Wijayanto

54 13 15
                                    

Muncul awan gelap yang semakin menghitam, sebentar lagi hujan akan segera tiba, tak lama bulir hujan akan saling berlomba turun untuk sampai di atas tanah, suara petir yang menggelegar menjadi suara pengiring Wijayanto untuk mendamprat keluarganya sendiri di ruang kerjanya yang bercat coklat tua.

Keluarga Agus tengah duduk manis di atas sofa ruang kerja Wijayanto, wajah mereka terlihat untuk mengingat kembali kesalahan yang ia perbuat sebelum Wijayanto memulai eksekusinya. Tak pandang bulu, ia memukul rata perlakuannya terhadap anak-anaknya, walaupun Agus merupakan anak emas Wijayanto.

"Pengelolaan bisnismu berkembang, seperti koleksi perempuan simpananmu. Entah, saya mesti mengucap syukur atau malu karena sedarah denganmu. Setidaknya, Gus, kalau kamu tidak memikirkan istrimu, pikirkan anak-anakmu. Bagaimana mereka mau menghormatimu? Kalau bapaknya saja macem pria hidung belang." Wijayanto meletakkan data yang ia kumpulkan untuk menganalisis kemajuan perusahaan yang dipegang Agus.

Misis dan Yuni hanya diam menunduk, mereka berdua memang sudah tahu dari dulu. Berbeda dengan Ceres yang sudah geram bukan main saat ini, di saat batin dirinya dan Misis tersiksa, papanya malah bermain api dengan perempuan lain.

"Kamu juga!" Wijayanto beralih menatap Yuni dengan tajam. "Sebagai perempuan harga dirimu ada di mana, Yuni? Tidak malu kah dirimu melangkahkan kaki untuk memasuki rumahku dan berada di sekitar suami dan anak-anakmu?" Peluh dingin terus ia rasakan, karena dicerca habis-habisan oleh ayah mertuanya.

Wijayanto tersenyum mengejek. "Kalian kalau mau lomba selingkuh tunggu agustusan aja, nanti saya adakan lomba 'siapa yang paling banyak punya selingkuhan'. Saya enggak melarang kalian mencari kasih sayang orang lain, tetapi mainnya yang bersih, dong! Masa ketahuan sama saya, sih!"

Wijayanto berpaling, ia menatap anak kembar yang tengah duduk di antara Agus dan Yuni. "Misis? Kamu gagal lagi?"

"Maaf, Kek," cicit Misis.

"Kalau kamu menyesal, seharusnya kamu berusaha lebih baik lagi, bukannya piknik di dunia fantasi," ujar Wijayanto melempar beberapa foto yang ia dapatkan ke hadapan keluarga Agus.

"Keluarga macam apa ini? Agus selingkuh dengan perempuan lain di tempat yang sama dengan anaknya yang sedang double date, sedangkan Yuni ke tangkap basah oleh mata-mata saya di ho-tel," ujar Wijayanto yang menegaskan kata terakhir dalam kalimatnya.

Agus menatap Yuni berang, ia tak menyangkan istrinya bersama laki-laki lain di kamar hotel, yang ditatap sama sekali tak menunjukkan rasa bersalahnya. Karena Yuni berpikir bahwa ini bukan sepenuhnya kesalahan yang ia perbuat, lalu buat apa sang suami marah kepadanya?

"Nasi sudah menjadi bubur. Pembenaran apa pun yang ada di benak kalian tak membenarkan sikap kalian. Nggak malu sama umur?" tanya Wijayanto dengan nada memcemooh.

Wajahnya berubah tegas, ia tak ingin skandal yang baru membuatnya hampir gulung tikar, sebelum terendus oleh media, Wijayanto harus menyelesaikan segala tetek bengek yang diperbuat anak-anaknya. "Hukumannya akan saya buat sama rata, bisnis kuemu akan saya tarik, Yuni. Jika kamu mau kembali memiliki bisnis kue yang telah kamu rintis dari nol itu, kamu tak boleh sampai ketahuan oleh mata-mataku untuk berhubungan dengan laki-laki lain." Yuni awalnya ingin mengeluarkan argumennya, karena tak terima bisnisnya menjadi tawanan ayah mertuanya, namun saat kedua netranya bertemu dengan pelototan tajam milik Wijayanto, semangat berargumennya hilang seketika.

"Peringatan pertama sudah saya layangkan beberapa menit yang lalu, jika kamu berbuat ulah lagi, saya akan mengambil seluruh aset yang saya berikan untuk memenuhi kebutuhan mewah yang keluarga kamu rasakan saat ini. Jika kamu lagi-lagi ketangkep basah oleh mata-mataku bersama perempuan lain." Agus diam, ia tak berani membantah, dirinya tak ingin tinggal di kolong jembatan.

"Satu lagi, Gus ... kamu tak boleh keluyuran saat jam kerja," lanjut Wijayanto.

"Misis dan Ceres, saya enggak mau lagi mendengar ada yang gagal. Jika itu terjadi, kalian harus siap dengan konsekuensi yang saya siapkan."

"Baik, Kek," ujar Misis dan Ceres berbarengan.

"Keluar," titah Wijayanto membuat bokong keluarga Agus serempak bangkit dari sofa yang menghadap langsung ke meja kerja Wijayanto.

***

PLAK!

Tamparan keras telak mendarat mulus di pipi sebelah kiri Yuni. "Saya nyari uang siang-malam, bisa-bisanya kamu selingkuh! Istri macam apa kamu!" maki Agus saat mereka sudah tiba di dalam rumah.

Misis dan Ceres hanya diam, selama perjalanan ia mendengarkan kedua orang tua mereka adu mulut, mereka paham mengapa orang tuanya menggunakan mulut untuk berkelahi di mobil, bukan menggunakan tangan seperti saat ini. Alasannya jelas ia tak menginginkan kecelakaan tragis dalam keluarganya.

"Apa kabar dengan kamu? Apa kamu lebih baik dariku?" tanya Yuni dengan nada getir.

"Papa sama Bunda enggak malu di dengar tetangga?" tanya Ceres berusaha untuk meredakan kemarahan kedua orang tuanya.

Agus dan Yuni sontak menoleh ke arah Ceres. "Ka--"

"Kalau Papa sama Bunda memberikan sebuah pembelaan, apakah Papa sama Bunda bersih dari tuduhan kakek? Enggak, kan?" sela Misis. Gantian Misis yang angkat suara agar Ceres tak kena amuk.

"Udah malam, enggak baik ganggu tetangga." Misis menatap Ceres mengajaknya untuk ke kamar mereka.

Misis tertawa sumbang begitu sampai di kamar, ia merasa bahwa takdir pahit menunggunya di depan mata. Tentang konsekuensi yang diucapkan kakeknya, ia yakin konsekuensi itu akan terjadi.

Ia menatap nanar bingkai foto keluarga mereka, walaupun senyuman yang terbit dari bibir orang tuanya palsu dalam foto tersebut, tetapi Misis masih bisa meyakinkan pada dirinya untuk baik-baik saja.

"Papa, Bunda, Ceres, lagi-lagi aku dihantam kenyataan pahit yang tak berujung. Aku merasakan bahwa kita akan berpisah sebentar lagi," batin Misis. Kedua netranya menerawang langit-langit kamarnya dengan tatapan sendu.

***

Missing You (Completed) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang