Part 9

1.2K 58 2
                                    

"Jadi introvet tidak selalu tentang sendiri dan menutup diri, tapi bagaimana caranya untuk tidak ikut peduli yang bukan urusanmu."
Ababil Gandra Prasetya








Teeeeeet!

"Han, lo mau ke kantin enggak?"

Jihan mengangkat satu alisnya saat melihat seorang wanita berambut panjang dan bergigi rapi berdiri disamping mejanya. Belum lagi ajakan makan bersama ke kantin sekolah. Tidak masalah sebenarnya, namun ini kali pertamanya Jihan berbicara dengan wanita itu selama lebih 7 bulan bersama dalam satu kelas.

"Gue?" tanya Jihan menunjuk dirinya. Sania, nama wanita yang terkenal pendiam itu mengganguk.

Karena tak ada alasan menolak juga perutnya sedang dalam kondisi membutuhkan asupan, Jihan mengangguk. Dan, sempat terdiam saat melihat senyuman Sania yang baru pertama kali ia lihat.

Bukan hanya Jihan sebenarnya yang terheran-heran saat melihat Sania yang biasanya sudah lenyap dari bangku saat bell dan tiba-tiba hadir saat bell masuk. Like a ghost student.
Tapi, seluruh siswa kelas juga dibuat bingung, belum lagi Ali-seksi keagamaan kelas-- yang dibuat jantungan saat melihat senyuman Sania.

"Lo pesan apa, San?" tanya Jihan saat mereka sudah berdiri dideretan gerobak makanan yang mulai padat dikunjungi siswa yang kelaparan.

"Eh? Eum... Es jeruk sama batagor aja," ujar Sania agak gugup, wanita itu nampaknya tidak nyaman saat ada beberapa siswa-siswi yang menyenggol bahunya karena kantin sudah mulai padat.

"Lo cari meja, gih." Sania mengangguk ragu saat Jihan menyuruhnya mencari tempat duduk. "Tapi, cari yang diujung aja, malas gua disini. Pengap," lanjut Jihan tahu bahwa Sania kurang nyaman akan keramaian.

Tidak lama kemudian, Jihan datang dengan membawa pesanan menuju bangku yang sudah dipilih Sania. Sangat mudah memang mencarinya, karena wanita itu memilih bangku yang berada di ujung, hanya tiga atau empat orang yang duduk disini. Dua diantaranya Jihan tahu sebagai orang yang pendiam.

Tidak ada obrolan, rumpian ataupun ghibah-an seperti kebanyakan jika perempuan berkumpul. Hanya ada suara dentingan sendok dan bunyi 'sroot-sroot' dari pipet yang disedot. Hingga saat bakso Jihan tinggal setengah, wanita itu tidak tahan lagi untuk tidak bertanya.

"San, sorry, nih. Kalo pertanyaan gue bikin lo kurang nyaman." Jihan menjeda ucapannya. "Kenapa lo tiba-tiba ngajak gue ke kantin? Biasanya lo kalo udah bell bunyi langsung lenyap?"

Sania terkekeh kecil. "Gua kira lo enggak bakal nanya, Han." Wanita itu berhenti sebentar untuk mengambil tisu yang ada di saku bajunya. "Gua bosan dibilang aneh. Jadiny gue pengen disebut orang normal, entah definisi orang normal kayak gimana?"

"Menurut gue lo normal, deh, kecuali kalo lo itu marmaid yang lagi berusaha nyalamatin dunia bawah laut. Baru aneh." Jihan mengangguk-angguk. "Kecuali definisi orang normal menurut mulut tetangga kelas, baru itu gak masuk akal. Gue aja sering disebut enggak normal."

"Betul juga," ujar Sania sambil tertawa. Kemudian mereka berdua melanjutkan kembali makan yang sempat tertunda.

"Han, makasih."

Jihan yang tengah mengunyah pentol bakso terakhirnya, mengangkat satu alisnya. "Mwakswih kwnawpa?" tanyanya sambil mengunyah baksonya.

"Habisin dulu, han," Sania terkekeh.

"Makasih kenapa?" tanya Jihan setelah selesai meneguk teh kotaknya ludas.

"Makasih udah mau nemenin gue makan di kantin."

Smk & SmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang