Bunda

56 15 10
                                    

Angin sepoi-sepoi menerpa permukaan kulit wajahnya, Misis dan Ceres menikmati sentuhan angin yang mampu membuat mereka santai sejenak.

Sudah tiga hari semenjak pengakuan Yuni di balkon kamar kosong tersebut, Misis masih saja mengunci mulutnya, mencoba melupakan apa yang ia dengar. Seolah-olah ia tak pernah mendengarkan kenyataan tersebut.

Sebelum Yuni memutuskan sambungan teleponnya waktu itu, Misis sudah keluar dari kamar tersebut, ia sudah tak ingin mendengarkan omong kosong lainnya.

Misis membayangkan akan semurka apa papanya saat tahu bahwa bundanya memiliki anak yang tak sedarah dengannya?

Lebih parahnya lagi kalau sampai sang kakek mengetahui kenyataan tersebut. Hal apa yang akan kakeknya lakukan?

Misis memejamkan kedua netranya, pikiran buruk tak henti-henti mengitari otaknya.

"Misis? Lu tidur?" Perlahan ia membuka kedua kelopak matanya, seketika derai matanya meluruh. Ia sudah tak mampu menahannya, tiga hari ia menyimpan rahasia yang bebannya luar biasa.

Ceres yang mendengar isak tangis Misis terlonjak kaget. Ia menghampiri Misis yang masih terisak.

"Sini peluk dulu." Ceres merentangkan tangannya, memeluk kembarannya yang duduk sembari menelungkupkan kepalanya di atas kedua lututnya.

"Bu--nda ... Res," ujar Misis bercampur dengan isak tangisnya.

Ceres mengelus puncak kepala Misis, menenangkannya. "Keluarin semuanya, jangan ditahan, biar lega."

Setelah Misis merasa lega, Ceres mengelus punggung belakangnya. "Makasih, Res."

"Lu mau cerita?" tanya Ceres.

"Bunda hamil lagi," jawab Misis mencoba tenang.

"Bukannya bagus? Biar keluarga kita makin dekat, kok lu malah nangis?" tanya Ceres yang sudah senang.

Misis tertawa sumbang. "Bunda hamil anak orang lain," jawab Misis mampu membuat Ceres terlonjak kaget.

"Hah? Serius? Ini lu enggak lagi nge-prank, kan? Kayak Atta Geledek." Misis geleng-geleng kepala, bisa-bisanya Ceres bercanda saat ini.

"Terus gimana? Kok elu bisa tahu?" Ceres sudah berubah menjadi Dora, yang hobi bertanya.

"Gua nguping pas bunda lagi teleponan sama calon ayah tiri kita. Gimana ke depannya, gua juga enggak tahu, Res. Perasaan gua campur aduk saat ini, udah kayak gado-gado."

"Jadi laper," keluh Ceres sembari mengelus perutnya.

Misis menatap Ceres jengah, ia bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Ceres yang masih menikmati sepoi-sepoi angin di balkon kamar.

"Kok gua ditinggal!" seru Ceres saat dirinya tak menyadari kehadiran Misis di sampingnya.

***

Misis mengetuk pintu kamar orang tuanya. Ia ingin menuntaskan masalah ini, cukup tiga hari kepalanya pusing memikirkan masalah yang bukan menjadi tanggung jawabnya.

"Bun?" panggil Misis saat mendengar suara orang muntah dari dalam kamar.

"Bunda enggak papa?" tanya Misis mencoba membuka pintu kamar tersebut, tetapi kamar orang tuanya sengaja dikunci oleh Yuni agar kedoknya tak diketahui.

Sudah lima menit Misis berdiri di depan kamar orang tuanya, tetapi bundanya belum ingin membukakan pintu yang menghalangi keduanya.

Di dalam kamar, Yuni duduk tepat di depan pintu, ia bimbang dengan keputusannya.

"Bunda, ini Misis. Boleh masuk?" pinta Misis pelan.

Yuni akhirnya menyerah, ia membukakan pintunya untuk Misis, tanpa mengetahui bahwa Ceres juga berada di samping Misis, menanti dengan cemas.

"Kirain enggak ada Ceres," celetuk Yuni membuat Ceres cemberut.

"Pundungan ah, males bunda sama Ceres," ujar Yuni lagi-lagi menggoda Ceres.

"Bunda enggak papa?" tanya Misis yang masih khawatir.

"Emang bunda kenapa?" tanya Yuni yang mencoba untuk baik-baik saja.

Ceres tiba-tiba saja menerjang badan Yuni, memeluknya erat. "Bunda jangan sok kuat ah," bisik Ceres yang mampu membuat Yuni terdiam membisu.

"Ada kita, anak-anak bunda yang siap ngehibur. Bunda mau Misis bawain air hangat, nggak?" tanya Misis saat menyadari wajah pucat Yuni.

Yuni mencoba melepaskan pelukan erat Ceres. "Bunda enggak apa-apa, cuman kecekek aja gara-gara Ceres, nih." Misis tersenyum mendengarnya.

Ada perasaan lega saat melihat bundanya tak lagi mengurung diri, menyembunyikan, dan menanggung beban itu sendirian.

Misis mengangguk, ia berkata, "Misis mau tidur di kamar Bunda, boleh?" tanya Misis meminta izin.

Yuni mengangguk memperbolehkan. "Kalian udah gede, masih mau tidur di sini?"

"Sesekali, enggak apa-apa, kan?" Ceres tersenyum lebar dan langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur.

"Bunda kalau kesepian, tidur di kamar kita aja, atau mau bikin tenda di halaman rumah? Biar seru, kayak kita pas kecil," ujar Ceres lagi.

Yuni tersenyum kecil, matanya sudah berkaca-kaca. "Bunda enggak pernah kesepian, kan ada kalian," ujar Yuni mengambil posisi untuk duduk di antara Misis dan Ceres lalu mengangkat kepala anaknya dan menaruhnya di atas pahanya.

"Bunda hamil lagi?" tanya Ceres tak tahu waktu.

"Bego," desis Misis yang ingin mencerca Ceres habis-habisan.

Yuni tertawa. "Jadi kalian ke sini mau jadi detektif?"

"Ceres yang nanya-nanya, enggak tahu waktu lagi nanyanya, dia malah ngerusak momen," gerutu Misis yang masih menatap langit-langit kamar.

"Enak aja, lu yang ngajak juga, kok jadi gua?" tanya Ceres tak terima dirinya dituduh.

"Kalian bocah banget, nanti kayaknya adik kalian lebih dewasa daripada kalian berdua," ujar Yuni membuat mereka terdiam.

"Papa kalau tahu gimana?" tanya Ceres dengan nada sedih.

"Papa pasti seneng, dong. Kok pertanyaan kamu aneh?" tanya Yuni mencoba untuk setenang mungkin.

"Bunda, jangan bercanda dulu, Ceres lagi serius. Kalau papa tahu, kakek tahu, bunda gimana?" tanya Ceres lagi.

"Misis sama Ceres tahu, kalau adik kita bukan anak papa, Bund." Misis tahu kalimatnya akan menyakiti perasaan wanita yang melahirkannya, tetapi ia tak mau pembahasan ini menjadi tidak ada ujungnya.

***

Missing You (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang