Hanya sunyi yang tercipta saat ini. Sepanjang perjalanan pulang menuju RS. Aku benar-benar bingung harus bersikap seperti apa lagi. Kulirik Dokter Aron hanya diam dan tetap fokus menyetir. Sedangkan aku sendiri, hanya menunduk malu dan menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
***
"Benarkah kamu pacarnya Aileen?" selidik Loona.
Dokter Aron tampak kaget dengan pertanyaan temanku, lalu dia menatapku sebentar, sedang aku hanya menunduk merasakan hari ini akan jadi akhir ceritaku. Jantungku berpacu dengan cepatnya menunggu situasi seperti apa yang nantinya tercipta.
"Mmm. Anggap saja begitu," jawab Dokter Aron dengan entengnya.
Seketika ototku melemas, oksigen yang tadi sangat sulit kuhirup sekarang terasa sangat mudah. Aku lega dengan jawabannya. Kurasakan kematian yang awalnya sudah menanti di depan mata, kini berangsur menjauh seiring dengan pernapasanku yang mulai normal. Aku lega dibuatnya.
Tapi,
Tunggu....
Bagaimana aku menyikapi ini nantinya?
***
Sudah dua hari berlalu sejak kejadian itu, aku masih sangat-sangat canggung jika harus bertemu dengannya.Berbeda denganku yang selalu menegang ketika bertemu dengannya, dia malah datar saja. Seperti tak ada yang terjadi.
Setelah lama berfikir, akhirnya aku beranikan diri untuk membuka suara, dan membahasnya.
"Dok, emmmm..... Soal waktu itu, aku... " aku terdiam, menggantungkan kalimatku.
"Sudahlah, bukan masalah besar..." potongnya masih dengan wajah datar, dia masih fokus pada berkas yang sedari tadi dia pegang.
"Aku tahu, kamu ingin menyembunyikan kemalanganmu kan?.. "
"Aku paham itu," ungkapnya.
Apa?
Kemalangan?
Astaga bisakah tidak usah diperjelas?
"Mmm. Terima kasih atas bantuannya pada hamba yang malang ini," jawabku sinis.
Bukan karena tak tahu terima kasih, tapi ucapan terakhirnya yang cukup menusuk hatiku. Seenak jidatnya bilang aku wanita malang.
"Mmm," jawabnya singkat.
"Mmm, kalau Dokter emang mau membantuku, jangan setengah-setengah dong."
Dia mendelik, "maksudmu? "
"Kau tahu Dokter, aku selama ini menyukaimu. Bahkan sejak pertemuan pertama kita di atap. Aku selalu mengagumi mu, jantungku berdegup sangat kencangnya bahkan hanya ketika mendengar deru napasmu.... "
"Aahh tak perlu ku jelaskan, karena Dokter pasti tahu, Dokterkan pintar.. "
"Jadi maukah Dokter tampan di hadapan ku ini jadi Pacarku?" kataku panjang lebar.
Aku tak tahu setan apa yang merasuki diriku hingga sanggup begini. Wajahku memanas dibuatnya, ingin ku menggantungkan diriku di langit-langit kamar pasien ini saking malunya.
Hening
Dokter Aron hanya menatapku dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Aku gelagapan dibuatnya.
"Mmmm.. Tak perlu lama, hanya untuk beberapa bulan ke depan, setidaknya sampai aku benar-benar tak berdaya. Tak Perlu menjadi pacar sungguhan, hanya bersikaplah manis di depanku. Aku cukup tahu diri kok, cukup sadar kematianku sudah di depan mata. Aku hanya... ingin... " belum sempat aku merampungkan kata-kataku. Dokter Aron sudah menyela kalimatku.
"Kebanyakan baca novel mellow," jawabnya sambil melenggang keluar dengan santainya.
Astaga, bagaimana mungkin ada Dokter dengan hati sedingin dia? Aarrggghh ingin kuterkam dan ku makan hidup-hidup.
Tunggu. Aku di tolak? Dia Cinta pertamaku dan aku di tolak? Malang nian nasibmu Ay.
***
Keadaanku memburuk lagi.
Lagi?
Iya lagi.
Aku menggigil, tak ada nafsu makan, tak ada tenaga walau hanya untuk membuka mataku. Aku hanya bisa diam mematung di tempat tidurku ini. Dengan bantuan alat medis tentunya.
Dari tadi aku tak mendengar suara ibu dan ayah. Apakah mereka memang tak datang menjenguk?
"Bagaimana dengan keluarga pasien?" tanya seorang lelaki yang kuyakini dia Dokter Aron.
"Mereka sedang menghadiri pentas ballet salah satu anaknya," kata seorang wanita.
"Ck, benar-benar gadis Malang," gumam Dokter Aron.
"Hey!!,,, kau bergumam sekencang itu? Tidakkah kau menghiraukan ku disini? Suaramu jelas terdengar. Berani-beraninya menghina ku dikala terbaring lemah seperti ini. Aku hanya lemah, bukan tak sadarkan diri. Aku bisa mendengarmu DOKTER ARON. Kalau saja aku sedang sehat, ku terkam juga mulutmu" gerutu ku dalam hati.
Beberapa perawat keluar ruanganku, bisa kupastikan dari suara langkah kaki mereka. Tapi Dokter Aron sepertinya masih stay disini, disamping ku. Kurasakan kasurku mulai bergerak, tanda ada seseorang yang duduk di pinggiran kasur.
Tak lama kurasakan tangan seseorang menyentuh dahiku, lalu menaikkan selimut hingga ke leher.
"Cepatlah membaik," gumamnya dengan suara lembut.
Alamak,, tangan siapa itu? Suara siapa itu? Bagaimana kabar jantungku?
Dia berdetak tak karuan, pipiku terasa panas, pasti sangat merah disana. Tak ku sangka dia melakukannya padaku.
"Aku akan segera bangun, aku janji," jawabku dalam hati.
Selama semingguan ini Dr. Aron lebih sering tidur di kamarku, ralat maksudnya sofa di kamarku. Bahkan hampir setiap malam, dia selalu beralasan terlalu lelah untuk menyetirlah dan banyak lagi alasannya. Dia selalu ada disana setiap kali aku membutuhkan sesuatu.
Seperti halnya saat ini, aku sangat ingin ke toilet. Tapi, kulirik Dr. Aron sedang tertidur pulas. Dengan hati-hati aku turun dari kasurku, kuusahakan untuk tak bersuara sedikitpun. Tapi sayang, karena aku masih lemah tubuh ku langsung ambruk bertepatan dengan kaki yang menyentuh lantai. Suara yang kuhasilkan,mampu membangunkan Dr. Aron.
Dia beringsut bangun dan menghampiriku dengan kecepatan kilat.
"Aku ingin ke toilet," kataku.
Dia tidak menjawab, hanya memegang tanganku dan memapahku ke sana.
"Stop, sampai disini saja," kataku, ketika kami sudah di ambang pintu toilet.
Dia hanya diam, sambil terus memapahku ke dalam.
"Hey!! Berhenti! Jangan berpikiran terlalu jauh, hanya karena aku sedang lemah dokter bisa seenaknya pada tubuh ku," dia menatapku sambil mengerutkan dahi.
"Selemah apapun, aku akan tetap menjaga aset serta kehormatanku. Dokter jangan coba macam-macam ya," lanjutku dengan nada yang sedikit meninggi.
"Ck, Otakmu harus kusapu," jawabnya sambil melepaskan pegangannya padaku dan menghilang begitu saja dibalik pintu. Seketika aku oleng dan langsung berpegangan pada dinding.
"Apa aku salah?" gumamku tak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Singkat [Completed] ✔
RomanceAku, Aileen Adina. Panggil aku Ay. Aku bertemu dengan seseorang diwaktu dan tempat yang tidak tepat. Bahkan keadaanpun tak mengijinkanku untuk bersamanya, namun aku masih diberi pilihan. Melukai sejak dini atau membiarkannya terluka lebih dalam. H...