Mine

69 15 17
                                    

Tamu tak diundang tiba-tiba saja datang, Teru dan Reno sudah duduk manis di dalam kamar bernuansa biru langit.

"Untung kamar gua rapih, enggak kayak yang itu tuh, di kasur, lantai, bahkan kolong tempat tidur isinya buku aja."

"Dari situ aja keliatan, mana jenius, mana pemalas," celetuk Teru. Ceres yang niatnya mengatai Misis, malah dikatai oleh Teru. Karma sungguh cepat.

Ceres mencebik kesal, "Idih, nyambung aja lu kayak pipa rucika."

"Gini-gini gua lebih pinter, ya!" Matanya melotot, tak terima.

"Pinter dari hongkong," celetuk Ceres, meremehkan.

Teru masih saja memelototi Ceres, yang ditatap hanya melirik keberadaannya sebentar, lalu berujar, "Kenapa liat-liat? Suka?"

"Pakai ditanya, Res. Udah dari kapan tau dia suka sama lu," saut Reno sembari terkekeh kecil.

"Nyomblangin gua mulu kagak bosen lu? Ada yang mau nyumbang lagu?" tanya Ceres sembari bangkit dari duduknya.

Ia berjalan ke arah sisi kiri kasurnya, dekat dengan jendela kamarnya yang langsung terhubung dengan balkon dan juga kamar Misis.

"Apa aja, asal enak." Ceres memikirkan lagu apa yang enak di dengar dan bisa dinyanyikan bersama.

Ceres mulai memetik gitarnya, tembang dari Petra Sihombing yang berjudul Mine mulai terdengar di indera pendengaran mereka. Ceres melirik Teru dan Reno, ia membuka bibirnya dan berujar tanpa suara, "Lu berdua nyanyi!"

Reno menatap Misis, ia bersiap menyanyikan lagu tersebut sembari memandang cewek yang mampu membuatnya malu-malu anjing. Yang dilakukan oleh Reno tak tak luput dari matanya, mungkin ini yang namanya harus merelakan mesti meluluhlantakkan hatinya.

Girl your heart, girl your face
is so different from them others
I say, you're the only one that I'll adore

Cause everytime you're by my side
My blood rushes through my veins
And my geeky face, blushed so silly oo yeah,

Berbeda dengan Reno, Teru hanya tersenyum tipis, matanya menatap jendela kamar Ceres yang berbentuk vertikal.

"Jangan natap jendela, tatap noh cewek yang lu puja. Udah mupeng pengen ditatap," celetuk Reno merusak suasana yang sudah dibuat.

"Kapan coba gua mupeng?" tanya Ceres pelan.

Jemari Ceres berhenti memetik senar gitar yang ia pangku, ia diam sembari menatap penghuni kamarnya bergantian.

"Kenapa?" tanya Teru yang melihat Ceres termenung.

"Bosan, gua sengaja main gitar supaya membunuh kebosanan gua yang sudah kronis. Eh, malah dirusak. Ada film apa gitu, supaya bisa kita nonton bareng."

Reno tersenyum mesum. "Cowok mah pasti punya."

Teru dan Ceres yang tahu maksud terselubung cowok itu hanya geleng-geleng kepala.

"Putar aja gih kalau punya, perlu diambilin cemilan, enggak?" Pertanyaan yang keluar mulus dari bibir Misis sontak membuat Teru dan Ceres tertawa puas.

"Mampus, senjata makan tuan," cemooh Teru puas.

"Disuruh putar sama ibu negara, putar gih, biar nama baik lu jadi tercoreng," ujar Ceres yang malah membuat Teru semakin tertawa mengejek.

"Kamu ngambil cemilan aja, nanti biar aku yang milih filmnya, gimana?" tawar Reno agar kedoknya tak terungkap. Bisa jijik Misis jika tahu bahwa Reno tak seidaman itu.

Misis mengangguk, dirinya bangkit lalu keluar dari kamar Ceres. Misis tak sepolos yang mereka pikirkan, ia tahu apa yang dimaksud Reno dan dirinya juga tahu bahwa mereka hanya bercanda.

"Mana filmnya?" tagih Teru dengan semangat.

"Gua becanda doang elah. Pengen banget lu?" tanya Reno dengan senyum miringnya.

"Jorok banget sih bahasannya," lerai Ceres.

Adu mulut mereka masih terdengar di telinga Misis, kakinya masih berpijak di depan pintu kamar Ceres. Sebelum ia berjalan ke tangga, ia melihat bundanya yang sedang menelepon seseorang dengan wajah cemas.

Cemilan yang ditunggu oleh penghuni di kamar Ceres sudah ia lupakan, Misis lebih tertarik dengan bundanya yang menelepon seseorang.

Yuni masuk ke dalam kamar kosong, kamar tersebut berada di seberang kamar Ceres. Pintu bercat putih gading yang Yuni lupa untuk menutupnya dan saat ini pintu itu terbuka lebar.

"Kamu yang apa-apaan! Hilang enggak ada kabar, aku nelepon kamu berkali-kali." Kakinya yang baru saja memasuki kamar yang juga dimasuki Yuni menegang.

Siapa? Bunda lagi nelepon papa? batin Misis.

"Kamu mau ketemu kapan? Aku mau ceritain semuanya," ujar Yuni dengan nada bergetar.

Kakinya mondar-mandir tak karuan, kecelakaan yang dulu datang lagi kepadanya.

Misis masih diam di dalam kamar yang cahaya penerangannya dimatikan, netranya menatap bundanya yang sangat gelisah, seolah-olah ia baru saja menanggung beban yang luar biasa.

"Alam! Obrolan yang saat ini itu penting, enggak bisa lewat telepon. Kita mesti ketemu!"

Yuni tiba-tiba saja berhenti saat sepasang matanya melihat keberadaan sosok yang ia rindukan, laki-laki itu berada di bawah pohon rindang yang jaraknya tak jauh dari rumahnya.

"Aku bakalan jelasin lewat telepon, asalkan kamu harus janji satu hal sama aku. Jangan pernah ninggalin aku, apa pun yang terjadi." Kedua matanya masih memandang laki-laki yang ia sebut Alam.

"..."

Yuni menggigit bibir bawahnya ragu, ia tak yakin dengan keputusan yang ia sudah pikirkan semalam suntuk. "Lam, aku hamil."

Misis tak yakin dengan kabar yang baru saja ia dengar. Kakinya melangkah mendekati Yuni yang masih tak merasakan kehadirannya.

"Aku hamil anak kamu, Alam."

Misis menegang, ia yakin sekali bahwa nama yang disebutkan oleh bundanya ialah Alam bukan Agus--sang papa. Dadanya sesak, jika sudah seperti ini, apa yang mesti ia dan Ceres pertahankan? Senyuman kepalsuan?

***

Missing You (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang