Bintang

65 12 7
                                    

"Kira-kira bunda kabarnya gimana ya?" tanya Ceres yang seenak jidat rebahan di atas kasur Misis.

Ia memutar kursi roda merah tua yang ia duduki. "Kata bunda, nunggu ditelepon biar tahu tempat tinggal bunda sekarang."

Ceres mengotak-atik telepon pintarnya, mencoba menelusuri seseorang yang akan menjadi petunjuk untuk menemukan keberadaan bundanya saat ini.

"Mungkin bunda tinggal sama cowok yang waktu itu ke sini," lanjut Misis lagi setelah berpikir sejenak.

Ceres mengangguk setuju. "Ini gua lagi nyari tahu. Ternyata ... cowok yang waktu itu ke sini lumayan terkenal loh."

Misis mengalihkan pandangannya dari soal yang berada di pangkuannya. "Kok lu bisa tahu?"

Ceres tersenyum sombong. "Jelas, gua gitu loh."

"Awas aja sampai salah orang," ancam Misis menaruh soal-soal di atas meja belajarnya, sudah tak memiliki minat untuk mengerjakannya.

"Kira-kira ... cowok ini mantan bunda atau--" Ceres bangkit dari kasur lalu menatap Misis.

Misis yang ditatap mengerutkan dahinya bingung. "Atau apa?"

"Jadi Bintang ini anak tiri bunda?!" seru Ceres dengan wajah kaget.

"Oh, jadi namanya Bintang. Bapaknya Alam, nanti kalau punya anak cowok lagi namanya Samudra, kalau anaknya ternyata cewek dinamainnya Bulan." Misis mengangguk-ngangguk, tak sadar bahwa ucapannya absurd.

"Jangan bilang emaknya Bintang namanya Matahari. Jadinya Bulan, Bintang, dan Matahari," ujar Ceres menanggapi kalimat absurd Misis.

"Jadi judul novel itu mah."

Ceres terkekeh, sedikit tak percaya bahwa Misis melirik dunia novel. Setahu Ceres, Misis hanya melirik buku soal-soal yang sangat.amat.membosankan.

"Tampangnya Bintang pas waktu itu perasaan biasa aja. Kok bisa dia lumayan terkenal?" tanya Misis yang sudah berada di samping Ceres.

"Kayak cerita novel gitu. Bintang ini pangeran berkuda yang sedingin Elsa, tetapi memiliki bakat yang luar biasa. Dia tipe-tipe anak tongkrongan yang suka pulang pagi, kayak enggak diurusin sama orang tuanya," jawab Ceres sedikit ngaco.

Misis merampas telepon pintar Ceres, jawaban Ceres sangat tidak meyakinkan. "Dari mana elu tahu kalau dia enggak diurusin sama orang tuanya?"

"Batin gua bilang gitu. Foto dia yang diposting di sosial media dikit banget, udah gitu isinya cuman foto dia sama anak tongkrongannya. Dari situ aja kebukti, kalau dia temennya dikit," cela Ceres dengan santai.

"Kata bunda, calon papa tiri kita ngerawat anaknya dengan baik."

"Ngerawat anak itu ada macamnya, Misis. Kalau kayak papa yang ngasih duit doang, itu juga bisa dibilang ngerawat anak." Ceres sengaja menekankan dua kata terakhir dalam kalimatnya untuk menyadarkan pemikiran Misis.

Ceres mengambil kembali telepon pintarnya. "Dari fotonya aja, kelihatan banget, bahwa hidupnya itu enggak baik-baik aja."

Ceres menunjukkan foto yang diposting untuk pertama kalinya oleh Bintang. Foto Bintang dan teman-temannya di arena balap mobil.

"Sejelek-jeleknya orang tua kita ngerawat dan ngedidik kita sampai saat ini, pernah lu ngebayangin ke tempat trek kayak gitu?"

"Enggak semuanya anak yang berada di tempat kayak gitu punya kehidupan yang kacau. Bisa aja dia lebih baik dibandingkan kita," ujar Misis masih mencoba membela sosok Bintang.

Ceres tertawa miris, bagimana Misis bisa percaya dengan cowok yang baru ditemuinya.

"Coba sebutin hal apa yang membuat kehidupan dia lebih baik dibandingkan kita?!" tantang Ceres dengan senyum mengejek.

Misis menarik kedua sudut bibirnya. "Dia lebih bebas dan berani mengekspresikan dirinya. Enggak kayak kita, kebebasan kita udah dari dulu direnggut. Kita dituntut untuk jadi apa yang mereka mau."

Ceres terbungkam. Misis membuka suaranya lagi, "Bintang punya teman yang bisa jadi rumah, dia enggak merasa takut untuk dikhianati sewaktu-waktu. Kita? Teman yang bisa kita percaya saat ini hanya Reno dan Teru, karena kita enggak tahu siapa saja yang sewaktu-waktu akan menusuk kita dari belakang. Bahkan, Teru dan Reno belum bisa kita berikan kepercayaan utuh."

Misis mengalihkan pandangannya dari Ceres mencoba menatap objek lain. "Kita berdua harus saling memiliki, saling percaya, dan saling menjaga satu sama lain. Karena yang tersisa untuk saat ini, hanya kita berdua. Tanpa bunda dan papa."

***

Aroma petrikor menguar di udara, setelah rintik hujan berlomba-lomba jatuh di atas tanah.

"Enggak dingin?" tanya Reno yang baru saja tiba di taman dekat dengan komplek Misis dan Ceres tinggal.

Misis menggeleng, ia masih saja asik menatap Teru dan Ceres yang berada di atas ayunan.

"Kamu baik-baik aja, kan?" Reno mengelus puncak kepala Misis pelan.

Misis tersenyum, ia selalu merasakan kenyamanan bila bersama Reno. Walaupun kekasihnya bertingkah sembrono, tetapi Reno memiliki daya pikat tersendiri bagi Misis.

"Mau?" Reno menepuk-nepuk pundaknya, menawarkan Misis untuk bersandar kepadanya.

Misis beringsut mendekati Reno, kepalanya ia sandarkan di pundak Reno yang terbalut dengan kaos hitam berlengan pendek.

"Kalau kamu kedinginan, aku bawa jaket di mobil," ujar Reno, masih mencoba membujuk Misis agar tak kedinginan dan jatuh sakit.

"Ngapel terus," sindir Teru menyedihkan.

"Cewek lu di samping minta diapelin tuh," balas Reno dengan nada jenaka.

"Gua mulu dah, lagi lomba jadi mak comblang ya?"

"Lagian sih kamu enggak peka mulu," ujar Teru yang sudah beraku-kamu.

"Geli banget dengernya," canda Ceres.

"Nanti juga kamu enggak geli, Res. Malah kangen kalau aku enggak manggil kamu," ujar Teru dengan senyum jahilnya.

"Geer banget."

"Geer gini juga kamu suka kan?" goda Teru sembari menjawil hidung Ceres.

"Jadi mereka yang mesra-mesraan," bisik Reno kepada Misis.

"Biarin, kapan lagi Teru bisa kayak gitu ke Ceres?"

Reno mengangguk setuju, tangannya membalut tangan Misis yang sedikit kedinginan.

"Ren?" panggil Misis dengan suara paraunya.

Reno menggumam, kedua netranya menikmati luasnya langit biru yang mulai memendung. Sepertinya hujan akan turun lagi.

"Kalau kamu enggak suka sama aku dan kita enggak pacaran, apa kamu bakalan tetap di sisiku?"

***

Missing You (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang