Secret

57 14 11
                                    

Ada beberapa hal yang ingin disembunyikan, tetapi apakah alasannya cukup untuk menyembunyikan kebohongan yang ia simpan sendirian?

Yuni tertawa miris, ia masih tak yakin dengan jalan yang ia pilih. Tuhan memang menentukan akhirnya, tetapi kita selalu punya pilihan untuk menjalani kehidupan yang indah.

"Bunda enggak mau cerita?" tanya Ceres sembari bangkit dari tidurnya.

"Bukan enggak mau, cuman belum siap aja."

Ceres kecewa, ia kira dirinya bisa mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari bundanya.

"Bentar lagi kita mau ujian, sebelum ujian mau ke puncak dulu enggak, Res?" ajak Misis yang masih nyaman tiduran di atas kasar dan paha Yuni dijadikan bantalnya.

Ceres mengangguk setuju, ia kembali ceria. "Sekarang?" tanya Ceres dengan lugunya.

"Besok kita sekolah, akhir pekan aja. Bunda wajib ikut pokoknya!"

Ceres mengangguk semangat, ini juga salah satu kesempatan untuk lebih dekat dengan bundanya.

"Bunda urus vilanya, mau?" tanya Misis menatap bundanya ragu.

"Kenapa enggak mau? Sekalian ajakin cowok kalian yang waktu itu datang, dong!" titah Yuni sembari memasang senyum miringnya.

Ceres mencebik, "Cowok dari mananya?"

Misis tertawa melihat Ceres yang pundung lagi. "Mereka pacaran mulu, Bund. Misis jadi nyamuk," adu Misis dengan suara yang diimut-imutkan.

"Geli banget Mis suara lu," cela Ceres.

"Berantem terus," omel Yuni geleng-geleng kepala, takjub.

"Kalau kita enggak berantem, rumah sepi, Bund. Enggak ada gairahnya," ujar Misis membuat mereka tertawa setuju.

"Bunda kalau lagi ngidam apa-apa, bilang ke kita aja. Pelayanan siap 24 jam," ucap Ceres yang sudah seperti pelayanan pesan-antar.

Yuni tersenyum, ia tersadar akan sesuatu. Masa lampau yang ia punya bukanlah sebuah kesalahan, jika tak ada masa lampaunya, Misis dan Ceres tak ada di sampingnya saat ini.

Misis mengangguk setuju. "Kalau Bunda mau ke rumah sakit, nanti biar dianter," ujar Misis dengan senyum tulusnya.

"Ada-ada aja kalian, belajar yang rajin. Bentar lagi kalian ujian, loh. Kalau kakek kalian sampai tahu, bisa dipites kayak kutu, mau?" tanya Yuni dengan nada menakut-nakuti.

Ceres bergidik ngeri. "Kakek emang bakalan semarah itu?" tanya Ceres tak yakin.

Yuni mengelus kedua lengannya, pura-pura takut. "Kalian enggak pernah lihat kakek kalian ngamuk, sih! Ini dunia bisa beliau lenyapin, loh!"

Misis menahan tawa dengan candaan bundanya. Dunia kita yang bakalan hancur, bukan dunia milik orang lain.

"Kalau kamu enggak percaya, tanya aja sama papa." Yuni masib saja mencoba meyakinkan Ceres atas kebohongannya.

Ceres mengalihkan pandangannya ke arah Misis. "Emang bener, Mis?"

"Ciri-ciri bocah gampang diculik," cela Misis membuat Ceres cemberut.

"Kalian masih dapat surat kaleng?" tanya Yuni sedikit cemas.

Misis mencoba mengingat kejadian-kejadian buruk itu. "Udah lama enggak, sih. Kok Bunda bisa tahu kalau kita dapat surat kaleng?"

Yuni menggeleng. "Tebak-tebak berhadiah," canda Yuni dengan senyum kecilnya.

"Bunda nyembunyiin dari kita banyak banget, enggak temen ah!" Ceres semakin merajuk.

"Hadeh, pundungan mulu deh." Yuni menatap Ceres pasrah, terlalu kekanakan sikap anak-anaknya, tetapi itu semua menghibur dirinya yang kesepian  merenungi semua kesalahan saat ia berada di masa lampau.

***

"Hai," sapa Misis dengan senyum manisnya.

Reno melambaikan tangan kanannya, dirinya rindu padahal baru kemarin mereka bertatap muka walau dibatasi dengan layar ponsel pintarnya. "Hai, Sayang!" Senyumnya terukir saat melihat Misis tersenyum malu.

"Sayang sayang, sini palalu gua tendang," ujar Teru ngeri sendiri mendengar panggilan menjijikan itu.

"Iri bilang, Bos." Reno tersenyum meremehkan.

"Ngapain iri sama modelan kayak elu," ujar Teru dengan santai.

"Baru juga ketemu, udah berantem aja." Ceres menatap Reno dan Teru nanar.

"Kabar angin menyatakan bahwa kalian mau liburan akhir pekan?" tanya Teru kepo.

Misis dan Ceres serempak mengangguk senang. "Kok nggak ajak-ajak kita?" tanya Reno.

Suasana kelas sepi seperti ini memang yang mereka butuhkan, perut mereka sedikit keroncongan, tetapi lebih baik cacing di perut kelaparan dibandingkan gendang telinga mereka pecah, karena kebisingan.

Misis dan Ceres saling pandang sembari tersenyum licik. "Kalian mau ikut?" tanya Ceres.

"Mau, dong." Reno dan Teru serempak menjawab.

"Berarti kalian jadi sopir!" seru Misis gembira.

"Fuck," umpat mereka berbarengan.

Macetnya Jakarta-Puncak itu luar biasa, apalagi saat akhir pekan dan diadakan satu jalur, pegalnya nggak kebayang. Jadi penumpang itu enak, kerjaannya di mobil hanya tidur, bangun-bangun sudah sampai. Kalau jadi sopir? Nahan bosan, pegal, dan ngantuk.

"Vilanya kita udah urus, kalian berdua gantian jadi sopir, ya?!" Pertanyaan Ceres terdengar seperti perintah jelmaan iblis bagi Teru dan Reno.

"Enggak mau nyewa sopir aja?" tanya Reno sedikit menawar.

"Idih, lemah. Masa jadi sopir Jakarta-Puncak aja ogah-ogahan. Gimana mau jadi calon suaminya Misis," ejek Ceres membuat Reno menciut.

Kalau sudah bawa-bawa Misis ia lebih baik pasrah dan menerima takdirnya apa adanya.

"Diam berarti kalian setuju, kan?" tanya Ceres final.

"Kita berangkat pagi, start dari rumah, malam sabtu kalian mau nginap? Biar enggak ngaret," ujar Misis sekaligus menerangkan rencana mereka.

"Paduka Ratu alias emak gua ngikut, jadi sekalian emak gua pengen kenal kalian lebih dekat." Reno dan Teru saling memandang takut, cemas, dan khawatir.

Dari cerita yang mereka tahu, emaknya kan galak, mereka berdua takut jika nyawanya tak kembali saat pulang ke Jakarta.

"Sebagai calon mantu," ujar Misis dengan nada bercanda.

"Serius?" tanya Reno kelewat senang.

"Enggak papa Ceres belum setuju gua apelin, yang penting restu emaknya dulu," ujar Teru yang tak kalah senang.

"Nikah aja lu sama emak gua kalau gitu," cebik Ceres.

***

Missing You (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang