XIV

4.6K 571 123
                                    

"Apa kau punya paviliun di daerah ini?"

Karin menyodorkan ponselnya pada Sasuke yang duduk di sebelahnya. Mereka sedang di dalam mobil menuju lokasi Sarada berada sekarang.

Sasuke menatapnya dalam diam. Ia mengernyit memperhatikan titik merah yang sedang mereka tuju. Yang ia ingat itu adalah perbukitan dan ada kuil tua di sana, namun tidak ada paviliun ataupun sejenisnya di sana. Hanya ada rumah penjaga kuil yang kini sudah jarang dikunjungi karena daerahnya yang cukup sulit dijangkau dan juga jalannya yang cukup berbahaya.

"Tidak," sahutnya seraya menggeleng.

Sasuke menunduk. Kini ia tidak bisa menutupi rasa gelisahnya. Apa yang dilakukan putrinya di sana, dan bagaimana bisa Sarada pergi ke sana sementara dirinya tak sekalipun pernah mengajak putrinya pergi ke sana? Tempat itu banyak menyimpan duka. Tempat itu menyimpan kenangan pahit antara dirinya dan Sakura, dan di tempat itu pula ia terancam kehilangan wanita dan buah hati yang ia cintai. Tidak. Tidak. Ia memang sudah kehilangan wanita itu sejak dulu.

Sasuke menekan pelipisnya. Rasanya begitu pusing, ditambah lagi rasa yang sangat sesak di dadanya membuatnya tidak bisa berkonsentrasi. Ia berkali-kali menarik dan menghembuskan nafas agar merasa sedikit plong, tapi ia belum bisa benar-benar bernafas lega sebelum melihat Sarada baik-baik saja. Kini, hanya ada Sarada di hidupnya. Apapun akan ia lakukan demi menjaga buah hatinya dan Sakura.

"Bisa lebih cepat?"

"Baik, Pak!" sahut supir pribadinya menambah dalam injakan pada pedal gas.

Sasuke menghubungi beberapa anak buahnya untuk berjaga-jaga jika saja ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi.

Karin terdiam. Ia tidak mau membuka mulut ataupun mengintimidasi Sasuke saat ini. Pria itu terlihat sangat frustasi dan terpukul. Ia pasti merasa bersalah karena tidak becus menjaga Sarada.

Karin sendiri menduga-duga jika gadis itu pergi pasti ada hubungannya dengan tabloid tentang Sakura yang ia baca. Memang tidak seharusnya Sasuke masih menyimpan itu semua, bahkan ia sudah pernah menyuruh pria itu untuk membakarnya, tapi Sasuke bilang hanya ingin mengenang dan mengingatkan kesalahan terbesarnya. Sangat tidak logis menurutnya, tapi mau bagaimana lagi, saat itu Sasuke benar-benar terpukul dengan kabar kematian Sakura.

Mobil tiba-tiba oleng begitu supir membanting setir ke kiri dan mereka hampir menabrak pembatas jalan.

"Ck, sialan! Ada apa?" Karin mengusap dahinya yang terantuk kaca mobil cukup kencang. Ia berkaca dan melihat dahinya memerah. Sasuke sendiri hanya diam sambil berpegangan erat.

"Maaf, Tuan, dan Nyona. Ada mobil yang melintas sangat cepat di tikungan."

Karin mendecak sekali lagi, "Buat apa sih kebut-kebutan di jalan curam seperti ini. Mau cari mati?"

Sasuke memutar bola matanya. Ia ingin sekali membuka mulut dan menyuruh Karin untuk diam, tapi yang ia lakukan hanya bergeming dan terus menatap ke depan. Sekilas ia merasa tidak asing dengan mobil yang lewat seperti pembalap barusan. Seperti pernah melihatnya, tapi ia lupa dimana dan mobil siapa?

"Mobil merah tadi seperti mobil orang kaya. Iya, kan?"

Sasuke memberi jarak antara dirinya dan Karin. Ia sangat malas mendengar ocehan wanita itu. Ia mendekat ke sisi pintu dan menatap jalanan di luar jendela.

Karin menatapnya karena tak mendapat tanggapan sedikitpun. Ia memanyunkan bibirnya dan mencibir pria itu.

"Rasanya yang memiliki mobil itu hanya keluarga Sabaku dan Akasuna." Karin sengaja mengatakan itu untuk memancing perhatian Sasuke, dan ternyata benar, Sasuke langsung mengalihkan tatapannya pada sang sekertaris. Ia menyipit.

Aku Ingin MAMA, bukan IBU (SasuSakuSara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang