Chapter 5

73 54 25
                                    

Sejak hari itu, Dokter Aron jadi lebih sering tidur diruanganku, walau memang kami masih tak banyak bicara.

***

Hari ini Ayahku datang berkunjung lagi, dia terlihat lelah karena pekerjaannya. Kutatap matanya lekat, serta tak lupa kupasang ekspresi memohon. Pastilah karena ada maunya. Siapa yang bisa menolak dengan puppy eyes miliku.

"Dapatkan izin dari Doktermu dulu," katanya lembut tapi tegas namun Ayah masih enggan menatapku. Mungkin ia masih menyimpan gengsi dalam dirinya. Mendengar itu mataku melebar tak percaya akhirnya Ayah luluh juga. Tak pernah seperti ini sebelumnya. Dia adalah tipe ayah yang kalau sudah A yaaa harus A, gabisa jadi B atau C. Intinya, ayah teguh pendirian dan sedikit keras kepala.

Sekarang tinggal bagaimana aku meyakinkan Dokter Aron. Ahhh kurasa akan jauh lebih sulit. Bayangkan saja, ngobrol aja jarang, apalagi sampai berani minta izin.

Ketika aku ngobrol kesana kemari dengan Ayah, Dokter Aron masuk ke kamarku. Hal pertama yang ia lakukan adalah menyapa Ayah. Mereka terlihat akrab, atau mungkin lebih tepatnya memaksakan untuk terlihat akrab.

Kalau kulihat dari seragamnya, sepertinya dia baru saja keluar ruang operasi dan aku yakin dia akan numpang tidur disini. Itu sudah pasti.

Entah bagaimana, sepertinya Ayah mengerti. Dia berlalu pamit setelah sempat beradu pandang dengan Dokter Aron. Aku reflek tersenyum, senyum penuh kemenangan tentunya. Dewi Fortuna bersamaku sekarang.

"Aahh ... kurasa aku harus tidur diruanganku," celetuknya sambil menggaruk tengkuk yang kuyakin itu tidak gatal.

"Tidak! Disini saja," jawabku sigap. Takkan kubiarkan kesempatan ini hilang begitu saja.

"Nanti Ayahmu kembali lagi, aku gak enak."

"Paling dia balik ke Kantor, lagipula Dokter kan hanya numpang tidur di sofa, bukan sedang berkencan atau bercumbu denganku dikamar ini," jawabku sambil menahan geli dengan apa yang kulontarkan. Kurasa urat malu ku telah putus.

Sayangnya tak ada reaksi apapun, padahal kupikir dia akan sedikit berontak atau sejenisnya. Kan lucu kalau ia sedikit bereaksi. Pupus sudah niat jahatku ini.

"Dok," panggilku tiba-tiba ketika dia mulai berbaring di sofa.

"Emm," jawabnya tanpa memandang ke arahku.

"Aku... " kalimatku menggantung, aku tak berani mengatakannya. Sianya Dr. Aron hanya terdiam sambil memposisilan untuk bisa menatapku, mungkin maksudnya emberiku ruang untuk bicara.

Pada akhirnya dengan setengah keberanian, aku melanjutkan kalimat yang tadi menggantung, "aku ... ingin pergi. Sungguh, kumohon izinkan aku pergi," aku menunduk menunggu jawaban darinya. Jantungku berpacu cepat saat ini, antara takut dan aaahhh semua campur aduk.

"Ke acara perpisahan Sekolahmu itu?" tanyanya enteng. "Pergilah, aku takkan melarangmu," sambungnya.

Enteng sekali ucapannya, kok bisa? Semudah itu? Kukira aku harus berlutut untuk meminta izin atau harus menangis meraung-raung terlebih dahulu. Bahkan aku sudah menyiapkan stok air mata untuk acara permohonan ini, aisshhh semuanya gagal. Apa yang sebenarnya dia pikirkan?

Pertanyaan seperti itu memenuhi kepalaku dan bertarung untuk mendapatkan jawaban pasti.

"Syaratnya? tak mungkin Dokter dengan mudahnya memberikan izin," akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Lagipula dia bukan tipe orang yang dengan gampang membiarkan pasiennya berkeliaran.

"Kukira kau tak akan bertanya sejauh itu, karena kupikir kau itu bodoh," katanya sambil sedikit menyunggingkan senyum sinis.

"Tentu saja kau harus pergi denganku dan dalam pengawasanku," lanjutnya dengan nada tegas.

Singkat [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang