Jealous

73 19 18
                                    

Ceres terduduk dalam diam, sedari tadi ia membisu, bibirnya kelu tak dapat mengeluarkan kata-kata yang tepat untuk kejadian yang baru saja ia alami. Pikirannya kalut, ia merasa takut. Selama ini dia diintai dan parahnya ialah, yang mengintai kehidupannya dan Misis adalah orang yang tahu luar dan dalam tentang keluarganya.

Ia benci seperti ini, tak memiliki pilihan yang lebih baik. Menjadi pacar Teru, jelas bukan kemauan hati dan dirinya. Jika pilihan itu tidak diambil, Teru bisa saja menyebarkan foto tersebut ke khalayak ramai, pastinya Misis dapat mengetahui foto tersebut. Cepat atau lambat.

"Res? Ngga latihan basket? Bentar lagi turnamen, loh!" tegur Misis yang baru saja memasuki kelas bersamaan dengan Teru yang ada di sampingnya saat ini.

"Sebentar, mau ganti baju dulu."

Misis mengangguk, ia melirik Teru lalu kembali menatap Ceres yang sibuk membereskan barang-barangnya setelah mengeluarkan seragam basket sekolahnya.

"Jangan ngelayap, ada yang mau gua omongin nanti di rumah, tentang Reno."

Satu kalimat yang keluar dari bibir Misis membuat pergerakkan Ceres terhenti seketika. Ceres menatap Misis yang wajahnya saat ini tanpa ekspresi membuat Ceres mengangguk lemah. Jika calon ratu telah bertitah, maka upik abu akan melaksanakan perintahnya. Tanpa tawar menawar.

Setelah anggukan Ceres, Misis dan Teru akhirnya berjalan meninggalkannya dalam ruang kelas yang hanya tinggal dirinya sendiri.

Seperti biasa, Ceres bergegas menuju ruang ganti meninggalkan tas yang berisi buku paket setebal kitab suci di ruang kelas beserta gawai di kolong mejanya.

***

Ceres geram bukan main. Rasa marah, takut, serta bingung menjadi satu setelah dirinya berhasil keluar dari ruang ganti.

Foto-foto yang berada di genggamannya menjadi alasan dirinya terkunci dalam ruang ganti selama hampir dua puluh menit. Kedua netranya melirik pintu ruang ganti yang terlihat naas, pintu yang baru saja ia dobrak sudah tak berfungsi secara normal.

Awalnya ia berpikir untuk menghubungi Misis atau temannya yang berada di lapangan basket, tetapi saat ia tahu bahwa gawainya tak berada dalam genggamannya ia hanya bisa berpikir bahwa pintu yang menjadi penghalang ia dan si peneneror harus ia buka secara paksa.

Kakinya segera melangkah menuju ruang kelasnya untuk mengambil barang-barang yang sempat ia tinggal. Dahinya mengerut saat kakinya sudah sampai tepat di depan pintu kelasnya yang sudah tertutup, matanya melirik jam yang bertengger di pergelangan tangan kirinya. Jam masih menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit, masih ada waktu tiga puluh menit sebelum ruang kelas dikunci oleh satpam yang bertugas. Tapi mengapa pintu kelasnya sudah dikunci rapat?

Ceres mendesah lemah, ia lelah bermain tebak-tebakan dengan penguntit yang sangat betah mengusik kehidupannya dengan Misis.

"Udah latihannya?"

Ceres terlonjak kaget mendengar pertanyaan seseorang di belakangnya. "Hah?"

"Ayo pulang, bareng aja sekalian. Gua udah selesai latihan soal barusan." Ceres mengangguk, tak ingin Misis tahu bahwa tas dan gawainya masih ada di dalam kelas yang saat ini terkunci.

"Cepetan, Teru di depan udah nunggu." Badan Ceres seketika menegang, ia segera menarik pergelangan tangan Misis lalu menggeleng pelan. Ceres takut, ditambah lagi dengan kejadian ruang kelasnya yang saat ini terkunci membuat Ceres yakin bahwa pelaku utamanya adalah Teru.

"Lu kenapa sih?!"

"Gua pulang sendiri aja," tolak Ceres membuat Misis semakin bingung.

"Lu nolak ajakan gua sama Teru pulang bareng karena Reno udah nunggu atau gimana?"

Ceres menghela napasnya, menetralkan jantungnya setelah ketangkap basah. Misis mengeluarkan foto yang sedari kemarin mengganggu pikirannya, foto yang sama persis Teru tunjukan kepadanya.

"Ini lu dapet dari mana? Teru?" tuduh Ceres yang sudah tak kuasa menahan rasa keponya.

"Teru? Maksud lu?" tanya Misis yang malah dibuat semakin bingung.

"Foto ini lu dapetin dari Teru, kan?"

Beberapa saat Misis terdiam, otak cerdasnya mencoba mencerna pertanyaan yang dilayangkan oleh Ceres.

Misis tertawa kecil, "Jadi lu nuduh Teru karena foto ini? Mending lu ikut gua sama Teru, supaya lu bisa tahu sedikit kebenaran yang gua sama Teru kumpulin."

***

Ceres duduk di sofa yang langsung berhadapan dengan Misis dan Teru yang masih ada jarak pemisah meja kaca yang dilapisi oleh taplak berwarna merah bata.

"Kita mulai dari mana?" tanya Teru yang terlihat antusias.

"Gua mau bahas Reno dulu, ada sanggahan atau pengakuan?" tanya Misis yang berusaha sedikit bersikap santai dengan menyenderkan punggungnya di sofa.

Ceres menggeleng, "Ngga ada sanggahan ataupun pengakuan."

Misis tersenyum sinis, dirinya sudah terbakar oleh perasaan cemburu karena merasa tersaingi oleh kembarannya yang tak tahu diuntung.

"Jadi yang lu maksud omongin dengan baik-baik tanpa pakai emosi saat selesai pertandingan Reno kayak gitu?"

"Lu ngga tahu kemarin hujan? Kemarin kita kebasahan, ngga bawa jas hujan dan berakhir neduh di pinggir jalan."

Misis bangkit dari tempat duduknya. "Apa harus pelukan kayak gitu?" tanya Misis yang kentara sekali bahwa ia tak suka apa yang ia punya terbagi oleh orang lain.

"Lu tahu kita udah punya konflik dalam keluarga dan lu ngebuat konflik baru lagi di lingkungan sekolah. Hidup lu tanpa konflik apa kurang seru?!" tanya Misis dengan suara yang lebih tinggi.

Ceres memejamkan matanya, menguatkan dirinya yang sudah ingin menyumpah serapahi Misis karena kelakuan Reno yang memeluknya dari belakang tanpa ia minta.

"Saat lu main hakim kayak gini, apa lu udah nanya sama Reno soal gua yang minta dipeluk atau dia yang meluk gua secara tiba-tiba?"

"Orang ketiga ngga bakalan masuk, kalau salah satu dari pasangannya ngga buka pintu duluan," bela Ceres mulai menatap Misis dengan berani.

"Sekarang lu ngaku kalau lu suka sama Reno?" tanya Teru yang membuat Ceres terkejut.

"Bukannya lebih baik jujur di saat seperti ini? Supaya masalah ini ngga makin runyam."

"Tanpa lu jujur juga, masalah ini udah runyam!" ucap Misis yang masih kesal.

***

Missing You (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang