Bulan telah berganti, akhirnya tiba apa yang dinantikan Misis. Hasil pengumuman lomba matematika yang ia laksanakan pekan lalu.
Ia sangat yakin bahwa ia bisa menjadi salah satu yang menerima piala, tapi senyum yang ia lengkungkan perlahan menghilang saat tak melihat namanya dalam daftar juara. Kecewa, takut, dan khawatir.
"Ngga mungkin!" teriak Misis histeris.
Ceres yang mendengar teriakan Misis segera berlari menuju kamar Misis yang berada di samping kamarnya.
"Misis? Lu baik-baik aja?" Ketukan pintu sudah berkali-kali Ceres lakukan tetapi tak mendapatkan jawaban dari dalam.
"Misis!" panggil Ceres lagi sedikit lebih kencang.
"Lu ngga keluar, ini pintu gua dobrak! Buka sekarang!" teriak Ceres.
"Mati! Kita bisa mati!" teriak Misis dari dalam dengan suara tak kalah nyaring dari teriakan sebelumnya.
Ceres tak paham apa yang dimaksud Misis, otaknya tak henti untuk mencari tahu dan dirinya juga masih berusaha mencoba mendobrak pintu kamar Misis.
Setelah cobaan ke empat akhirnya pintu kamar Misis berhasil didobrak, ia tak menyangka melihat keberadaan Misis yang mengenaskan. Rambut berantakan, terduduk di lantai dengan barang-barang yang berceceran, bahkan wajahnya pucat pasi seakan-akan baru saja diteror.
"Misis," panggil Ceres dengan lembut.
Misis menatap Ceres dan langsung berhambur memeluk saudarinya. "Ada apa?" Ceres mengelus punggung Misis berusaha menenangkan kegilaan yang terjadi.
"Gagal, gua gagal lagi!"
"Lu udah berusaha yang terbaik, jangan sedih ..." Tangan Ceres naik mengelus rambut Misis.
"Kita semua tahu lu udah berjuang mati-matian," lanjut Ceres.
***
Reno dan Teru segera mengunjungi rumah Misis dan Ceres dengan misi menghibur Misis sesuai perintah Ceres. Saat Reno, Teru, dan Misis berkumpul di ruang keluarga untuk maraton film, Ceres sedang disibukkan dengan membuat makanan di dapur.
Misis memang bisa memasak, tetapi hasil masakannya jauh lebih enak jika yang memasak adalah Ceres. Hari ini Ceres sengaja membuat soto ayam dan puding coklat kesukaan Misis, sengaja ia membuat makanan yang disukai Misis agar kondisi hatinya membaik.
Setelah selesai menenangkan Misis, Ceres mendapatkan dua kabar. Satu kabar buruk dan satunya lagi kabar buruk sekali. Pertama, orang tuanya akan pulang dan yang kedua, kepulangan mereka secara berbarengan. Mimpi buruk akan segera tiba.
"Res?" panggil Reno membuyarkan lamunannya.
"Makasih udah manggil kita buat jadi penghibur Misis," ucap Reno tulus.
"Hm."
"Ada yang bisa gua bantu?" Reno menawarkan jasanya tetapi Ceres langsung menggeleng dan pura-pura sibuk dengan mengaduk-aduk puding yang masih dimasak di atas kompor.
"Tugas lu cukup ngehibur Misis aja," titah Ceres setelah beberapa saat kepergian Reno.
"Lu ngomong sama siapa Res?" tanya Teru yang baru saja tiba di dapur.
Ceres mematikan kompornya lalu membalikkan badannya dan matanya tak menangkap keberadaan Reno. "Tadi Reno ke sini," jawab Ceres sedikit kebingungan.
Teru mengangguk, "Ada yang lu sembunyiin?" tanya Teru yang sudah peka daritadi.
"Orang tua gua pulang," jawab Ceres mendinginkan puding yang baru saja matang.
Wajah Teru mendadak cemas, "Celaka."
"Nanti malam sampai di sini. Sekarang udah terbang, untung ngga minta dijemput. Bisa jadi tragedi lalu lintas nanti," canda Ceres dengan wajah yang tak kalah takut.
"Kalau bisa, nanti setelah selesai makan ... ajak Reno buat langsung pulang. Gua yakin sih, orang tua gua ngga perlu repot-repot harus taruh kopernya dulu, dijamin mereka langsung nyapa kita dengan pelukan hangatnya," ucap Ceres diakhiri dengan kekehannya.
***
Sesuai dugaan Ceres, setelah dua puluh menit kepulangan Teru dan Reno, orang tua mereka datang.
"Bunda dengar kamu gagal LAGI, Misis?" tanya Yuni yang baru saja selangkah memasuki rumah, tak peduli dengan kopernya yang masih berada di luar.
Misis menunduk tak berani menatap Yuni yang saat ini tengah menatapnya tajam. Berbeda sekali dengan Agus yang tenang dan bersikap seolah acuh tak acuh.
"Berapa lagi kesempatan yang mau kamu minta?" tanya Agus memulai pembicaraannya.
"Anak dimanja kayak dia bakalan ngga menguntungkan apa-apa buat kita, yang ada buat malu nama keluarga!" teriak Yuni yang kesal karena tidak ada perubahan sifat Agus.
"Papa tanya, berapa lagi kesempatan yang kamu butuhkan?! Punya kuping kan? Ngga tuli kan kamu?!" teriak Agus. Wajahnya masih datar tak menunjukkan amarah, berbeda sekali dengan nada suaranya yang sudah naik beberapa oktaf.
"Tiga, Pa." Cicitan Misis membuat Yuni geleng-geleng tak percaya.
"Anak ngga tahu diri! Kemarin kita udah ngasih kamu tiga kesempatan dan sekarang kamu minta kesempatan itu lagi? Bodoh! Nyesel saya melahirkan kalian!"
"Jaga sikap kamu, jangan asal bicara!" Perhatian Agus beralih kepada Yuni yang tak pernah berubah, selalu berbicara seenaknya tanpa pernah berpikir.
"Baik. Kalau kamu minta tiga kesempatan itu, Papa berikan. Papa tidak bisa menetap, harus mengejar penerbangan ke Medan malam ini. Begitupun dengan Bunda yang akan terbang ke Surabaya, jangan membuang tiga kesempatan yang kami berikan."
"Khusus untuk kamu Ceres, Bunda ngga akan segan-segan nyeret kamu secara paksa untuk keluar dari sekolah jika kamu membuat nama keluarga kita buruk lagi," ucap Yuni menyeret kopernya keluar dari teras.
"Kami juga selalu bertanya-tanya kenapa kita harus dilahirkan di keluarga ini?" tanya Misis saat pintu taksi baru saja tertutup tetapi masih bisa terdengar jelas oleh Yuni.
"Hanya setengah kewajiban yang kalian lakukan sebagai orang tua tetapi kalian menuntut banyak balasan yang membuat anak kalian menyakiti diri sendiri, apa itu pantas disebut orang tua?" tanya Misis lagi setelah beberapa saat mobil taksi tersebut berjalan meninggalkan rumah yang berpenghuni tapi tak memiliki kehangatan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing You (Completed) ✅
Teen FictionAnggita Ceresdwiana yang memiliki segudang keburukan dan beberapa kelebihan yang membuat orang-orang menyayanginya dan betah berteman dengannya. Tetapi, ia selalu dibanding-bandingkan dengan saudari kembarnya--Anggiya Misisdwiana yang memiliki sejut...