"Sasuke?"
Sasuke sedang bersandar di dinding bangunan rumah sakit dengan tangan bersedekap. Ia sengaja menunggu Sasori di sana karena ingin membicarakan sesuatu.
Pria itu berdiri dengan tegak dan menghadap Sasori yang menunggunya bicara.
"Tentang Sarada, apa yang dikatakan dokter tentangnya?"
Sasori mengernyit. Ia menatap Sasuke dengan wajah kuyu dan banyak pikiran. Pria itu menghela nafas lelah, "Sarada baik-baik saja. Tidak ada luka serius yang dia alami."
Sasuke mengangkat wajahnya dan menatap Sasori tepat di dalam matanya, mencoba mencari kebohongan di sana, "Tapi, kenapa dia melupakanku?"
Sasori terkekeh. Ia menatap Sasuke dengan tatapan prihatin, "Jika aku jadi Sarada mungkin aku akan melakukan hal yang lebih. Dia kecewa padamu karena kau lebih mementingkan pekerjaan dibanding dirinya. Sarada sudah besar dan dia mulai berpikir dengan segala sesuatu yang ia lihat, apalagi hanya kau orang yang saat ini ia punya. Dia tidak punya ibu yang akan menjaganya ketika kau bekerja. Hanya kau Sasuke. Seharusnya kau bisa membagi waktumu antara mengurus anak dan bekerja, dia juga butuh perhatian."
Sasuke mengusap wajahnya, "Aku bekerja juga untuknya."
Sasori tersenyum remeh, "Memang. Tapi, tidak hanya materi yang dia butuhkan. Dia juga perlu perhatian dan kasih sayang."
Sasuke menghembuskan nafas lelah. Segala sesuatu yang Sarada butuhkan telah ia berikan, bahkan saat anak-anak lain belum memiliki mainan sepertinya, Sarada sudah memilikinya. Apapun keinginan gadis itu akan ia turuti. Ia pikir itu sudah cukup membuat anaknya senang. Tapi, ternyata ia sudah salah. Bukan hanya mainan yang banyak ataupun baju mewah, atau liburan yang menyenangkan. Sarada butuh dirinya yang memerhatikan dan memberikan kasih sayang layaknya orang tua kepada anak.
Semakin hari Sarada semakin dewasa dan suatu saat ada jarak antara dia dan Sarada. Seharusnya Sasuke memberikan seluruh kasih sayangnya sejak saat ini. Suatu hari putrinya akan beranjak menjadi remaja dan mulai mengenal cinta. Ia sendiri takut kehilangan momen-momen manis bersama putrinya.
Sasori menepuk pundak Sasuke. Ia menjauh dan kembali ke kamar rawat Sakura meninggalkan pria beranak satu itu sendirian untuk memikirkan ucapannya.
Ceklek
"Hai, kau sudah bangun?"
Sakura mengangguk tipis. Beruntung wanita itu cepat mendapat pertolongan sehingga luka yang didapat tidak terlalu serius. Tapi, ia harus dirawat inap beberapa hari lagi sampai dinyatakan benar-benar pulih.
Sasori duduk di sampingnya. Ia membawakan bubur ayam yang masih hangat. Ino yang membuatkannya untuk Sakura dan wanita itu juga menitipkan salam dan permintaan maaf karena harus menjaga kafe sehingga tidak bisa berkunjung.
Pria muda itu membuka wadah berisikan bubur yang masih hangat. Bau harumnya semerbak ke seluruh ruangan. Ia mengambil sendok plastik di atas meja dan menyendok sedikit bubur sebelum meniupnya pelan, lalu menyodorkan ke depan mulut Sakura.
Sakura menerima suapan dengan tenang. Matanya awas menatap Sasori tanpa berkedip membuat pria yang ditatap merasa grogi. Ada pancaran yang aneh di mata hijau teduh itu, seperti luka yang dalam dan rasa terima kasih yang tak terhingga. Ada juga kekecewaan yang berusaha ia kubur dalam-dalam dan seketika Sasori merasa takut dengan kenyataan.
"Saku, ada apa?"
Sakura menggeleng pelan, "Tidak."
"Ini bubur dari Ino," ucap Sasori memberitahu.
Sakura mengangguk. Ia sudah bisa mengenali dari cita rasa yang khas buatan tangan Ino. Ia menyukai apapun masakan wanita Itu karena semua yang diolah kedua tangan wanita itu akan terasa lezat. Oleh karena itulah Sakura mempercayakan kafe dibawah tangan handal wanita berambut pirang tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin MAMA, bukan IBU (SasuSakuSara)
Short Story___cerita kesembilan___ Sarada adalah anak yang baik dan penurut, namun ketika Papanya mulai mengenalkan wanita lain sebagai kekasih kepadanya, jiwa berontaknya timbul secara perlahan. Ia menjadi gadis yang pembangkang dan tidak pernah mau bersikap...