Community Jurnalistik II

693 73 1
                                    

Aku masih tidak memercayai apa yang dia katakan. Aku merasa ini tidak adil. Tentu saja walau aku tahu dia adalah CEOku, mengirimkanku dengan baik surat itu dan mengajakku pergi bersama, tetapi aku merasa ini tetaplah tidak adil.

Jadi, karena aku pikir ini adalah ketidakadilan, harusnya seseorang memintaku menuntutnya. Sejujurnya, aku merasa masih belum bisa menerima perkataannya. Dia seumuran denganku. Bagaimana bisa dia seberuntung itu ?

Aku mendengar diriku bertanya, bukannya memprotes atau membentaknya.

"Kau sudah melihat pembimbing jurnalistik itu ?" tanyaku, sedikit penasaran.

"Tidak, aku belum pernah melihatnya,"kata Reinhart serius."Tapi hari ini dia menunjukkan dirinya."

"Karena itulah ada banyak orang disini," Aku hampir melompat dari kursiku karena tahu jawabannya.

Reinhart mengangguk, agak ragu. "Mungkin juga begitu."

Aku merasa ini seperti suatu kebetulan, jadi maksudku ini bukan hanya kebetulan, melainkan kesempatan. Pertama, aku tidak pernah datang ke dunia kepenulisan sebelumnya. Kedua pikiranku melayang bak kebahagiaan jika aku mengetahui kalimat Reinhart betul. Dan, ketiga, aku pikir ini hal yang tidak memungkinan, tetapi ini pecurigaanku. Aku terpilih untuk bergabung menjadi salah satu orang, yang mirip pembimbing jurnalistik.

"Mari kita sambut pembimbing komunitas jurnalistik, Liang Hua." Ketika aku mendengarnya, aku hampir syok di tempat. Seakan menunggu poin loteren diacak. Lalu, para komunitas yang ada di dalam bersorak keras, menunggu kedatangan pembimbing komunitas jurnalistik itu.

Lalu, aku menemukan wajah seorang wanita berumur 40 an, berpakaian baju yang sama dengan langkah begitu anggun. Tunggu..., aku tahu bajunya dan aku juga menyukai gaya sytle sepertinya. Dia benar-benar membuatku terkagum hanya dalam sekali lihat, dan aku pikir dia sangat luar biasa.

Dia tersenyum seringan mungkin, lalu berkata tanpa basa-basi. "Hari ini saya akan memilih satu nomor," katanya. "Nomor yang dipilih akan maju dan mendapatkan kesempatan untuk bekerja sama dengan saya."

Saat dia memegang nomor undangan di dalam bak ribuan nama, dia menutup matanya. Dengan langkah cepat, dia menangkap satu nama. Jadi, ketika dia melakukannya, aku menutup mataku dengan rapat dan berdoa dalam hatiku, berharap aku terpilih. Ini mungkin adalah satu-satunya cara bagiku untuk bisa menulis dengan baik.

"Nomornya..., adalah 12!" Dia berteriak.

Aku cepat-cepat melirik nomorku. Dan, nyatanya aku tidak termasuk dalam nomor yang dia sebutkan. Nomorku...9. Dan, ini bukanlah keberuntunganku, wajahku benar-benar kecewa mendengar apa yang diakatakan.

Raut wajahku seakan-akan mengatakan kepadaku: kenapa bukan aku ? Ini berita yang paling sedih, yang aku terima disini dan hari ini adalah hari yang tidak menyenangkan. Tapi, aku benar-benar sangat berharap kalau nomor aku yang akan disebut.

Lalu aku melihat seorang gadis maju dengan bangga. Dia tentunya sangat berbangga dan bahagia. Lihat saja raut wajah dari mukanya. Mirip seseorang yang habis memenangkan pertandingan atau mendapat tiket di Amerika got Talent's. Dan, kali ini, aku iri dengan gadis itu.

"Saya sangat senang bisa bertemu dengan anda, Liang Hua," kata gadis itu, tidak percaya. "Dan, saya benar-benar tidak percaya kalau saya bisa mendapatkan keberuntungan berada disini... bersama anda."

Saat aku mendengar apa yang dia katakan, aku merasa harusnya aku yang ada disana. Dan untuk senyum itu, harusnya aku mendapatkannya. Sekarang, aku ingin menangis di depan umum. Seakan aku telah menerima kekalahan sejak lama.

Tanggisan akan turun di benakku, aku meremas baju yang kupakai. Ini seperti melihat dirimu ditentukan oleh keberuntungan, padahal kau sudah berusaha sebisa mungkin. Ini tidak adil bagiku, sangat tidak adil.

Apakah seseorang ditentukan dari keberuntungan ?

Aku pikir harusnya ini tidak benar. Orang yang menerima kekalahan sejak lama, harusnya mereka bisa mendapatkannya dan berhak mendapatkan keberuntungan. Aku menggelengkan kepalaku, cepat. Anggap saja, aku baik-baik saja.

Lalu di detik terakhir sebelum aku menghayal, aku mendengar suara gadis itu menjerit bahagia.

"Saya sangat bersedia bekerja sama dengan anda. Saya bisa memanggil orangtua saya untuk membantu anda secara pribadi. Dan, saya juga bisa berusaha sebisa mungkin," katanya dengan percaya diri.

Aku pikir hanya akulah yang bersedih disini. Aku melihat semua orang baik-baik saja, tapi kenapa aku terlalu kecewa dengan ini, padahal semua orang mendukung ? Apakah aku iri atau terlalu banyak rasa sakit di dalam hatiku ?

Ini menyakitkan, Aku bergumam pada batinku.

Reinhart melihatku dengan jelas, dia tahu dorongan yang menyakiti hatiku. Oleh sebab itu, dia memperbolehkanku untuk pergi dalam kondisi tidak baik. Dia mengerti apa yang raut wajahku katakan padanya ketika dia menoleh padaku.

Aku memutuskan masuk kedalam toilet, hanya tempat itulah yang membuatku selalu nyaman. Orang mungkin membuang sisa metabolisme mereka disana, muntah atau bahkan membuang bekas tisu disana. Tapi aku pikir tempat terbaik adalah merenung di toilet. Ini semacam bantuan yang bisa mengatasi seseorang dalam kesulitan.

Aku duduk disini, mengemis. Napasku tergesa-gesa, tanggisan turun dari pipiku. Aku merasa tidak bisa lagi menahannya. Ini tidak tertahankan, tetapi membingungkan.

Dengan penuh emosional, aku pergi dari toilet. Aku merada ada hawa yang meningkat di sekitarku. Lalu saat aku tiba di tempat Liang Hua beristirahat, aku membuka pintunya keras. Dia terkejut melihatku.

"Apa yang kau ingin ?" Dia bertanya, heran.

"Aku hanya ingin menulis. Seperti mereka yang berusaha sekuat mungkin, tetapi gagal. Mereka yang jatuh untuk selalu bangkit. Untuk mereka yang menyerah tapi selalu ingin mencoba. Itu, yang ingin aku lakukan," kataku, penuh penegasan.

Dia tertawa kecil, lalu menyengir. "Menarik," katanya

"Tapi anda tahu siapa saya, bukan ?" Aku bertanya, merasa tahu apa maksudnya.

Dia terkekeh. "Jadi kau mengerti apa yang aku katakan ?" Dia tiba-tiba berbicara formal.

"Siapa kau ?" Aku bertanya.

Dia bangkit dari sofa yang didudukinya, lalu melirik padaku. "Apakah kau penasaran ?"

Aku menggeleng cepat. "Aku tidak—"

"Aku seorang pencari penulis berbakat. Jadi, aku membuat komunitas jurnalistik ini untuk mencari orang yang ingin menulis bukan orang yang bisa menulis. Buat apa aku mengajar orang yang bisa menulis jika mereka seakan sudah berhasil dan sukses. Oleh sebab itu, aku mencari orang yang gagal ribuan kali dan ingin menulis," jelasnya.

"Apakah...," aku ragu mengatakan. Kemudian, aku melanjutkan. "Apakah aku tampak orang yang seperti itu ?"

"Yeah, aku tahu apa keluh kesanmu," katanya menoleh padaku, dia menatapku dengan percaya diri. "Aku pernah mengalami hal yang lebih dari yang kau alami. Menulis dengan 50 kali penolakan tanpa berbicara pada orang, aku mengalami 100 kali penolakan tanpa orangtua maupun orang lain yang tahu."

Aku memutar mataku ragu, lalu mengarahkan pandangan padanya. "Bagaimana bisa kau menahannya ?"

"Karena aku berjuang sepertimu," katanya langsung.

My Life Has Moments(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang