Part 3

1.9K 113 11
                                    

"Pacaran sama gue itu simpel. Enggak ada uang, kita copet."
Ababil Gandra Prasetya

***

"Duh, akhirnya kelar juga!"

Ababil berseru senang sambil membanting sapu yang sedari tadi ia genggam. Hanya menggenggam, karena Foza dan Hana yang menyapu lantai kelas. Sedangkan Ababil hanya memantau pekerjaan mereka. Sebab hari ini Ababil mendapat jadwal piket kelas.

"Kayaknya capek banget ya, Bil. Pegang sapu sambil mondar-mandir," ujar Foza sambil mengambil tasnya diatas meja.

"Banget," kata Ababil tak tahu diri. Lalu tatapan Pria itu tertuju ke arah Hana yang sudah menyandang tasnya, siap untuk pulang. "Han, lo udah jemput? Kalo belum entar gue tungguin, deh," tanya Ababil pada perempuan itu.

Hana tersentak saat Ababil berkata padanya. Perempuan itu langsung menggeleng saat mendengar ucapan Ababil. "Eh-enggak usah, Bil. Gue udah dijemput Papa." Hana melirik ponselnya yang terdapat panggilan dari Papanya. "I-ini udah ditelpon, Gue deluan ya, bye!" seru Hana nampak gugup.

Ababil mengangkat satu alisnya, bingung. Padahal mereka sudah hampir tujuh bulan sekelas bersama, namun wanita itu masih tetap canggung saat Ababil mendekatinya.

Padahal jika dengan teman wanita sekelasnya, Ababil sudah lumayan dekat. Namun, hanya pada Hana seolah ada pagar pembatas diantara mereka. Walaupun begitu, Hana juga termasuk teman yang sering membantunya. Membantu memberi jawaban contohnya.

"Gue deluan ya, Bil!" Foza meniru ucapan Hana dengan gaya seperti perempuan namun lebih mirip seperti banci yang sering mangkal di Stadion. "Tuh, cewek enggak anggep gue apa? Dikira mahluk gaib kali gue."

"Kalo orang ganteng suka enggak dianggap ya?" tanya Foza lagi dengan muka sok polos.

"Bodo amat gue gak denger!" ujar Ababil tak peduli lalu mulai melangkahkan kaki menuju pintu kelas. Namun, belum sampai sepatunya menginjak garis pintu. Laki-laki itu menepuk jidatnya lupa.

"Gue lupa bangunin Intan!"

Ababil kembali masuk kedalam kelas. Matanya langsung tertuju pada seorang gadis yang nampak terlelep diatas bangku. Tas wanita itu sudah dijadikan bantal dadakan. Untung saja tidak ada sungai yang mengalir disela-sela bibir Intan.

"Bangunin, deh, Foz!" ujar Ababil.

"Tan, Intan!" panggil Foza namun tidak reaksi sama sekali oleh wanita itu. Hingga lima menit berlalu, Intan masih terlelap diatas bangkunya.

"Gue yakin. Kalo ada gempa sekarang, udah jadi korban ini si Intan," seloroh Foza, capek.

Ababil menggelengkan kepalanya, decakan terdengar beberapa kali dari bibir merah alaminya. "Lo lihatin gue, ya. Tapi, jangan dicoba. Adegan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang profesional."

Foza menggeleng tak percaya.

Ababil maju selakang mendekati Intan yang masih terlelap diatas bangkunya. Sebelum ia malakukan aksinya, matanya ia kedipkan ke arah Foza yang disambut tatapan tak mengerti anak itu. Lalu dengan perlahan Ababil menundukan wajahnya hingga berada tepat didepan wajah Intan. "Ehemm, hem," Ababil berdehen menetralkan suaranya.

"Man rabbuka?"

Gubrakkk!

Ababil membelalakan matanya tak percaya saat melihat Intan tiba-tiba bangun namun naasnya harus terjatuh. Dan, jangan lupakan kepala wanita itu yang terbentur meja.

"Kabur! Kabur Pojaaaa!"

***

Sesampainya di depan pagar sekolah, sudah ada Selly yang berdiri sambil menolehkan kepalanya kekanan dan kekiri. Tanpa babibu lagi, Ababil langsung manarik kerah baju wanita itu untuk menaiki angkot yang sudah stay sedari tadi.

Smk & SmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang