A friend's wedding

1K 89 1
                                    

Pernikahan ? Aku tidak pernah memikirkan satu pun kata yang ada di benakku. Bagiku, pernikahan hanyalah perkawinan di atas kertas. Tidak ada hal yang penting dari pada itu, kecuali jika dia mencintai.

Dan, aku duduk di depan cermin untuk bersiap pergi ke pernikahan sahabatku. Aku melihat diriku sudah berias cantik. Tidak lebih baik, hanya memakai alas bedak dan lisptik. Dan, aku memakai dress bermotif bulu-bulu dengan warna merah muda, tas gantung putih mencolok yang tidak lebih hanyalan panjangan dan sepatu hak tinggi emas mengkilat.

Aku, sebagai wanita juga punya perbedaan yang jauh dari wanita seumuranku, yaitu tidak berdandan. Aku tidak mencolok seperti wanita yang ada di bar-bar-, yang tiap malam selalu pulang. Tidak, aku juga tidak mirip seperti ibuku yang seorang model dan desainer. Aku lebih kearah gadis polos tanpa make up.

"Ibu sudah siap ?" Aku bertanya dan sekarang bersama Ayah. Kami berdua menunggu ibu keluar dai ruang dandanannya. Seperti biasanya, ibu meluangkan waktu hampir satu setengah jam hanya untuk mendapatkan penampilan khusus yang membedakan dia dari ibu yang lain. Mungkin, dia akan lebih mewah dari orangtua yang akan mempestakan anak mereka.

2 jam berlalu...

"Aku sudah siap. Ayo pergi." Ibu keluar dari sekian lamanya. Dia memang sangat cantik. Mirip barbie. Dan, mungkin akan segera dinobatkan menjadi Miss Awards atau pemecah rekor terlama untuk make up di dunia.

Masalah pun berulah ketika kami tiba di garasa, aku meyakinkan diriku kalau ayah masih menyimpan mobil tua berwarna biru. Dan, dia benar-benar masih menyimpan mobil tahun 1891 itu. Dan, itu sungguh gila. Bahkan mobil itu lebih duluan lahir dariku. Tapi paling tidak, aku berharap kalau mobil di hadapanku ini tidak akan mogok.

"Ayah masih menyimpan mobil tua ini. Mengapa tidak ayah beli yang baru saja ?" aku bertanya.

"Ini mobil masih bagus. Tenang saja, Ayah yakin mobil ini tak akan mengecewakan." Ayah sekarang memasuki kursi pengemudi. Aku yakin 100% mobil itu tidak akan menyalah. Ayah bahkan tak pernah membawa mobilnya itu ke bengkel. Dan, aku selalu benar soal itu. Mobil itu tidak menyalah.

"Sudahlah, ayah. Lain kali saja menggunakan mobil itu." Aku dan ibu terpaksa menyeret ayah. Dia tidak akan meninggalkan mobil kesayangannya, jika tidak diseret.

"Aku pesan Grab mobil. Tunggu sebentar." Aku mengambil handphone dari balik tasku, lalu kuraih dengan ahli handphone itu, membuka aplikasi dan sudah memesannya. Lalu, ketika kami menunggu cukup lama, mobil itu mendatangi kami.

"Apakah ini dengan Megan Petty ?" Mendengar itu, aku mengangguk kepala.

Aku dan orang tuaku masuk kedalam mobil. Tapi saat aku menatap kearah langit malam yang cerah, aku merasakan ada pikiran yang menyangkal di kepalaku. Pikiran ini menekanku untuk tidak pergi ke pesta itu. Rasa tidak mau, sebenarnya aku takut bertemu banyak orang. Lagi pula, sudah sangat lama aku tidak menemui sahabatku.

Mobil itu sudah dekat dengan tempat acara. Aku merasa jauh lebih gelisah dari sebelumnya, jantungku berdetak rasanya ingin meledak, bulu-buluku mulai berdiri. Aku tahu ini bukanlah kali pertama aku pergi ke pesta. Tapi tetap saja aku sudah lama tidak bertemu para teman-temanku dan mulai memikirkan banyak hal.

Saat kami tiba di depan bambuden atau semacam aula, ayah dan ibu sudah pergi lebih dulu. Mereka mencari kursi untuk para lansia atau kenalan mereka yang seumuran dengan mereka. Tetapi, aku sebagai anak mereka tidak seberani mereka. Aku harus berjuang hanya untuk masuk pintu awal dan bertekad untuk menyapa sahabatku di depan pintu aula.

Aku mendengar suara bising di aula besar, ada beberapa orang memainkan gitar dan menyanyikan lagu. Beberapa orang sibuk bercerita tentang pengalaman mereka, bertos champagne di tengah keramaian dan berlagak seorang sukses. Sementara, para orangtua membicara soal anak mereka yang benar-benar sukses, saling iri dan sangat sombong. Dan, para keluarga yang mengadakan acara menyambut tamu mereka dengan salaman, tersenyum seakan sangat senang menerima pujian dari orang yang datang.

Memang begitulah acara resepsis pernikahan, aku hanya perlu masuk. Dan, aku katakan pada diriku untuk kesekian kalinya. Benar. Dan, ketika Jane, sahabat atau penganti menemukan aku celingu di tengah keramaian pesta. Dia memanggil.

"Megan!"

"Ah," kataku melihatnya berada di sana dengan baju pernikahan yang mewah. "Sungguh cantik!" sebenarnya, aku berkata dengan pura-pura.

"Terima kasih," katanya dengan nada seolah-olah sudah banyak yang memujinya begitu.

"Kau datang sendiri, Megan." Dia berkata, melirik penampilanku dari bawah sampai atas.

"Ya," kataku senang. "Bersama orang tuaku."

"Oh."Balasnya.

Aku terkekeh, mengingat harusnya kubawa seorang lelaki suruhan. "Ya. Dan, selamat atas pernikahan kalian." Aku menyalami Jane dan James dan tersenyum seakan ramah.

Sementara, ada gadis yang berteriak, menghampiriku. Dan, aku kenal dengan gadis ini. Dia Lusi Brianna.

"Oh, Megan Petty," kata Lusi Brianna dengan nada tajam.

"Lama tidak berjumpa, Lusi." Aku berpura-pura tersenyum ramah padanya. Tapi, sebenarnya satu-satunya orang yang paling malas kutemui adalah dia, Lusi Brianna.

"Kau sudah punya pacar ?" dia bertanya.

Sekarang aku tahu mengapa aku sangat tidak menyukainya ? Ya, dia senang menanyakan hal yang bagiku benar-benar menganggu. Aku selalu menyakinkan kepada diri sendiri kalau itu adalah pertanyaan konyol yang pernah ada. Dan, ketika aku mau menjawab, seseorang menyelaku.

"Kau disini Megan ?"

Siapa ? Tidak, sebenarnya aku tahu betul suara siapa ini. Tapi, aku yakin ini hanya membuat situasi semakin memburuk. Astaga! Apa yang membuatku harus menerima nasib seperti ini ? padahal aku tidak pernah melakukan kejahatan yang sederajat dengan ini.

"Oh, Reinhart," kataku agak ragu. "Bagaimana kau bisa ada disini ?"

"Aku kesini karena sahabatku, James menikah," katanya dengan nada polos. "Bagaimana denganmu ?"

"Sungguh kebetulan tidak terduga." Aku mencoba tersenyum tipis, lalu menggaruk leher belakangku yang tidak gatal. "Ya, sebenarnya aku juga datang kesini karena sahabatku, Jane menikah."

"Dia siapa Megan ? Pacarmu ?" Tanya Lusi penasaran.

"Ya, mungkin," kataku berpura-pura menggandeng tangan Reinhart.

Aku lalu membisik pada Reinhart ketika dia tahu aku hanya pura-pura mengandengnya. "Mohon bantu saya, sir Reinhart. Jika, saya ketahuan tidak punya pacar, maka saya bisa saja dihina sekarang ini."

"Tentu. Sebagai imbalannya, kau harus bersikap sama halnya." Dia berbisik.

"Tampan sekali," pujinya.

Aku terkekeh begitu mendengarnya. "Jadi dimana pacarmu, Lusi ?"

Dan, sekarang aku bisa menemukan wajah gelisah dari Lusi. Tapi, ketika seorang lelaki agak tampan datang. Dia langsung mengandeng tangan lelaki itu.

"Ini, dia!" Katanya membual seolah pacarnya tampan. "Namanya Zee. Tampan, bukan ?"

Aku menggeleng, merangkul pegangan tanganku lebih dalam di gengaman tangan Reinhart. "Tidak begitu juga. Pacarku lebih tampan." Aku berkata dengan sombong.

Itu kenyataannya, Reinhart lebih tampan dari Zee. Dan, saat ini, aku memang tidak membual soal itu. Bahkan orang di sekitar kami juga tahu yang mana ketampanan luar biasa disini. Tidak ada gadis, yang tidak melihat tatapan Reinhart. Mereka mengejutkan mereka, sehingga para gadis itu hampir pingsan sekarang. Dan, aku yakin Lusi juga mengetahui hal tersebut.

"Astaga! Reinhart lama tidak berjumpa!" Zee menyapa dan berjabat tangan.

"Lama tidak bertemu, Zee." Balas Reinhart membalas jabatan tangan, yang membuatku seketika terkejut. Merek berteman ? Dan, aku telah membandingkan mereka.

Astaga! Apa yang kupikirkan, kataku dalam kebatinan

---

My Life Has Moments(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang