Sakura sedang berkeliling paviliun. Akhirnya ia terbebas dari Sarada setelah seharian, bahkan sampai malampun gadis itu membuntutinya bagai anak bebek yang tidak bisa terpisah dari induknya. Sakura mengusap dahinya yang sedikit mengeluarkan keringat, berhubung ini masih pagi dan dirinya memutuskan untuk berolah raga pagi terlebih dahulu sebelum memulai ritual harian.
Udara pegunungan yang sejuk dan kawasan sekitar yang asri membuat dirinya merasa nyaman dan rileks. Sakura menikmatinya sampai seseorang mengganggu ketenangannya dan ia hanya bisa mendesah lelah.
"Apa maumu?" tanya Sakura to the point.
Shion menatap sinis pada Sakura. Ia mengamati wanita itu mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Wanita pirang itu mendengkus, "Huh! Apa yang mereka lihat darimu? Kau sama sekali tidak cantik."
Sakura hanya mengangkat satu alisnya.
Shion memutari tubuh Sakura dan mengamatinya, "Kau itu kurus, dadamu rata, jidatmu lebar, dan rambutmu norak!" ia menekan lengan Sakura dengan telunjuk lentiknya yang berpoles kutek merah menyala, "dan kau pendek. Sangat tidak ada yang istimewa darimu," ejeknya.
Sakura hanya diam seraya memutar matanya. Ia tidak akan terpancing dengan omongan Shion yang hanya ia anggap bagai angin kentut yang lalu dan tidak ingin ia tanggapi sama sekali karena baunya yang tidak sedap.
Wanita yang katanya masih berdarah bangsawan itu bersedekap dada. Ia tersenyum mengejek pada Sakura yang tak bisa membalas kata-katanya sedikitpun. Ia yakin sekarang wanita itu mati kutu karena apa yang dikatakannya adalah fakta.
Mereka terus saling menatap sampai seseorang menghampiri, dan Shion langsung berdiri dengan anggun layaknya seorang putri kerajaan.
"Pagi, Mikoto-San."
"Pagi juga," sahut Mikoto, "Sedang apa kalian di sini?"
"Ah, aku sedang menghirup udara segar, Anda sendiri?" sela Shion cepat. Ia tidak memberi kesempatan pada Sakura untuk bicara.
"Sama." Mikoto mengangguk dan beralih menatap Sakura yang hanya diam saja. "Bagaimana denganmu, A-Akasuna-San?" entah kenapa ia masih terlalu canggung menghadapi Sakura, entah itu Akasuna Sakura atau Haruno Sakura, yang pasti ia merasa ada aura yang menekan dari wanita itu. Mungkin hanya karena rasa bersalahnya yang begitu besar membuatnya merasa tidak nyaman, apalagi jika wanita di depannya ternyata memang Sakura yang sama entah apa yang akan ia lakukan, ia tidak bisa membayangkan segala perbuatannya di masa lalu, dan dirinya memang pantas diberi hukuman atau tidak diberi pengampunan.
Wanita itu pasti sangat sakit hati karena keluarganya yang mencampakkannya, bahkan tunangannya sendiripun tidak percaya lagi padanya. Semua memang hanya masa lalu, tapi goresan luka itu selalu membekas dan tak pernah hilang.
"Aku sedang berkeliling."
Mikoto mengangguk dan tersenyum manis, namun lebih tepat dikatakan meringis seperti orang yang sedang sakit gigi.
Sakura merasa sangat tidak nyaman dengan kehadiran Shion di sana, ditambah Mikoto yang terus menatapnya. Ia menghela nafas dan memilih pergi.
"Maaf, aku permisi," pamit Sakura pada mereka berdua dan sedikit mengangguk pada Uchiha senior.
Mikoto terus menatap kepergian Sakura. Ia merasa tidak asing dengan wanita itu, meski sikap Akasuna Sakura dan Haruno Sakura sangat berbeda. Sakura yang ia kenal adalah gadis yang ceria dan selalu ramah terhadap orang lain, dan Sakura yang ini terasa lebih misterius dan pendiam.
__________________________________________________
Sasuke terus mengamati setiap gerak-gerik Sakura di bawah sana. Ia menopang berat tubuhnya pada pagar pembatas balkon, bersandar di sana sambil terus mengawasi sang wanita yang sedang bersama putrinya. Ia tersenyum tipis, membayangakan jika itu memang istrinya yang menemani putri mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin MAMA, bukan IBU (SasuSakuSara)
Short Story___cerita kesembilan___ Sarada adalah anak yang baik dan penurut, namun ketika Papanya mulai mengenalkan wanita lain sebagai kekasih kepadanya, jiwa berontaknya timbul secara perlahan. Ia menjadi gadis yang pembangkang dan tidak pernah mau bersikap...