Memulai untuk berakhir.
Rose berdiam seorang diri di bawah pohon hari ini. Menulis sesuatu di bukunya, dan menyisipkan sebuah bunga di halamannya. Angin berhembus dengan damai, menghantarkan sejuta rasa tenang pada relung hati gadis bernama Rose. Mengingat jika sekarang dia harus menjauh.
Hanya menunggu janji Jimin kemarin, Yang katanya akan kembali kesini dan menemaninya. Tak ada yang menarik memang, namun entahlah, Rose begitu senang menunggu pemuda itu untuk datang.
Lalu senyuman terpatri jelas di bibirnya. Melihat bagaimana seorang remaja dengan seragam sekolahnya tengah berjalan ke arah gadis itu.
"Jimin..." panggilnya dengan lirih.
Jimin kemudian duduk di hamparan rumput di hadapan Rose, membuka tas, mengeluarkan buku stetsanya, dan mengeluarkan selembar kertas dari salah satu halamannya.
"Itu apa, Jimin?" Tanya Rose penasaran.
Jimin kemudian menunjukkan kertas itu. Sebuah gambar. Seorang gadis yang duduk di bawah pohon. Begitu indah.
"Ini aku?" Tanya Rose lagi sambil menunjuk dirinya sendiri. Jimin mengangguk mantap. Rose menerima kertas itu dengan senyum yang terpatri dengan jelas.
Lalu Jimin beranjak, menghampiri salah satu tanaman bunga, dan memetiknya satu. Jimin kembali menghampiri Rose.
Pemuda itu menyodorkan bunganya. Rose hanya menatap tak mengerti.
"Rose, terimalah bunga ini." Jimin tersenyum manis disana. Rose mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu menerima bunga itu dengan tangan yang sedikit bergetar.
"Ada apa?" Tanyanya bingung. Dan baru kali ini pipi Rose memerah.
"A.aku mencintaimu, Rose. Aku telah memendam rasa ini sejak seminggu lalu. A..aku selalu memperhatikanmu selama ini. Maukah kau menjadi kekasihku?" Tanya Jimin dengan nada yang cukup bergetar. Dirinya belum pernah merasakan kegugupan seperti ini. Dan pasti pipinya sudah seperti kepiting rebus sekarang.
Rose tersenyum. Lalu setetes air mata terjun dengan bebas dari pelupuk indahnya. Rose menatap Jimin dengan sayu. Lalu sebuah anggukan menjadi jawaban atas pertanyaan Jimin.
"Jadi?" Tanya Jimin untuk memastikan. Lalu Rose kembali mengangguk sambil memeluk bunga pemberian Jimin.
Pemuda itu melonjak senang sambil tertawa. "Rose kekasihku! Aku mencintaimu, Rose!!" Untunglah taman itu sedang sepi sekarang. Rose membolakan matanya kaget saat mendengar reaksi Jimin seperti itu. Namun kemudian gadis itu tertawa. Matanya menatap kagum pada gambaran Jimin. Terlihat begitu indah.
Jimin masih tersenyum disana. Sesekali, dirinya melirik wajah Rose yang memerah sedari tadi. Lalu gadis itu melangkah dan duduk di bawah pohon. Jimin mengikutinya.
"Kenapa kau selalu sendiri, Rose?" Tanya Jimin sambil menatap Rose.
Gadis itu hanya menggeleng, lalu kembali memegang bunga pemberian Jimin dengan erat. "Aku tidak sendiri. Buktinya, ada orang di hadapanku." Rose tersenyum, lalu menunduk.
Jimin tertawa kecil di sana. Kenapa kekasihnya begitu lucu? "Aku mencintaimu." Ucap Jimin sambil menatap deretan bunga. Seolah tak pernah bosan.
Rose terfokus dengan perhatiannya pada gambar itu. Lalu tatapannya beralih saat melihat seorang anak kecil berlari. Anak laki-laki, dengan air mata bercucuran di wajahnya. Kemana orang tuanya? Anak itu terus berlari. Sambil terus menangis tersedu-sedu.
"Awas! hati-hati, nak!" Rose berlari saat anak itu tersandung. Bukan tersandungnya yang menjadi masalah, melainkan batu besar di hadapan anak itu masalahnya. Pasti sakit bukan?
"Rose!" Jimin mengejar kekasihnya itu.
Anak itu tersandung, kepalanya hampir saja terbentur jika Rose tidak menangkapnya. Rose memeluk anak itu dengan erat. Begitu erat, seolah tak mau kehilangan sedetik pun. Lalu matanya membola dan langsung melepaskannya.
"Kau harus hati-hati. Sekarang cepat pergi!" Rose berkata dengan begitu panik. Jimin yang melihatnya turut panik. Diapun tak tahu apa penyebabnya.
Rose berbalik. Nafasnya terengah. Matanya menatap Jimin dengan sayu. Lalu senyuman terulas di bibirnya sesaat sebelum dirinya ambruk. Sebuah senyum, yang bahkan belum pernah Jimin lihat.
"Rose!!" Jimin segera berlari menghampiri gadis itu dan mengangkatnya ke pangkuannya. Tatapannya berubah menjadi tatapan sedih. Jantungnya berdegup dengan begitu kencang, bahkan jauh lebih kencang dari saat dia menembak Rose.
"Rose, kau kenapa? Rose!" Jimin terus mengguncang tubuh Rose dan menangkup pipi gadis itu. Rose hanya menatap lemah Jimin, tangannya terangkat untuk mengusap pipi Jimin. Lalu mencubitnya sebentar. Senyum gadis itu terulas begitu parau. Jimin bahkan merasakan hatinya berdenyut nyeri saat gadis itu menatapnya sayu.
"A..aku selalu ingin mencubit pipi gembilmu ini. Dan sekarang sudah tercapai." Rose tersenyum. Air mata Jimin tak dapat tertahankan untuk saat ini. Dirinya begitu takut. Sangat takut untuk kehilangan.
Sayup-sayup, kaki Rose terlihat memudar, mulai menghilang. "Rose! Jangan pergi! Rose kumohon!!" Jimin memeluk erat tubuh Rose. Menyalurkan begitu banyak kesedihan dalam hatinya.
"Tetaplah jadi anak baik, Jimin. Jangan tersesat lagi, karena jika itu terjadi, aku tak ada lagi untuk menyelamatkanmu." Rose berkata dengan lirih dari balik pelukannya. Sekilas, dia menghirup aroma khas Jimin yang begitu menenangkan. Lalu memejamkan matanya saat proses penghilangan itu merambat ke tubuhnya.
Jimin hanya dapat menangis. Kenapa kebahagiaannya tak dapat bertahan lama? Kenapa Rose harus pergi dan menjauh dari hidupnya? Jimin terus mengeram dekapnya dengan begitu erat. Mencobah mencegah tubuh Rose yang semakin menghilang. Namun dirinya tak sadar, bahwa itu tak mungkin terjadi.
Pelukan Jimin tiba tiba terhenti saat tubuh Rose total menghilang. Dirinya menangis, memeluk dirinya sendiri. Jika saja dia tahu, mungkin dia saja yang akan menyelamatkan anak itu, bukan Rose. Dirinya menyesal. Namun untuk apa?
Jimin menengadah. Lalu melirik bangku tempat biasa Rose duduk. Sekilas, teringat memorinya saat melihat gadis itu dari semak-semak. Semua melintas, seperti sebuah kaset yang sengaja di putar ulang.
"Aku berharap agar kau terlahir lagi, Rose. Aku akan menunggumu." Jimin tersenyum, lalu mengambil gambaran yang sempat dia berikan pada Rose. Juga bunga yang sempat gadis itu genggam erat. Hanya membawanya kembali, untuk sekedar dia simpan sebagai kenangan di rumahnya. Benda itu, yang sempat di genggam oleh gadis bernama Roseanne. Bahkan hingga dia pergi, tak ada satupun yang mengalihkannya.
Pemuda itu melangkah di antara deretan pepohonan senja itu. Daun-daun memecah sinar sang surya, memencarkannya hingga beberapa sisi. Membuat suasana semakin sayu. Dan lagi. Jimin akan merindukan saat saat dia kemari, menemui Rose. Semuanya akan dia rindukan.
"Kau orang yang pertama aku jumpai, dan juga orang yang pertama memelukku. Aku bersyukur. Karena kau juga orang terakhir yang ku lihat."
Tapi setidaknya, Rose sudah menerima cintanya sebelum dia benar-benar hilang. Di telan oleh sekian banyak memori dan kenangan.
Ketika surainya terhembus oleh angin kehilangan, bahkan malaikat menyaksikan dirinya melangkah. Mendekap untuk pertama dan terakhir, juga mengucap segala kata dengan begitu lirih.
Rasa cintanya akan selalu membuncah dalam jiwa. Tak akan pernah hilang, kecuali di terbangkan dengan ribuan bintang, dan berteduh di bawah bulan. Sudah cukup. Sampai disini dirimu merasakan. Kini tlah tiba saat dimana kau akan tersenyum di dalamnya. Salam sehangat mentari telah ku apungkan di atas air. Terbiaskan bersama sejuknya kala pagi, dan indahnya kala gurat senja.
Dari sela pepohonan, bahkan daun yang berguguran menyingkir untuk membiarkanmu lewat. Menggenggam ujung ranting hingga sang waktu kembali berpihak. Hingga ankara mengaburkan prahara.
Dan sampai disini. Bersama pertengahan yang membuat siapapun tak mengerti.
_•END•_
.
.
.
~_~Senin, 25 Februari 2019
14 young.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Di Bulan Mei ||Jirose|| [END]
RomanceStory keempat dari BTS & Blackpink couple. [Complete] Hanya sebuah kisah sederhana, tentang dua orang yang tidak sengaja bertemu. "Ketika aku berjalan, Lalu aku melihatmu sendiri."