"Dua jam lagi aku berangkat, kamu nggak perlu nyiapin apa-apa. Cukup jemput aku di tempat biasa, oke?" Misis sayup-sayup mendengar suara Yuni yang saat ini tengah menelepon seseorang.
"..."
"Aku juga kangen kamu, Sayang. Tunggu aku, ya?" pinta Yuni kepada seseorang di sana.
Yuni baru saja sampai di rumah beberapa jam yang lalu setelah perjalanan panjang ke beberapa kota untuk kepentingan bisnis.
"Bunda lagi telepon sama siapa?" tanya Misis yang saat ini berada satu ruangan dengan Yuni.
Yuni sedikit melonjak kaget, dengan gusar ia berkata, "Bukan urusan kamu, belajar yang rajin aja. Enggak usah ikut campur urusan orang dewasa."
Misis diam, ia sudah tahu keluarganya tak utuh dalam artian bahwa saat ini keluarga yang Misis punya sudah tak memiliki arti dan pondasi.
Yuni dan Agus memang menikah tanpa dasar saling mencintai, saat itu Agus merupakan penerus perusahaan fashion yang sedang bekerja sama dengan Yuni--seorang model yang namanya tengah melambung. Agus memanfaatkan Yuni untuk kebutuhan bisnisnya agar semakin berkembang, tak berbeda dengan Yuni yang memiliki niat culas memacari Agus karena hartanya.
"Bunda mau pergi?" tanya Misis lagi.
Yuni melengos. "Ada kepentingan bisnis."
"Bunda enggak pulang lagi?"
"Mungkin."
"Bunda mau menginap sama laki-laki lain?" tanya Misis tepat sasaran.
"Kamu tahu apa, sih?" tanya Yuni yang sudah mulai geram.
Celaka dua belas saat Yuni harus lengser dari dunia modeling karena tengah hamil Misis dan Ceres di luar nikah. Dan itu membuat nyawa Yuni hampir di ujung tanduk. Yuni sering kali melakukan percobaan bunuh diri karena ia tak menerima garis takdir yang telah ditentukan.
"Misis tahu semuanya, lebih dari yang Bunda kira," jawab Misis dengan tatapan sedih dan kecewa.
"Orang lain boleh bilang, keluarga kita sangat berkecukupan, bergelimang harta, terkenal, memiliki anak yang bisa dibanggakan, dan memiliki paras yang rupawan. Tetapi, mereka enggak tahu, bahwa masing-masing dari kita saling memberikan luka yang tak pernah mereka bayangkan," lanjut Misis dengan bulir-buliar air matanya yang sudah menetes. Akhir-akhir ini entah mengapa ia sering emosional terhadapan apa pun.
"Kalau kamu tahu segalanya, seharusnya kamu bisa mengerti apa yang Bunda lakukan dan kamu seharusnya bisa lebih membanggakan."
"Apa yang mesti dimengerti, Bun? Bunda dan papa yang saling berlomba untuk mendapatkan kasih sayang dari orang lain, karena tak mendapatkan kasih sayang satu sama lain dan tak pernah merasa puas dengan dunia ini?"
***
Dunia fantasi menjadi tempat tujuan mereka untuk melepaskan penat setelah melaksanakn lomba dan turnamen yang mereka ikuti.
"Ini namanya double date, Teru kesenengan pasti," ujar Reno yang tengah menggenggam tangan Misis.
Ceres menghela napasnya pasrah, mau tak mau mengikuti Misis karena saudara kembarnya sangat memaksanya untuk ikut, katanya ada hadiah spesial, tahunya hanya tiket masuk gratis dunia fantasi dan Teru yang selalu mengekorinya.
"Senang dong, jangan cemberut gitu," ujar Misis dengan nada meledek.
"Badan gua sakit semua, ya! Gua butuh rebahan, bukan tiket gratis sama anak ayam yang ngekorin gua mulu," sungut Ceres sembari melirik Teru dengan tatapan tajam.
Teru mendadak ciut. "Kok gua, sih? Gua juga diajak sama Reno, biar katanya enggak berdua doang, takut yang ketiganya setan."
"Lu sadar nggak, yang ketiganya setan itu sekarang kita?" tanya Ceres dengan geram, sedangkan Reno dan Misis sudah tertawa puas melihat mereka yang adu bacot.
Tawanya hilang, sepasang matanya tak sengaja melihat sosok yang ia banggakan tengah bersama perempuan lain. Papanya tengah mengusap puncak kepala perempuan berambut sebahu.
"Naik wahananya, yuk. Panas, nih," ujar Misis yang takut jika Ceres melihat keberadaan papanya bersama perempuan lain.
"Mau naik wahana apaan dulu?" tanya Ceres yang sudah geregetan karena Teru selalu berada di belakang seperti anak ayam.
Misis menoleh ke arah Ceres yang tengah menyeret Teru agar di sampingnya. "Yang jelas, bianglalanya agak sorean aja, biar romantis gitu," jawab Misis dengan ide jahilnya.
"Gua pengen naik niagara gara, panas gini enaknya basah-basahan," ujar Ceres melirik sinis matahari yang sangat bersinar.
Teru melepaskan topi yang ia kenakan dan memindahkan topi tersebut ke kepala Ceres agar cewek yang ia sukai tak kepanasan. Ceres melirik Teru yang tengah memasang wajah datar. "Apaan basah-basah?" tanya Teru sedikit risih karena Ceres menatapnya lama.
"Kalau basah-basahan sekarang, kita bakalan masuk angin, enggak bawa baju ganti," ujar Misis membuat Teru mengangguk setuju. Ia tak rela kalau Ceres sampai masuk angin.
"Beli baru aja, sih. Banyak yang jual, kan?"
"Holkay mah beda," celetuk Reno membuat Ceres terkekeh.
"Naik kora kora aja," usul Teru agar Reno dan Ceres tak memperpanjang obrolan mereka.
"Yang perahu maju-mundur?" tanya Ceres polos.
Teru menggeleng tak percaya. "Gini, nih, kalau kerjaannya molor mulu di kasur. Kora kora aja kaga tahu, anak mana, sih lu?" cebik Teru sembari mendorong bahu Ceres ke arah wahana kora kora yang antriannya sudah lumayan panjangn.
"Kerjaan gua molor aja lu suka, gimana kalau kerjaan gua dandan sama tebar pesona sana-sini," ujar Ceres dengan bangga.
"Bukan elu banget kalau kerjaan lu dandan, Res." Ceres hanya tertawa, bersama Teru ia hanya merasakan kenyamanan sebagai sahabat walaupun tak bisa ia pungkiri bahwa hatinya sering kali menghangat.
"Niatnya gua sama Misis mau menunjukkan kemesraan, malah elu berdua yang tebar kebucinan," gerutu Reno yang menyusul Teru dan Ceres dengan langkah cepat, di sampingnya ada Misis yang masih berada dalam genggamannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing You (Completed) ✅
Teen FictionAnggita Ceresdwiana yang memiliki segudang keburukan dan beberapa kelebihan yang membuat orang-orang menyayanginya dan betah berteman dengannya. Tetapi, ia selalu dibanding-bandingkan dengan saudari kembarnya--Anggiya Misisdwiana yang memiliki sejut...