Chapter 4

90 59 22
                                    

Maaf jika feel nya belum ngena,  aku lagi ngusahain kok:D

Happy reading

***

"Ayah, kumohon. Sekali ini saja, aku benar-benar ingin pergi," kataku gemetar menahan tangis.

"Tidak! Kamu sedang tidak bisa keluar RS. Ayah pasti akan menyetujuinya jika kamu memang anak yang sehat. Tapi kamu tahu sendirikan?" bentaknya. 

"Tapi... " belum selesai ucapanku,  ayah langsung memotongnya

"Ingat Ay! Kamu berbeda dari mereka!" teriaknya degan nada yang benar-benar meninggi.

Deg!



Seketika duniaku terasa berhenti.
Air mata keluar deras disertai rasa perih yang menyiksa hati. Ada rayapan kesakitan yang mengoyak hati.

Kalimat itu benar-benar menusuk dan merobek hati. Mengapa yang mengatakan kalimat kejam itu adalah Ayahku sendiri?

"Kau tahu sendiri kan, Ayah paling membenci anak yang tak patuh," tutupnya sambil berlalu pergi dari kamar, meninggalkan aku yang masih terisak sendirian.

Aku menangis sejadi-jadinya. Jeritan demi jeritan ku keluarkan, agar setidaknya sesak di hati dapat sedikit tersalurkan. Rasa-rasanya ada batu besar mengganjal pernapasan.

Tak lama setelah kejadian itu, Dokter Aron datang ke kamarku, untunglah saat itu, aku sudah bisa mengontrol air mata.

"Mmm, kurasa aku datang disaat yang tidak tepat," celetuknya sambil menutup kembali pintu yang baru saja ia buka.

"Dok, bisakah kupinjam bahumu?" entah bagaimana kalimat itu bisa terlontar dari mulutku dengan mulus. Jujur saja, untuk saat ini aku hanya butuh sesuatu untuk bersandar dan menyalurkan kekecewaan.


Yang pada akhirnya membuat Dr. Aron mengurungkan kepergiannya. Kulihat dia jadi kikuk dan bingung harus bagaimana.

"Baiklah, tak apa jika merasa keberatan," kataku dengan suara parau.

"...Dokter bisa kembali lagi nanti,  ketika aku sudah tenang, kumohon," sambungku.

Aku benar-benar sedang bad mood,  aku malas melakukan banyak hal, sekedar menarik napaspun aku malas, apalagi untuk mengikuti serangkaian cek kesehatan yang cukup panjang. Aku terlalu lelah karena pertengkaran tadi.

Setelah beberapa menit pun Dr. Aron masih berdiri di tempatnya. Kukira dia akan pergi begitu saja, ternyata tidak. Dia malah datang menghampiriku, lalu menarikku ke dalam dekapan bahunya untuk bersandar. Air mataku yang sempat berhenti, kini mengalir deras lagi.  Tak ada kata terucap selama lebih dari sepuluh menit.


Pundaknya benar-benar nyaman,  hingga aku sanggup mengeluarkan seisi hatiku disana. 

"Apakah aku berbeda Dok?" kataku,  memecah keheningan. Aku menarik diriku dari sandaran pundaknya, lalu memandang dalam manik hitam miliknua menagih jawaban.

Kurasa Dokter Aron cukup terkejut dengan pertanyaan dadakan itu,  hingga dia hanya bergumam tak jelas.

"Aku hanya ingin menghadiri perpisahan di sekolah. Sebentar saja,  aku tak meminta lebih. Hanya ingin bertemu dengan teman sekelasku. Karena mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Aku..." kalimatku terputus,  karena lagi-lagi aku tak sanggup menahan tangisku,  walau memang tak sederas tadi. Tetap saja menghambat lidahku untuk meneruskan kalimat tadi.

Dokter Aron tak banyak berbicara,  dia hanya menepuk-nepuk lembut pundakku.

***

Keadaanku memburuk lagi, walau ini bukan kali pertama, tapi ketakutan masih meresapi jiwaku hingha kini. Masih terlalu  takut dengan akhir ceritaku.

Beberapa hari ini aku hanya berbaring dan menggigil. Tapi syukurlah kali ini aku di temani Ibu dan Ayah. Kulihat Dr. Aron beserta beberapa perawat sangat sibuk.  Entah berapa kali mereka bolak-balik kamar ini, aku yang lemah hanya bisa memperhatikan mereka.


Hari-hariku kini bertemankan jarum suntik beserta obat-obatan. Setiap kali jarum itu menembus kulitku, hanya ringisan dan air mata yang dapat menyampaikan ketidak berdayaanku. Sungguh menyakitkan. Aku semakin lemah. Jangan lupakan satu hal, aku juga merasakan ketakutan yang teramat besar. 

***

Setelah lebih dari sepekan, akhirnya keadaanku mulai membaik. Setidaknya sekarang aku sanggup untuk berjalan sendiri ke kamar mandi, tak harus selalu di temani Ibu.

Dua minggu menuju acara perpisahan. Aku semakin sedih, karena izin dari Ayah belum juga ku kantongi, ditambah lagi keadaan yang tak kunjung membaik.

Oh iya, selama aku di Rumah sakit, aku tak diperbolehkan memegang Hp. Jadi aku tak terhubung dunia luar sama sekali. Aku tak pernah mendapatkan kabar dari teman sekelas. Aku tahu tanggal perpisahan pun dari Guru pengawasku ketika aku mengikuti ujian di Rumah sakit.

Sungguh aku kehilangan teman bicara. Aku kesepian.

***

Udah segitu aja dulu.  Otakku buntu.  :D

Singkat [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang