"No one care or i dont care about their."
Jihan Putri Catelya.Seorang gadis dengan rambut diikat kuda mendesah bingung, kepalanya beberapa kali melirik ke arah kanan maupun kiri lorong sekolahnya. Namun tetap saja sebuah kertas ukuran A4 yang tertempel di depan ruangan begitu besar menarik atensinya. "Hah..." Jihan menghela nafasnya lagi, lebih panjang.
"Kenapa bisa lupa, sih?!" sesalnya.
DILARANGAN MASUK TANPA JAS LAB!
Begitulah isi kertas itu, hal yang menyebabka Jihan berada didepan Laboratorium Kelas Satu seorang diri. Semua teman-temannya sudah lebih dulu masuk kedalam lab.
"Ji, enggak ada yang bawak jas lab dobel." Sania keluar lagi setelah masuk kedalam lab untuk bertanya pada teman-teman yang mungkin membawa jas lebih karena biasanya ada saja satu atau dua orang yang tak suka jasnya terkena bahan lab dan membeli yang baru. Jas yang lama biasanya ditinggalkan didalam kelas.
"Gue alpa aja, deh, San," pasrah Jihan. Memangnya apa yang bisa ia lakukan lagi? Masuk kedalam tanpa jas? Tidak! Jihan tidak ingin namanya didaftar nilai dilingkari dengan pena merah oleh Pak Zen. Itu sama saja ia mendapat merah dirapot.
"Tapi, kita ada quis tambahan nilai, Ji."
"Astagah..." bahu Jihan melemas. Pelajaran Pak Zen memang tidak sulit, menurut Jihan. NamunPria paruh baya yang mengajarkan... itu sangat pelit dengan nilai. Dan, untuk bisa mengikuti ujian akhir nanti Pak Zen itu menginginkan semua murid yang ia ajar memiliki nilai delapan puluh ke atas. Tidak sampai? Jangan harap ulangan.
Jihan tidak tahu berapa jumlah nilainya sekarang karena memang Pak Zen tidak akan memberi tahu sekarang tapi nanti saat mendekati ujian akhir. Jadi sekarang Jihan harus menebak-nebak berapa nilainya. Apakah ia bisa tetap ujian akhir tanpa harus mengikuti kuis tambahan ini?
Ditengah ketegangan mereka, ruangan disamping mereka tiba-tiba terbuka. Beberapa siswa mengenakan jas lab keluar dari sana. Itu ruangan laboratorium khusus anak kelas tiga. Kakak kelas mereka.
"Ha! Pinjam sama anak itu aja, Ji!" seru Sania menunjuk beberapa siswa yang keluar dari sana. Tiga orang siswi menyadari bahwa dirinya ditunjuk oleh Sania, sekejap pandangan mereka berubah mematikan seolah ingin menerkam membuat Sania melemaskan tangannya.
"Ngeri gue, San," bisik Jihan pelan. Sania ikut mengangguk.
"Tapi, tunggu dulu," ujar Sania lagi dan melihat ke arah ruangan tadi. Dan, benar saja, seorang pria yang mungkin paling terakhir keluar adalah orang yang Sania kenal.
"Woii!" teriak Sania mengagetkan Jihan. Bisa ngegas juga si Sania.
Sania menarik tangan Jihan menuju pria yang berada didepan lab sendirian. "Pinjam jas lab lo!" seru Sania membuat alis pria itu terangkat sebelas. Sedangkan Jihan mati-matian merutuki tingkah Sania yang begitu sopan. Ia tidak tahu siapa orang yang berada didepannya ini!?
"Sopan banget lo woi woi sama gue," ujar pria itu membuat Jihan menghela nafasnya. Matilah mereka!
"Tumben lo mau ngomong sama gue di sekolah! Dirumah aja lo bilang pura-pura enggak kenal."
Jihan mengerutkan dahinya saat mendengar ucapan pria itu yang kini tengah melepas jas labnya. "Balikin nanti!" ujar pria itu sambil memberikan jas lab milikinya tepat dimuka Sania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Smk & Sma
Teen Fiction"Dari awal kita berbeda, benar-benar beda. Dan, yang beda nggak akan pernah bisa bersatu." Pertemuan pertama Ababil dan Jihan tidaklah mengenakan. Pria itu harus rela disangka sebagai Cowok Mesum karena sedari angkot berjalan memandangi ke arah Dada...