Reporter

826 78 1
                                    

Kini aku berjalan dengan Alfonso sambil memegang ikatan Ken. Kami mirip seperti pasangan yang sudah lama tidak dikaruniai anak. Oleh sebab itu, kami memelihara anjing. Dan, selebihnya orang berpikir begitu ketika kami tiba di restoran penjual mie pedas favoritku. Namun, seiring waktu aku sering merasakan Alfonso seakan tahu apa isi kekhawatiran di otakku ini.

Maksudku, aku merasa dia sengaja mengajakku makan mie pedas untuk meringankan pikiranku. Pedas juga bisa menghilangkan rasa kesal. Mungkin orang bisa bilang, pedas bagaikan harus ada ketika orang kesal. Ada campuran kesedihan dan kekesalan yang dirasakan orang lain ketika memakannya. Dan, jangan lupa mereka akan merintis kepedasan dalam kekesalan. Seperti itulah aku mengambarkan sebuah makanan pedas.

Aku masuk, duduk disalah satu kursi kuno. Mirip kursi china yang berbentuk catur dengan jaminan kayu jati, yang membuatnya bertahan. Lalu, memesan pesan. "Aku pesan mie level paling atas."

"Aku juga." Suara itu nyaris saja membuatku terkejut. Maksudnya, ini kali pertamanya, aku mendengar seorang Alfonso Betrand memesan makanan pedas. Ini rahasianya, sebenarnya lelaki yang duduk di sampingku sekarang tidak menyukai cabai. Dia akan merintis kepedisan jika hanya memakannya dan kulitnya akan berubah warna menjadi kemerahan, lalu dia akan gatal-gatal. Sayangnya, Alfonso tidak pernah menolak memakan cabai.

"Apakah kau bisa makan ?Aku kira kau—" aku mengerut kening.

Dia menyelaku. "Tentu, aku bisa makan. Apa aku terlihat pembohong ?"

"Ya," jawabku polos, agak terkekeh mendengar diriku sendiri menjawab.

"Baik," kata Alfonso, mengangkat dua alisnya. "Kita lihat saja."

Mie datang di meja kami. Aku mengambil mie berwarna merah yang ada di meja, lihatlah ini mirip seperti kerajaan mewah, yang sedang dilahap marma— kuahnya pedas tetapi terasa manis, mie-nya kenyal dan lembut dan, yang paling memuaskan adalah keharuman yang memincingkan mata karena panas dan berasap.

Aku menengok Alfonso di saat sela-sela makan. Wajahnya tampak memerah, terlalu panas dan muncul bintik-bintik merah di wajahnya. Aku menggelengkan kepalaku, menarik mangkuk mienya. "Sudah, aku yang habiskan. Kau mau wajah tampanmu menjadi buruk," kataku, tertawa kecil.

Ucapanku dihiraukannya, dia mengambil kembali mangkuk mie-nya. Dia memakan mie, melahapnya, seolah-olah dia benar-benar merasakan sensasinya. ASTAGA! Dia benar-benar mirip seorang dewa yunani yang berkeringat saat perang. Tapi, sayangnya aku tahu kalau Alfondo menyimpan kerutan keningnya yang berkeringat, dan mukanya yang memerah.

"Habis! Kau traktir!" Dia berteriak, tersenyum sinis. Lalu, dia menunjukkan padaku semangkuk mie yang sudah habis.

Kapan dia bisa makan makanan pedas ?

Aku menyeringai kesal padanya. "Baik. Jadi, kita jam berapa akan bertemu nanti ?"

"Hn..., jam 5 sore."Alfonso meninggalkanku, lalu membawa Ken pergi. Sedangkan, aku mengangguk. "Baik." Balasku.

Aku menghela napas, lalu berjalan pulang dari restoran Mie. Saat berjalan pulang, aku selalu teringat dengan beberapa hal. Mirip seperi deja vu, yang kemungkinan jarang bertahan. Misalnya, aku jalan di jalan ini dan itu selalu sama dengan apa yang kumimpikan. Kau tahu kadangkala, ada sesuatu yang tidak bisa dikatakan kepada siapapun. Hanya kau yang tahu, dan anggap saja aku juga tidak ingin mengetahui apa yang kusimpan dalam bayanganku.

Aku tiba di rumah. Mirip seorang yang habis berkeliaran dari penjuru dunia. Lalu tanpa sengaja, aku mendengar suara seseorang, terdengar kesal.

"DARIMANA KAU, MEGAN ?!" Dia berteriak.

BAIK, jadi inilah kebiasaan buruk dari Sarah. Aku meninggalkannya olahraga dan tidak membangunkannya. Siapapun tidak akan mengerti, jika dia belum berurusan dengan Sarah. Kali ini, aku ketahuan olehnya. Aku yakin dia pasti sudah menungguku pulang daritadi, pastinya.

My Life Has Moments(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang