Senyuman kelegaan terpancar dari Misis dan Ceres yang saat ini tengah berada di toko kecil milik Yuni.
"Bunda enggak apa-apa?" tanya Ceres saat melihat keadaan bundanya baik-baik saja.
"Kita berdua takut, kalau Bunda diapa-apain sama kakek."
Yuni tersenyum menenangkan. "Tentang kabar itu Bunda baru dengar dari kalian, cuman Bunda sudah mengira hal itu akan terjadi."
"Pantesan Bunda kelihatan biasa aja. Bunda mau dibantu biar toko kuenya ramai pembeli?"
"Emang kamu bisa?" tanya Yuni tak percaya sekaligus meremehkan.
"Ceres bisanya bikin kue Bunda lebih menarik dan rasanya membelai lidah. Untuk urusan promosi Misis ahlinya, dia jago kalau urusan menjilat," ujar Ceres membuat mereka tertawa, termasuk Bintang yang sedari tadi mendengarkan celotehan mereka.
"Gua terus," protes Misis.
"Protes, tetapi ikutan ketawa. Lagian, gua enggak asal nuduh kali, buktinya elu bisa gaet Reno, kan?" Ceres menaik-turunkan kedua alisnya, menggoda kembarannya.
Yuni menatap Ceres ragu. "Kamu beneran bisa buat kue yang buat lidah bergoyang?"
"Kalau mau goyang lidah, tinggal goyangin aja lidahnya. Sebenarnya, kalau urusan lidah tergantung selera. Ada yang selera merakyat, tapi nendang, ada juga yang selera menengah, dan ada juga selera kaum tajir melintir," jelas Ceres yang sudah berbakat jadi koki.
"Pindah haluan aja kamu jadi juru masuk, dibanding ahli gizi. Gizi kamu aja kayaknya kurang, Res," ledek Yuni.
"Kita lihat ya, Ceres sih yakin bakalan jadi ahli gizi," ujar Ceres dengan kesombongan yang melejit. Dalam kamus kehidupannya, tak ada yang namanya slogan merendah untuk meroket.
"Bunda tunggu kamu jadi ahli gizi ya, Res. Awas aja enggak jadi ahli gizi, Bunda teror kamu," ancam Yuni.
"Daftar menu di toko Bunda yang dulu mana? Lumayan jadi bahan referensi."
"Ada di rumah kayaknya, hari ini niatnya Bunda cuman mau beres-beres."
"Pembukaan toko kapan?" tanya Misis, otaknya berpikir keras mencari ide yang cocok untuk pembukaan toko kue bundanya.
"Mungkin dua atau tiga hari lagi," jawab Yuni setelah bungkam beberapa saat.
"Kita lagi ujian pas pembukaan," keluh Ceres saat menyadari hari ujian dan hari pembukaan toko bundanya berbarengan.
"Nanti aku yang bantu," saut Bintang tiba-tiba.
"Lu enggak ujian?" tanya Ceres dengan tatapan heran.
Yuni tersenyum simpul. "Dia ngerjain ujian secepat kilat, otaknya kelewat encer," puji Yuni membuat Bintang tersenyum sombong.
Terpampang jelas di wajahnya kalimat Kemampuanku luar biasa, bukan? Kalian mah apaan?
"Idih, sombong," ujar Ceres yang iri, karena otaknya tak selancar Bintang. Coba bayangkan bila dirinya memiliki otak seperti Bintang?
"Iri bilang Bos." Bintang tersenyum mengejek, dirinya saat ini tengah berada di atas angin.
"Enggak di rumah, di sini, kalian debat mulu," cibir Yuni geleng-geleng kepala.
"Kalau encer, ajarin kita dong," pinta Ceres memiliki akal bulus yang sudah ia rancang.
Bintang mengedikkan bahunya acuh, dirinya tak ingin melakukan pekerjaan amal untuk cewek menyebalkan itu.
"Bentar lagi Bunda mau pulang, kalian masih mau di sini dan dikunciin sama Bunda atau ikut Bunda pulang?" Pertanyaan Yuni terdengar seperti ancaman di telinga mereka, bayangkan saja dikunci di dalam toko kue, tak ada makanan kecuali tepung, gula, dan bahan kue lainnya.
Bersama memang belum tentu menyelesaikan masalah, tetapi mereka percaya bahwa dengan bersama mereka akan saling menguatkan.
"Bintang?" panggil Ceres saat mereka sudah berada di dalam mobil.
Bintang hanya bergumam tak jelas menanggapi panggilan Ceres. Dirinya yakin bahwa cewek yang duduk di sampingnya akan mengajaknya beradu argumen kembali.
"Rumah beneran punya lu?" tanya Ceres sedikit ragu.
Bintang mengangguk, masih tidak ingin membuka suaranya.
"Dapat duit dari mana?" tanya Ceres lagi, dirinya tahu bahwa pertanyaannya sedikit lancang, tetapi dirinya sudah kepo akut.
"Balapan." Jawaban Bintang sudah Ceres duga.
Bukannya bungkam, Ceres kembali membuka suaranya, "Kok berani?"
"Untuk bertahan hidup," jawab Bintang seadanya.
"Emang lu ng--"
"Bisa diam enggak? Kalau mau ngajak debat, bahas yang lain," potong Bintang dingin. Ia tak ingin kehidupan pribadinya terlalu diketahui oleh orang lain, terutama keluarga Wijayanto.
Ceres bungkam, dirinya tak lagi membuka suara. Batasan itu terpampang nyata. Elsa versi cowok saat ini tengah duduk di sampingnya, memejamkan kedua matanya, entah karena lelah atau tak ingin diganggu Ceres dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuka kembali luka lamanya.
Bintang menghela napasnya jengah, perasaan bersalah menghantui pikirannya. Ceres memang terkadang menyebalkan, tak tahu batas, dan kadang otaknya tak dipakai, tetapi Ceres memiliki aura kenyamanan seperti calon bunda tirinya.
***
Rasa penasaran anak kecil itu membuatnya berulah nakal, ia mengintip sedikit celah pintu yang tak tertutup rapat.
"Kamu selalu mikirin perempuan itu, kamu jarang pulang karena kamu masih ada hubungan kan sama dia?" Perempuan itu terduduk lesu di atas kasur, derai matanya tak juga berhenti mengalir.
"Aku baru pulang karena cari nafkah, buat kita." Sang suami mencoba bersikap lembut, menenangkan istrinya yang masih cemburu buta.
"Jangan bohong, kamu pontang-panting cari duit yang berhubungan sama Wijayanto itu kan?!"
"Kamu mau ngasih makan Bintang pakai duit itu? Duit dari Kakek Tua yang ngebuat bisnis kamu bangkrut?!" Adu mulut mereka tak kunjung usai, ada api yang membara di hati mamanya yang belum juga berdamai dengan masa lalu.
Sang suami yang sudah lelah akhirnya tersulut emosi, merasa tak dipercaya dan direndahkan di hadapan istri membuat dirinya mau tak mau main tangan.
Anak kecil yang masih mengintip di balik pintu hanya terdiam membisu, tak berani mengeluarkan suara. Bulir air matanya lolos satu persatu, mengalir membasahi kedua pipinya, hatinya ikut tercabik saat sang mama dipukuli oleh papanya yang baru saja pulang entah dari mana.
Matanya yang semula terpejam mau tak mau terbuka. Suara Ceres yang berusaha membangunkannya, menyelamatkan Bintang dari mimpi buruk yang selama ini menyekik.
"Kenapa nangis?" tanya Ceres pelan, kedua matanya menyadari beberapa bulir mata membasahi pipi Bintang setelah cowok itu bangun dari tidurnya.
Badannya menegang, dirinya dilanda rasa malu karena menangis di depan Ceres. "Itu belek."
Jawaban Bintang membuat Ceres tertawa renyah. "Belek mana ada di pipi, yang kayak gini otaknya encer?"
"Kamu mau ngajak debat lagi? Aku baru bangun, masih di awang-awang."
Ceres mengangguk, ia merasa prihatin melihat cowok yang saat ini menatapnya. "Kalau kamu enggak mampu menanggung semua itu di pundakmu, ada kita yang sanggup mendengar kisahmu." Ceres tersenyum tulus, tangannya mencoba menepuk pundak Bintang.
Bibirnya ikut melengkung, perasaan hangat itu menjalar memenuhi ruang hatinya. Tepukan Ceres sedikit kaku, tetapi mampu membut Bintang sedikit percaya bahwa ada yang peduli padanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing You (Completed) ✅
Teen FictionAnggita Ceresdwiana yang memiliki segudang keburukan dan beberapa kelebihan yang membuat orang-orang menyayanginya dan betah berteman dengannya. Tetapi, ia selalu dibanding-bandingkan dengan saudari kembarnya--Anggiya Misisdwiana yang memiliki sejut...