Selamat membaca!
"Hanum," panggilan Jia menyadarkannya dari alam lamunan yang perempuan itu masuki sejak tadi.
Hanum memperbaiki posisi duduknya sambil berdeham, "iya, aku masih di sini."
"Kalau aku jadi kamu, mungkin sudah lama aku protes, dan tanya apa yang jadi alasan dia sikapnya akhir-akhir ini berubah."
"Iya."
"Iya apa? Jangan cuma diam, Hanum! Kamu jauh lebih berharga dari pada itu." sungguh, Jia sangat gemas dengan sikap sahabatnya ini, perempuan itu tidak tahu terbuat dari hati Hanum sampai kuat dalam keadaan seperti sekarang.
Menjalani LDM atau Long Distance Marriage dalam usia pernikahannya yang sudah memasuki angka kedua, Hanum seakan tidak merasa gundah sama sekali akan Wildan, ia sangat meyakini suaminya baik-baik saja di sana, tidak melakukan apapun yang salah.
"Aku baik-baik aja, kamu nggak perlu khawatir." ucap Hanum dengan lembut.
"Iya mungkin kamu baik-baik aja di sana! Tapi aku yang khawatir sama kamu di sini." balas Jia terdengar tak terima. Tentu saja begitu, mereka begitu dekat sampai Hanum sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri, perempuan itu hanya tidak ingin sahabatnya terus dalam keadaan berduka.
"Mungkin dia cuma terlalu fokus kerja supaya tugasnya selesai, terus bisa pulang lebih cepat." Hanum terus saja berusaha berpikir positif, menepis semua hal-hal buruk yang sering terlintas di kepalanya, ia tahu betul bagaimana Wildan—suaminya sendiri.
"Itu yang ada pikiran kamu, Hanum! Bagaimana kalau ..." Jia berhenti mengeluarkan suara, tidak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya yang menggantung.
Terdengar buangan napas kasar dari Jia, kedua alis Hanum bertaut, perempuan itu ingin tahu akan apa yang sebenarnya ingin sahabatnya ucapkan, "Kalau apa, Jia?"
"Nggak jadi," balas Jia pasrah.
Sesaat kemudian hening mulai datang menyelimuti mereka, baik Jia atau pun Hanum tidak ada yang ingin membuka mulut, tetapi tak berselang lama tiba-tiba terdengar suara aneh yang berasal dari dalam perut Hanum, sontak hal itu sukses membuat Jia yang ada di seberang sana tertawa lepas, "suara apa itu, Hanum?" tanya Jia bersandiwara seakan tidak terjadi apa-apa, mencoba menahan tawa yang sempat pecah beberapa waktu lalu.
"Kamu dengar?"
Jia kembali tergelak, "Iyalah! Bahkan suara detik jam yang ada di rumah kamu aja bisa aku dengar suaranya."
"Kamu ada-ada aja." ucap Hanum tersenyum tipis, mendengar tawa Jia ternyata bisa membuatnya sedikit terhibur, setidaknya ia bisa melupakan luka di hati walau hanya bersifat sementara.
"Ya sudah, kamu sekarang makan ya?" titah Jia dengan suara pelan.
"Iya,"
"Mau aku temenin makannya?"
"Nggak perlu yang ada nafsu makan ku hilang kalau begitu." balas Hanum membuat Jia terkekeh.
"Ada aja! Yang ada kamu makin semangat loh makannya."
"Serius? Kalau begitu aku makan dulu ya? Nggak ada kamu tapi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu (terbit)
EspiritualApa yang akan kau rasakan begitu mengetahui suami yang kau cintai sepenuh hati ternyata memiliki perempuan lain di luar sana? Sakit? Tentu! Itu yang Hanum rasakan begitu mengetahui jika Wildan, suaminya yang sedang bertugas di luar kota didapati mem...