Sarada turun dari mobil dan berlari menuju kafe dimana Sakura ada di dalamnya. Ia celingak-celinguk dan menemukan Moegi sedang menatap ke arahnya. Seketika Sarada cemberut menatap tak suka pada gadis remaja tersebut.
Moegi pun tak kalah kesal. Ia tidak suka melihat Sarada yang berusaha mencuri perhatian kakaknya. Perhatian Sakura hanya untuknya tidak boleh dibagi-bagi dengan siapapun karena Sakura adalah kakaknya bukan kakaknya Sarada.
"Mau apa, Bocah?"
Sarada menatap Moegi dengan sorot datar dan malas. niatnya ke kafe bukan untuk berdebat tetapi bertemu Sakura yang sudah lama tidak ia temui semenjak dirinya disibukkan dengan sekolahnya, dan sekarang kehadiran Moegi membuat moodnya terjun bebas dari Langit menuju lapisan Bumi paling bawah, apalagi tatkala menatap wajah Moegi yang luar biasa songong dan minta dilempari dengan bata.
"Bukan urusanmu!" sahutnya dengan nada ketus.
Peperangan dingin yang dulu terjadi ternyata belum menyurut seiring berjalannya waktu meskipun itu sudah lama berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu.
Gadis yang kini beranjak remaja itu menyunggingkan bibirnya dengan sinis. ia berlalu menuju ruangan atas menghiraukan kehadiran Sarada yang menurutnya sangat tidak penting untuk ia perhatikan apalagi ia ladeni dalam berdebat. bukannya takut kalah loh, ya ....
Melihat kepergian Moegi membuat Sarada mengernyitkan keningnya yang lumayan lebar tapi tidak selebar lapangan bola. Tetapi ia memilih tidak peduli daripada harus pusing memikirkan hal yang tidak penting.
"Hai!" sapanya begitu melihat Sakura keluar dari ruangan pribadinya di lantai atas. wanita itu terlihat lelah dan pucat. Sarada segera mendekati dan menyentuh tangannya. "Apa kau masih sakit?"
Sakura tersenyum tipis. Ia mengusap tangan mungil Sarada yang menggenggam pergelangannya. Rasa hangat menjalar ke dalam hatinya yang sempat beku saat kehadiran Mebuki di sana sebelumnya. Ia tatap mata hitam bulat itu penuh kerinduan dan kesakitan yang mendalam.
Sarada terdiam dan ikut menatap mata Sakura lamat-lamat, entah kenapa perasaan nyaman itu langsung hadir bahkan sejak pertama pertemuan mereka dulu. seandainya boleh berharap, ia memang menginginkan Sakura sebagai sosok ibu untuknya meski ia sempat kecewa dengan tabloid yang dulu pernah ia temukan di ruang kerja pribadi papanya.
"Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah dan kepalaku agak pusing."
"Sebaiknya kau pulang saja. Biar Bibi Ino yang mengurus kafe hari ini,"
Dan aku bisa menjalankan rencanaku. Gumamnya di dalam hati.
Ino datang dari arah kasir dan ikut menimpali pembicaraan mereka, "Benar, Sakura. Sebaiknya kau istirahat saja di rumah, biar aku yang mengurus semuanya. Kau tenang saja."
Sakura terdiam tampak berpikir. Setelah beberapa detik ia mengangguk dan segera membereskan barang-barang pribadinya, menyimpannya ke dalam tas dan segera pergi bersama Sarada yang selalu mengekor di belakangnya bagai anak bebek yang tak pernah lepas dari induknya.
"Kau ...."
Gadis kecil itu mendongak dan menatap Sakura dengan tatapan polos sekaligus memelas, "Aku ikut ya? Boleh, kan?"
Hanya mengangguk dan tersenyum. Memang itu yang dia inginkan, selalu dekat dengan putrinya sendiri.
"Apa paman Sasori ada di rumah?"
Wanita muda itu tetap fokus dengan jalan di depannya. Ia menjawab tanpa menoleh ke arah si gadis kecil, "Biasanya di jam seperti ini dia masih di rumah."
Sarada mengangguk dan tampak berbinar setelah mendengar penuturannya.
"Memangnya ada apa?"
"Tidak," sahutnya seraya menggeleng. "Aku hanya merasa rindu dan ingin melihatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin MAMA, bukan IBU (SasuSakuSara)
Short Story___cerita kesembilan___ Sarada adalah anak yang baik dan penurut, namun ketika Papanya mulai mengenalkan wanita lain sebagai kekasih kepadanya, jiwa berontaknya timbul secara perlahan. Ia menjadi gadis yang pembangkang dan tidak pernah mau bersikap...