki-laki itu pajang seolah menyiratkan jika ada sejuta luka yang ia tutup rapat dan tak ingin satu orang pun tahu.
Rasa khawatir perlahan datang, Hanum menggeser piring dan gelasnya ke samping, ingin menitik beratkan pusat perhatiannya sekarang pada sang suami. "kenapa, mas?"
Pelan-pelan Hanum menarik kedua tangan Wildan ke dalam genggamannya, berikhtiar memberi ketenangan melalui usapan lembut.
Wildan diam membisu, tidak ada reaksi yang ia tunjukan.
"Kamu kenapa?" kali ini Hanum melisankan suaranya dengan nada yang naik satu oktaf.
Mendadak Wildan menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman getir, laki-laki itu tidak menjawab pertanyaan Hanum dengan kata-kata, melainkan hanya melalui gelengan kepala pelan yang diiring oleh sebuah ciuman mesra yang ia daratkan di kening istrinya.
Seolah akan berpisah, lama-lama Wildan menempelkan bibir di permukaan kulit istrinya, Hanum bahkan sampai tertegun melihat sikap suaminya.
Begitu dua objek itu terlepas, baru Hanum menginsafi ada yang salah di sini, sepasang mata Wildan tampak berkaca-kaca, cepat-cepat Hanum menggeser kursinya ke samping, mengikis jarak yang memisahkan mereka.
"Kamu kenapa, mas?!"
"Maaf,"
Hanya dua kosa kata itu yang bisa Wildan keluarkan, mulutnya terasa kelu.
"Untuk?"
Satu tetes air berhasil lolos dari matanya, Wildan menatap Hanum dengan tatapan penuh perasaan bersalah, "apa yang temanmu bilang itu benar, aku suami macam apa? Aku sudah buat kamu begini."
Mendengar permohonan maaf dari Wildan, Hanum tersenyum haru, ada rasa senang yang terselip di sana.
Berkali-kali Wildan memberi kecupan hangat di tangan Hanum, berharap itu bisa menebus segala dosa yang telah ia perbuat pada istrinya.
Wildan menatap Hanum polos, seperti anak kecil yang tengah merengek pada orang tuanya. "sekali lagi maaf, ya?"
Hanum hanya menganguk pelan, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Wildan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu (terbit)
EspiritualApa yang akan kau rasakan begitu mengetahui suami yang kau cintai sepenuh hati ternyata memiliki perempuan lain di luar sana? Sakit? Tentu! Itu yang Hanum rasakan begitu mengetahui jika Wildan, suaminya yang sedang bertugas di luar kota didapati mem...