Teaching a newspaper writer

2.8K 157 2
                                    

Pagi hari mulai tiba. Seperti biasanya, Sarah sedang menyiapkan sarapan. Kadang kala, ia memutar musik sambil memasak atau banyak kejadian aneh yang diperbuatnya.

Sementara, aku baru saja keluar dari kamarku. Mataku masih sedikit tertutup, kucoba membukanya secara perlahan-lahan. Sebenarnya, aku menyukai waktu yang lama. Maksudku, aku suka membuang waktuku. Lagi pula, aku tidak pernah telat.

Sarah menoleh padaku. Dia mengerut keningnya. "Kau tidak mandi ?"

"Akan segera. Lagi pula, aku tidak pernah telat, bukan." Balasku mendengus napasku kesal. Maksudku, dia seolah tidak percaya kalau aku takkan telat.

Beberapa menit kemudian, aku keluar dari kamar mandi. Berpakaian baju kantoran berwarna pink dan tas gantung di pundak.

"Wah! Megan, astaga! Dimana kau menemukan baju ini ?!" Matanya benar-benar terkagum. Dia berdecak riang. "Ini, ini sangat cantik!"

"Beritahu aku," katanya memegang pundakku dan mengelus kainnya. "Darimana kau menemukannya!"

Ya, salah satu kebiasaan Sarah adalah kagum. Dia menyukai melihat baju bermerek seperti kantoran. Bisa dibilang, dia penggila baju begituan. Tapi, aku Megan Petty, sebagai sahabat terbaik akan memberikannya pilihan yang bagus.

"Ini," kataku mengambil majalah The Shonet dari balik laci rahasiaku, lalu memberikannya. "Aku melihat petunjuk model baju disana."

Sarah menerimanya seperti menerima Berlia dari Autralia. Matanya benar-benar melotot kagum dan, dia sedang membaca sekarang. Sementara, aku duduk tenang dan memakan sandwitch sebagai sarapanku. Tidak ada, yang bisa melarang Sarah untuk melihat itu, maksudku dia tidak akan melakukan sesuatu jika mendapatkan petunjuk mengenai bajunya.

Ketika waktu berlalu, hanya satu yang bisa membuat Sarah menghentikannya membaca. Waktu yang terlama. Maksudku, jika aku tidak mau telat 5 menit pergi ke kantor, aku harus meneriakinya sambil melirik jam.

"Astaga! Sarah, ini sudah jam 07.00! Kau mau kita telat!"

Dan tips itu berhasil dan, membuatnya langsung buru-buru membuang buku dan lompat pergi. ke pintu luar. Dan, kini kami berjalan bersama. Memang benar jalan lebih baik daripada naik bus. Walau kemungkinan besar, aku hanya berdiri tapi itu terlalu buruk. Bau para pekerja yang berlewatan disana membuatku pernah hampir muntah dan, sekarang itu seperti trauma di pikiranku.

Lalu saat kami masuk, aku bisa melihat semua para pegawai tingkat berapapun terkumpul, duduk di untuk berdiskusi sesuai tingkatan dalam satu meja bulat. Ada beberapa anak didikan baru.

"Inilah mereka berempat yang terpilih. Mohon para pemilih berada di depan untuk mengarahkan penulis koran pemula," Ujar Reinhart.

Seperti biasanya, aku selalu tampak sempurna di hadapan juniorku. Lagi pula, aku menyadari beberapa saat kalau para junior damnt it itu kadang hanyalah memuji. Dia akan membicara seseorang di belakang mereka. Seperti saat ini, pujian mereka terlalu manis untuk mulut mereka.

"Beruntung banget yang dipilih oleh prof Megan!"-

"Jarang banget prof Megan mengikuti ini. Keren banget !"-

"Wah beruntung deh,aku iri banget pada orang yang dipilih prof Megan!"-

Sayang, si gadis anak baru, maksudku Monica Rere. Dia tertipu dengan ucapan para junior. Ya, tapi paling tidak aku merasa ucapan juniorku ada benarnya. Memang benar, Monica jelas beruntung mendapatkanku.

"Selamat bergabung, Monica Rere. Senang bertemu denganmu dan mohon untuk satu tahunnya nanti," kataku berusaha tersenyum saat berada di samping

Aku tidak tau ada apa dengan Monica, tapi aku mencurigai dia gila. Dia terus menjabak tanganku, meminta tanda tanganku dan kemudian foto. Lalu, sekarang dia berucap. "Terima kasih, Ms. Megan. Saya sangat senang anda bisa membimbing saya."

My Life Has Moments(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang