Sudah seminggu Tayuya tidak kembali dan Mebuki merasa sangat cemas dan gusar. Ia sudah menelepon detektif lokal untuk mencari putrinya karena dirasa kinerja polisi kurang memuaskan.
Pagi-pagi sekali ia sudah rapi dan bersiap pergi untuk menemui detektif yang ia sewa dan memberikan ciri-ciri Tayuya agar tak salah mengenali orang. Ia berharap putrinya segera ditemukan, karena yang ia punya saat ini hanya Tayuya, satu-satunya putri yang tersisa.
Wanita paru baya itu menyetop taksi dan menyebutkan alamat tujuannya.
Dalam beberapa menit taksi itu sudah berhenti di depan kafe yang tampak minimalis namun elegan dan suasana yang sangat hangat apalagi di musim penghujan seperti ini. Tempat yang sangat pas untuk bersantai atau melakukan pertemuan lainnya.
Mebuki duduk di dekat jendela dengan sofa tinggi dan meja berbentuk oval dari kayu. Gerimis mulai turun dan ternyata ia memutuskan hal yang benar dengan datang sepuluh menit lebih cepat dari waktu yang sudah ditentukan.
Ia menopang dagu sambil terus memandang ke arah luar. Kaca mulai berembun sehingga sedikit memantulkan bayangan. Dirinya tersentak kaget dan segera menoleh.
Wanita muda itu tersenyum, "Mau pesan apa?" Ucapnya ramah.
"Sakura?"
Wanita itu menyerjap pelan, "Ya. Saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?"
Mebuki seakan terhampar kembali pada kenyataan. Sakura di depannya bukanlah Sakura putrinya. Apa yang ia harapkan dari wanita ini? Mereka dua orang yang berbeda.
"Oh, tidak. Aku hanya terkejut. Ternyata kau bekerja di sini. Bukankah kakakmu akan memberikan segalanya untukmu tanpa harus bekerja?"
Entah kenapa ia tidak bisa mengontrol ucapannya, namun apabila teringat pria merah menyebalkan itu ia selalu ingin berkata sinis.
Sakura mengernyit dalam dan menghembuskan nafas dengan teratur. Ia mencoba tersenyum dan bersikap seramah mungkin. Meski di dalam hati sedikit merasa dongkol atas ucapan wanita yang tak bisa dipungkiri bahwa ia merindukan kehangatannya.
"Ini tidak ada hubungannya dengan kakak Saya. Saya sendiri yang ingin bekerja daripada berpangku tangan dan menikmati hasil keringat orang lain."
Wanita berumur hampir setengah abad itu tampak mengernyit tak suka atas ucapan Sakura. Entah karena bahasa formal yang Sakura pakai atau, atas ucapan wanita muda itu yang mengusik dirinya.
Sakura tersenyum canggung. Merasa bersalah atas ucapannya yang spontan dan tidak difilter terlebih dahulu. Bukan maksud untuk menyinggung siapapun, namun karena pengalamannya sejak muda membuat kepribadian mandiri itu melekat padanya meskipun ia kehilangan ingatan.
Mebuki segera memesan kopi hangat dan cemilan kering untuk membunuh waktu sembari menunggu orang yang mempunyai janji dengannya, dan Sakura sendiri segera berlalu setelah mencatat pesanan.
______________________________________
Entah apalagi yang direncanakan Sasori untuk menyiksa dua Medusa yang terkurung di dalam jeruji besi yang pengap dan gelap itu.
Pria itu tidak akan berpuas diri sebelum melihat mereka berdua menderita seperti penderitaan yang dirasakan adiknya selama ini. Meski Sakura bukan adik kandungnya, namun rasa sayang kepada wanita muda itu sudah begitu besar, pun kepada Moegi yang ia rawat dari waktu kecil. Mereka berdua adalah keluarganya, suatu alasan yang mampu membuatnya bertahan di dunia ini meski ia hampir putus asa dengan segala sesuatu yang menimpanya.
Juga ... Deidara. Entah apa yang akan terjadi padanya jika tidak ada pria itu di sisinya yang selalu memberi suntikan semangat untuk bertahan lebih lama lagi, di saat dirinya divonis steril dan tidak bisa memiliki keturunan, hingga membuatnya berpaling dari wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin MAMA, bukan IBU (SasuSakuSara)
Short Story___cerita kesembilan___ Sarada adalah anak yang baik dan penurut, namun ketika Papanya mulai mengenalkan wanita lain sebagai kekasih kepadanya, jiwa berontaknya timbul secara perlahan. Ia menjadi gadis yang pembangkang dan tidak pernah mau bersikap...