Marriage papers

1.1K 84 1
                                    

Malam ini hujan turun dengan deras, membuat suasana di luar terlihat damai dan sejahtera, sebenarnya tidak deras benar. Hanya gerimis deras. Lampu-lampu jalan terlihat indah kerlip. Aku menghelai nafas panjang. Tanganku menyentuh kaca yang menguap basah. Dingin seketika menyergap ujung-ujung jariku, mengalirkan air bekas embun.

Aku beralihkan perhatianku pada sekucup buku tebal di depanku. Aku pernah sesekali berpikir apa dengan menulis kisahku bisa tersalurkan. Aku bisa merasakan air mataku turun dari mata ke pipiku, sehelai rambutku berantakan, lalu aku bisa mendengar bunyian air turun.

Kulihat hujan itu sekarang mulai turun deras. Hujan berbunyi berisik tapi nadanya bagai alunan berbunyi di pikiranku. Aku seringkali mulai membayangkan ketika melihat hujan turun, aku bisa merasakan kehangatan, tetapi hujan tetaplah dingin. Istilahnya takkan berubah bahkan jika seseorang ingin mengubahnya.

Aku mulai menutup mata perlahan-lahan, aku tidak bisa menahan mataku yang mulai terlelap. Kepalaku mulai tersandar di pertengahan tengah buku. Dan, mungkin aku juga tidak begitu peduli soal itu, aku hanya tertidur disana.

Kebingungan yang paling membuatku bingung adalah ketika dalam mimpiku, aku melihat pantulan wajahku disana. Termenung, seakan aku benar-benar putus asa saat itu. Tapi aku tidak tahu mengapa perasaan itu menyakiti hatiku. Sangat sakit.

Namun, ketika esoknya aku bangun. Hanya perasaan yang tertinggal. Selebihnya, aku mendengar suara burung berkicau, yang berterbangan di udara. Cahaya masuk kedalam sela-sela gordenku. Dan, aku menemukan diriku sedang berbaring lelap di ranjang.

Tapi aku tahu, aku tidak bisa tidur lebih lama lagi. Jam dinding sudah mengarah pada pukul 07.00, yang artinya 5 menit lagi aku harus sudah berada di meja makan. Jika saja ibu tidak menemukan aku duduk disana, aku pastikan diriku mendapatkan hukuman. Memang benar, ibu tidak pernah tegas sama sekali. Tapi soal membangunkan itu, sudah seakan menjadi kebiasaannya tiap pagi.

Saat tubuhku sudah siap untuk beranjak, aku mengambil handuk dan beranjak kearah kamar mandi. Lalu, aku menutup mataku, menunggu shower menggeluarkan pancuran air dari atas. Seperti anak muda biasanya, aku menyanyi beberapa lagu dan tidak kupedulikan kalau adakah orang yang mendengarnya. Tentunya, sebenarnya selalu ada orang yang mendengarnya.

Jadi, sebenarnya rumah orang tuaku ini tembus suara dan otomatis para tetangga bisa mendengarku. Tapi, jangan khawatir soal itu. Mr. Johson Mer yang tinggal di sebelah kanan rumahku selalu bangun telat, jadi dia tidak akan mendengarku. Lalu, Mrs. Samatha Ursena yang tinggal di sebelah kanan selalu peduli dengan hewan peliharannya, jadi dia tidak mungkin mendengarnya.

Tapi ini hanyalah sebuah rutinitas biasa di rumah. Mandi, memakai baju dan tiba di meja makan. Itulah tiga hal yang selalu kulakukan setiap hari. Aku menganggap itu sebagai rutinitasku, yang selalu berjalan tiap hari. Selebihnya, tentunya semua orang tahu, orang dewasa seperti aku akan bersantai.

Aku menemukan ayahku sibuk membaca koran. Dia membolak-balik halaman koran, mencari informasi mengenai keadaan sekitar. Sebenarnya, aku pikir ayahku kuno. Dia selalu mencari pengetahuan lewat berita koran, padahal pencarian yang paling sempurna adalah menggunakan ponsel.

Sedangkan, ibuku memasak pasta. Tapi pendapatku yang sebenarnya adalah ibu tidak tahu membuat pasta. Dia pernah mencoba 100 kali membuatnya dan menyerah. Tapi, kali ini, ibu punya alat pembuat pasta modern. Aku menduga dia baru saja membelinya satu bulan yang lalu di saat dia mengetahui aku tidaklah disana untuk menengoknya berbelanja.

"Ayah," ujarku. "Ibu."

Kedua kompak menoleh dan menjawab. "Ya, sayang."

"Apakah ada sesuatu ?" Aku bertanya bingung.

Mereka menggeleng, masih menjawabku. "Tidak ada."

Tapi aku tahu mereka berbohong. Aku yakin mereka menyembunyikan suatu hal. Dan, kekeliruan ayah melihat ibu selalu menjadi pertada dia menyembuyikan suatu hal dariku. Aku menemukannya undangan saat mencoba meraba meja makan.

Aku yakin mereka tidak menyembuyikannya terlalu jauh, tetapi undangan siapa ini. Siapa yang akan menikah ? Apakah seseorang yang paling tidak aku kenali, tetapi mereka tidak memberitahuku ?

"Siapa yang akan kawin, ibu ?" Aku bertanya dan menunjukkan bukti undangan di meja.

Ibu berbalik, menatapku tidak percaya. "Kau tidak tahu! Itu temanmu, James dan Jane. Keluarga mereka mengundang kita."

"Jujur ibu juga mau kau cepat menikah," katanya menoleh padaku dan melipatkan tangannya di depan dada. Dia tidak benar-benar terdengar marah, tetapi aku yakin dia selalu sangat kesal ketika membahas mengenai pernikahanku.

"Tidak, ibu." Aku menggeleng kepalaku. "Aku masih muda dan tidak ingin menikah."

"Tapi," katanya dengan nada marah. "Kau sudah berumur 26 tahun sekarang, Megan. Itu, sudah terlalu tua untukmu. Dan, sebagai ibumu, aku hanya ingin kau menikah, punya anak dan bahagia. Paling tidak, aku akan merawat cucuku juga."

Aku diam, tidak ingin membantah kalimat ibu. Tapi, ketika aku menengukkan secangkir kopi yang ada di meja, aku punya alasan untuk menolak ibu. Ibu memang bodoh, aku yakin dia membeli kopi mahal yang berkualitas tinggi.

"Dimana ibu membeli kopi ?" Tanyaku.

"Jangan mengubah pembicaraan, Megan." Ibu membentak. "Ini masalah serius! Jadi dalam beberapa minggu nanti, aku akan membuat jadwal kencan buta untukmu."

"Baik." Balasku sudah tidak bisa menyelanya.

Ibu memang tega. Dia tidak pernah memikirkan perasaanku. Lagi pula, aku rasa tidak salah jika seorang wanita menikah di umur tua. Dia tidak akan punya anak, menua bersama dan bersenang-senang keluar negera. Aku pikir itu adalah masa yang paling aku sukai.

"Jadi katakan kepadaku, ibu. "Aku berkata, masih menoleh pada kopi di meja. "Dimana ibu membelinya ?"

"Mocaria," katanya membuatku tersendak. Aku ingat betul pernah mampir hanya untuk menengok toko kopi itu dan menahan diri agar tidak masuk. Tapi, sekarang aku meminum minuman yang membuatku melongok. ITU, GILA!

"Sekali-kali minum kopi mahal." Ibu membelah kopi itu. Dan, aku tahu selama ini aku hanya membelikan Ibu kopi dengan harga 35 ribu dan itu hanya harga maksimal dari ongkos seluruhnya. Tapi mungkin sekarang aku harus membiasakan diri untuk tidak kaget, ketika Ibu membeli barang-barang mahal.

Ayah yang sesering mungkin sibuk, menengok padaku. "Kau tidak mau melihat taman ?"

"Tentu." Balasku.

Aku menelusuri taman sesaat, menatap bunga yang ada. Di saat aku hendak melangkah lebih jauh untuk menggelingi taman rumahku, aku melihat sebuah kartus berdiri kokoh di ujung halaman saat masuk. Aku memperkirakan kartus itu sudah berumur 15 tahun lalu. Dan, aku ingat membeli seharga 35 ribu saat tiba di gunung.

Tapi pada akhirnya tempat terakhirku berhenti adalah ayunan di ujung halaman, aku ingat seseorang saat melihat tempat itu. Ada gadis berumur 5 tahun dan anak lelaki yang bermain bersama disana, itulah ingatan terakhirku.

Aku duduk di ayunan itu, mengayunkan ayunan menggunakan tangan dan kakiku. Sinar matahari menyinariku, lalu pemikiran kosong ini menimbulkan benak sesuatu padaku. Apakah arti yang benar-benar nyata dari kata kehidupan ini ? Tulisan berbentuk karangan dalam nada ataukah hanyalah omong-kosong belakang yang tidak punya arti.

My Life Has Moments(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang