Run Away

77 12 10
                                    

"Harus banget kamu diantar sama dia?!" Teru sudah cemburu buta melihat Ceres yang dibonceng oleh Bintang.

"Nanti kerja dua kali jatuhnya kalau lu jemput gua," jawab Ceres santai.

Ceres menoleh, menatap Bintang yang berdiri di dekat lampu taman. "Makasih udah nganter, lu balik aja. Pulangnya nanti gampang." Bintang mengangguk, tak ingin memperumit keadaan, tetapi kakinya urung ia langkahkan.

"Kamu punya hubungan apa sama Bintang?"

"Kita bakalan jadi saudara, lu kenapa sih aneh banget?" Ceres tak suka melihat Teru yang seperti ini.

"Deketnya kalian itu enggak kayak saudara."

Dahinya mengerut, perasaan takut berada di sisi Teru saat ini membuat Ceres bungkam, kejadian saat papanya marah-marah membuat badannya menegang.

"Kamu diam? Berarti kalian berdua ada hubungan lebih dari saudar kan?!"

"Gua diam bukan berarti mengiyakan, ada kalanya otak duluan yang dipakai, sebelum mulut berbicara. Lu tahu satu hal, gua udah berniat buka hati buat lu, tetapi elu ngerusak semua usaha gua." Ceres memang suka bercanda, tetapi urusan hati tak sebercanda itu.

Sebelum Ceres menemui Teru di taman, ia memiliki janji dengan Bintang di kafe seberang komplek. Niatnya ingin mendengarkan cerita Bintang, tetapi baru saja sampai, Teru memintanya untuk bertemu di taman dengan segera.

Teru tersadar. Beginilah nasibnya terjebak dalam zona pertemanan, ingin cemburu, tetapi tak memiliki hak.

"Ngelihat lu yang kayak gitu, enggak tahu kenapa kilas balik saat papa marah-marah jadi terpampang nyata di depan mata," keluh Ceres dengan nada bergetar.

Bintang yang tungkainya belum bergerak sesenti pun menghampiri cewek menyebalkan itu. "Mau pulang?"

Tawaran Bintang malah membuat hati Teru kian memanas. Ceres mengangguk pelan, matanya menatap Teru tak tega. Ia takut bahwa Teru akan marah.

"Gua balik dulu, lu pulang hati-hati," peringatnya dengan senyum simpul yang terpasang di bibirnya.

Punggung Ceres kian menjauh, Teru masih diam di tempat. Tak pernah Teru merasa sesakit ini saat ditinggalkan oleh siapa pun. Hanya cewek itu yang mampu membuat luka yang mendalam di relung hatinya, karena bagi Teru, Ceres adalah rumahnya.

***

Ceres tersenyum bangga, ia berujar dengan nada canda, "Tahu aja lu kalau yang tadi cuman akting." Ceres memang sedikit sakit hati saat dibentak oleh Teru, tetapi ia sama sekali tidak marah.

Alasannya seperti itu, karena Ceres ingin menuntaskan rasa keingin tahuannya tentang masa lalu Bintang.

"Kalau aku diapa-apain sama Teru, kamu harus tanggung jawab Res." Bintang memberikan segelas air dingin yang baru ia bawa dari dapur.

Ceres mengedarkan netranya ke penjuru kamar, setelah menerima air dingin yang dibawa oleh Teru. "Rapih banget, jarang pulang ya."

"Tahu aja." Ceres terkekeh kecil mendengar jawabannya.

"Aksi kamu saat Teru marah kayak tadi itu beneran atau akting juga?" tanya Bintang meraih kursi belajarnya yang tak jauh dari ranjang berkaki empat.

Bibirnya terkatup rapat sejenak, kepalanya mengangguk kecil. "Kenapa? Pernah ngerasain?" tebak Ceres tepat sasaran.

"Papa sama mama dulu sering berantem." Pernyataan Teru seakan-akan menjawab pertanyaan Ceres.

"Mama masih kejebak sama masa lalu dan papa yang sering ringan tangan semenjak bisnisnya gulung tikar," terang Bintang mengingat kenangan masa kecilnya.

Tatapan mata Ceres berubah, instingnya mengatakan bahwa kejadian keluarga Bintang ada sangkut paut dengan kakeknya.

"Bisnis keluarga bangkrut karena keluarga Wijayanto main curang. Mama yang belum siap hidup melarat dan memiliki gengsi tinggi hampir meninggal karena bunuh diri. Papa yang enggak ngerasa dipercaya selalu ringan tangan sama kita. Semenjak bisnis bangkrut, papa selalu ngemis pekerjaan sama keluarga Wijayanto. Aku yang memiliki gengsi seperti mama, yang enggak mau hidup dari uang Wijayanto memilih cari uang sendiri, walau pun dengan cara balapan."

Ceres menganga tak percaya, dirinya menjadi malu saat menyadari ada darah Wijayanto yang mengalir di tubuhnya.

"Bunda sama papa emang punya hubungan di masa lalu, tetapi udah lama kandas. Instingku bilang bahwa ini sudah diatur, karena semenjak kabar bunda hamil, papa enggak kembali."

"Kok bisa pas banget?" Ceres bermonolog pada dirinya sendiri.

Bintang bangkit, ia menuju lemari bajunya, tangannya mencari sesuatu di dalam sana. Sebuah kotak yang mampu membuat Ceres bertanya-tanya.

"Buka," titah Bintang memberikan kotak persegi berwarna coklat muda.

"Hadiah?" tebak Ceres dengan lugunya.

Bintang tertawa, sejak kapan dirinya mau berbaik hati dengan cewek menyebalkan, yang saat ini tengah berbagi oksigen dalam satu ruangan bersamanya, di mana ruangan itu merupakan tempat yang sangat privasi bagi Bintang.

Bintang berdecak, "Buka aja dulu."

Ceres membuka kotak persegi itu dengan ragu. Mulutnya perlahan menganga.

"Aku enggak sengaja nemuin itu di kamar papa. Niatnya aku mau ngasih tahu bunda, tetapi aku takut bikin bunda khawatir dan cemas berlebihan terhadap kalian berdua."

Akalnya saat ini tidak bisa berpikir dengan jernih, Ceres merasa geram bukan main saat mengetahui fakta yang ada.

"Papa lu yang ngelakuin ini semua?" tanya Ceres terbata.

"Enggak tahu, karena siapa pun bisa jadi dalangnya."

"Selain ini, apa lu menemukan yang lain?" Ceres berharap cemas, tidak ada yang tahu teror selanjutnya yang terjadi kepada dirinya dan Misis di masa depan.

"Pisau lipat," jawab Bintang jujur.

Ceres terperangah tak percaya. Nyawanya dan Misis bisa hilang kapan saja. Tangannya menggenggam sisi kotak persegi itu erat-erat, menumpahkan rasa kesal yang bercampur rasa takut.

"Pisaunya di mana sekarang?"

Senyum di bibir Bintang seketika terbit. "Pisaunya ada sama aku saat ini, kamu mau melihatnya, Ceres?" tawar Bintang sembari mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya.

Bulu kuduknya berdiri, perasaan takut tiba-tiba menyerang Ceres. Mengapa saat ini Bintang begitu menyeramkan?

Badan Ceres bergetar hebat, ia berujar terbata-bata, "Bintang?"

***

Missing You (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang