Sarada masih menunggu Sakura yang membereskan kafenya bersama para pegawainya yang lain dan Ino, sahabat pirang wanita itu.
Gadis kecil itu mengayunkan kakinya dalam diam dan menjelajahi ruangan itu dengan matanya yang bulat.
"Nah, Sarada. Kemana aku harus mengantarmu?" Sakura duduk di samping gadis itu.
Sarada terdiam. Haruskah ia pulang? Walau sebenarnya hatinya sangat berat, entah kenapa ia merasa nyaman dengan Sakura dan rasanya tidak rela jika harus berpisah secepat itu.
Sarada menggeleng, "Aku tidak mau pulang."
Sakura mendesah lelah. Ino memandangnya khawatir dan Sakura memberikan senyum tipis, "Pulanglah, Ino. Aku akan mengantar anak ayam ini."
Sarada mendesis, ia tidak terima dikatakan anak ayam, meskipun rambut ayahnya mirip bokong ayam, namun ia tidak bisa marah dengan wanita itu. Ia sendiri bingung kenapa ia dengan mudah percaya dan merasa nyaman dengan wanita itu, padahal mereka baru pertama kali bertemu.
"Ayo, Sarada. Kau harus pulang."
Sarada memanyunkan bibirnya. Ia mengeraskan tubuhnya agar Sakura tidak bisa menarik tubuhnya. Badannya bagai dipaku di bangku kayu tersebut.
Sakura mendesah lelah. Ia menatap tajam bocah tersebut dan mencoba sekali lagi menarik tubuhnya.
"Ayolah ... Sarada. Atau kau mau aku antar ke kantor polisi? jadi aku bisa pulang dan tidur dengan nyaman."
Sarada langsung menangis kencang, "Huaaa ... Hiks ... Hiks ... Mamaaa!"
Sakura langsung gelagapan. Ia menepuk-nepuk punggung Sarada dan menenangkan gadis itu.
"Hei, sstt ... Sudah, sudah, baiklah. Jadi, kau mau kemana? Mau ikut ke rumahku?"
Sarada langsung berhenti menangis. Ia mengangguk dan terus menunduk dengan seringai di wajahnya.
"Baiklah, ayo kita pulang."
Sarada mengangguk senang. Ia segera turun dan meraih tangan Sakura mengayunkannya dengan gembira.
Sakura memutar matanya, ia tau jika bocah itu hanya berpura-pura. Bocah licik, memang berapa umur bocah itu? Sakura juga tidak tau.
Sakura berhenti di kediamannya. Ia turun dari mobil tuanya dan menyuruh gadis itu mengikutinya.
Sarada berdecak kagum, "Wah! Ternyata rumahmu mewah, tidak jauh berbeda dengan mension milik Uchiha."
Uchiha?
Jangan-jangan, bocah perempuan ini adalah keturunan Uchiha?
Sakura membatin dan terus mengamati gadis itu. Dari fisik memang memperlihatkan Uchiha sekali, tapi ia belum yakin. Setelah ini ia akan mencaritahu tentang gadis itu.
Moegi memicing tajam dari ujung tangga. Ia berjalan cepat menuju Sakura dan Sarada.
"Kenapa Kakak bawa dia ke sini?" suaranya yang cukup nyaring mampu membuat penghuni lain berlarian ke arah mereka. Mereka pikir ada perampok yang masuk. Asisten rumah tangga yang terhitung puluhan itu mundur perlahan begitu mengetahui siapa yang datang.
"Sakura, siapa dia?" tanya Sasori dan mendekat mengamati Sarada yang bersembunyi di belakang tubuh Sakura.
Sakura terkekeh kecil melihat sisi manis Sarada, "Aku menemukannya di selokan, Kak."
"Ya, ampun. Siapa yang tega membuang kucing manis ini di selokan?" Sasori mencubit dua pipi gembil Sarada. Gadis itu menepisnya karena pipinya sakit.
"Sudah, sudah, dia kelelahan dan perlu istirahat. Kalian juga istirahat," celetuk Sakura seraya menuntun Sarada ke lantai atas.
Moegi mengikuti Sakura di belakangnya, "Dia akan tidur di mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin MAMA, bukan IBU (SasuSakuSara)
Short Story___cerita kesembilan___ Sarada adalah anak yang baik dan penurut, namun ketika Papanya mulai mengenalkan wanita lain sebagai kekasih kepadanya, jiwa berontaknya timbul secara perlahan. Ia menjadi gadis yang pembangkang dan tidak pernah mau bersikap...