Thinking

687 64 1
                                    

"Mengandung filsafat"

Mengapa seseorang menulis ? Aku bertanya pada diriku sendiri begitu lekas pulang. Ya, aku terpilih bergabung menjadi salah satu bagian dari komunitas itu. Sayangnya, ketika aku justru bergabung, aku merasa ada hal yang aneh.

Ini semacam pikiran yang memandangku. Misalnya, dalam hidup seseorang mereka butuh warna alami untuk membuat mereka bersinar. Dan, hal itu berlaku bagi penulis sepertiku—Hidup, perasaan dan pikiran. Tidak lebih, jika aku tahu apa jawaban yang sebenarnya.

Saat kakiku melangkah pulang, melewati jalan di taman. Aku merasakan rasa kekesalan yang berlebihan, dan ini bawaan sifat manusia. Ketika aku menginginkan sesuatu rasanya menyesal jika tidak dicapai, tetapi ketika sesuatu telah dicapai ada rasa melarang yang melampau.

Aku pikir berjalan tanpa arah lebih menyenangkan dari yang kukira. Nyatanya, aku menabrak orang dan bertabrakan pada benda yang tidak kulihat. Sama halnya kehidupan, yang selalu bertemu konflik ketika berjalan. Jika tidak disadari, maka akan terkena konflik tersebut.

Dan, ini juga soal pemikiran menulis. Orang-orang berpikir kalau menulis adalah hal luar biasa, yang bertindak sebagai hobi mereka dan menyenangkan. Tapi, aku merasa hal itu berbeda. Aku takut menulis.

Ketakutan yang menekanku hanyalah kegagalan yang harusnya tidak cukup mengalahkan diriku. Tapi aku sadar kalau dasarnya bukan hanya ada ketakutan yang menyangal di batinku. Ada rasa tidak berminta menulis lagi.

Aku mengedipkan mataku ketika jalan tampak kabur. "Tolong aku! Siapapun!"

Orang bilang padaku kalau menulis harus menjadi kesukaan. Dan, aku pikir itu benar. Tetapi, seberapa aku berusaha melakukannya, itu lebih sulit dari dugaanku. Ada rasa kesakitan yang menebas, tanggisan yang tidak bisa kulupakan ketika akhirnya aku menyerah.

Lalu, ada pesan terakhir dari berbagai orang yang kutemui. Menyerah dalam menulis sama dengan pengecut atau pecundang. Tidak, itu bukan hal yang benar atau salah. Tetapi, ketika kau tahu arti dari kata itu, maka mungkin kau pernah gagal.

Seseorang menyerah artinya tanda tidak mampu. Dia tidak bisa berjuang mempertahankan tulisannya, tetapi berbeda dengan orang yang bersembunyi di ketakutannya. Orang yang seperti itu adalah orang yang masih punya perasaan menulis, tetapi menyerah ketika dia merasa menulis bukan lagi sesuatu yang menyenangkan.

Aku pikir itu yang terlintas di benakku ketika melihat ada kursi sepi di sekitar taman. Aku memeluk diriku sendiri dan duduk disana, memandang orang yang lewat. Semasa aku menatap apa yang dilihat orang lain, aku sadar kalau diriku tidak bisa sembuh karena orang lain, melainkan diriku. Mirip seperti psikolog.

Semampu apapun dokter psikolog menyembuhkanmu, tetaplah hanya kamu yang bisa menyembuhkan dirimu sendiri. Mereka hanya sekedar nasehat agar kamu tidak berunjuk kearah negatif. Dan, ini berupa pilihan hidup.

Hanya tanggisan yang bisa meratapiku ketika sedih. Dan hari yang paling mengingatkanku akan menyerah, adalah hari ini. Hanya dalam posisi duduk, aku mengingat semua yang ingin kuingat.

Dan, ingatan timbul dalam beberapa tahun sebelum aku menyerah.

Ingatan lalu....

Aku duduk di kursi kamarku, mengheningkan diri. Ada lima sampai delapan tumpukan naskah di hadapanku. Semuanya ditolak dan dikembalikan padaku secara bersamaan dari empat puluh naskah yang kubuat terpisah.

Aku merasa sedih, ingin tertawa ataupun menangis. Aku pikir semua orang merasakan hal yang sama di dunia kepenulisan. Mereka berjuang dan berusaha menjaga naskah mereka.

Tapi aku duduk disana, akan segera menangis. Napasku tersegan begitu mengingat apa yang terjadi. Aku mencoba menutup mata dan menarik napas lebih dalam selama beberapa menit, tetapi rasa menyedihkan itu tidak bisa menghilang begitu saja. Sebab, aku juga tahu itu bukan hanya sekedar menyedihkan, tetapi menyakitkan.

Para editor hanya dapat memberikan pesan untuk berjuang lagi, bersemangat, semoga berhasil di lain waktu, mari bekerja sama nanti dan kirim lagi naskahmu nanti. Awalnya, aku pikir itu adalah kalimat yang menyuruhku menulis ulang. Nyatanya, itu mirip tolakan lembut.

Tapi aku tidak menyalahkan mereka, sebab ini soal aku. Aku yang tidak mampu masuk kedalam kepenulisan yang sebenarnya, dan tidak mampu memberikan kesan kepada orang lain.

Jadi, ketika aku merenungkan, berpikir apa pilihannya, aku pikir aku harus mengakhirinya. Ini bukan hanya sebuah pilihan, melainkan tekad yang tidak mampu. Kadangkala sesuatu harus direlakan untuk membuat hal yang lebih baik.

Sejak keputusan yang kuambil, aku menutup kamar selama lima hari dan menangis sekitar dua hari. Meratapi pemikiranku dan fokus pada hal yang kubayangkan nantinya. Ini sebuah pilihan, yang membawaku lebih kuat ketika gagal.

***

Aku pulang di rumah malam ini. Sekitar pukul 22.00, aku sudah tiba di dalam rumah dan sekarang duduk dalam gelapnya ruang tamu. Dan, itu mungkin akan merilekskan pikiranku.

Dan, Sarah tidak sengaja terbangun dan melihatku duduk dalam keheningan. Dia tahu apa masalahku dan menyadari semua hal yang kualami. Oleh sebab itu, dia memberiku air.

"Minum," katanya, menyerahkan segelas air putih padaku. Dan, dia menemukan mataku memerah dan hidung yang tersumbat. Mirip seperti orang yang habis menangis.

Ketika dia menatapku dengan tatapan menyedihkan, aku ingin kembali menangis. Ya, sekarang aku menangis di hadapan sahabatku sendiri. Dia menepuk pundakku.

"Tidak masalah, Megan. Kau bisa berusaha lebih baik lagi. Ini bukanlah masalah yang sulit, yang pernah kau hadapi. Ini hanyalah rintangan," kata Sarah, memberiku semangat.

"Tidak, itu tidak benar, Sarah." Aku mengelak, dengan penuh keyakinan. "Seandainya, jika itu benar. Apakah artinya aku tidak bisa melewati rintangan—"

"Bukan hanya sekedar rintangan, ini perjuangan," potongnya kesal.

"Bagaimana aku bisa berjuang, Sarah ?" Aku bertanya dengan nada tidak senang, hampir menangis ketika mengatakannya. "Ini masa lalu yang paling menyakitkanku! Aku kehilangan hobi, tujuan dan keinginanku! Ya, itu benar, aku memang tidak bisa berjuang. Tapi..."

Suaraku tiba-tiba menjadi merendah. "Tapi aku menyesal telah melakukannya!"

"Aku tahu, Megan." Sarah mendekat, mendesis kalimatnya. "Tapi ini sebuah harapan. Kau mau menyerah sekarang, melarang kehendakmu untuk melawan ketakutanmu... Dan, dan mungkin bersembunyi. TAPI, kau tidak bisa, Megan! Ini perjuangan bukan hanya penyesalan yang kau sesali selama ini!" Sarah hampir berteriak ketika mengatakannya, dia menjadi kesal dan sebal berbicara denganku.

"Ini ketakutan, Sarah. Dan, aku sudah lama tidak menulis selama beberapa tahun terakhir," kataku, menyadari ucapan Sarah dan berhenti berkeluh kesa padanya. "Apakah aku bisa menulis lagi ?"

"Semua butuh proses, Megan. Cobalah dulu," katanya, merendahkan emosi dan tersenyum tipis.

My Life Has Moments(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang