"Hallo bang Dimas" aku menghampiri sepupuku yang masih fokus melihat ke arah tv.
"Hmm" dia menghiraukan kedatanganku saat itu.
"Ish nyebelin" jawabku sambil memukul kepalanya dengan sebuah majalah yang ada di atas meja kecil samping sofa.
"Lah ngambek" jawabnya.
Aku tidak meresponnya dan lebih memilih memalingkan wajahku ke arah berlawanan.
"Adik manis" ungkapnya sambil sedikit mengacak rambutku.
"Ada hal yang mau gue tanyain" jawabku.
"Bicara sama gue? Masa belakangin sih?"
Setelah membuat drama beberapa menit, akhirnya aku mau melihat ke arahnya.
"Maksudnya apasih nyuruh-nyuruh siapa itu? Primadona? Buat jagain gue? Emang gue anak kecil harus dijaga-jaga?" jelasku
"Haha ada-ada aja sih lo dek, Primadona? namanya tuh Prima, gue jadiin dia sebagai pengganti kaki tangan mata telinga gue di sekolah buat jagain lo. Waktu SD kan lo sering dibully" jelasnya
"Yaampun bang, itu sih zamannya facebook lagi musim,kamseupay musim, bullying musim. Sekarang kan zamannya kaum milenial, gak mungkin lah ada yang berani bully gue"
"Jangan salah, zaman gue yang baru kemarin lulus aja masih banyak masalah bully terutama cewek sama cewek rebutin cowok tuh"
"Dan gue gak bakal jadi salah satunya" jelasku sambil berlalu menuju meja makan.
***
Setelah makan malam, aku dan keluargaku mengobrol sebentar di ruang keluarga bang Dimas juga ada, ikut bergabung diantara ibu, ayah, dan juga kakakku. Aku sedikit terganggu dengan obrolan malam ini, tidak biasanya ayahku menyinggung masalah pacaran. Aku bukan type orang yang terbuka kepada keluargaku tentang laki-laki karena selama ini aku belum pernah pacaran atau memiliki teman dekat laki-laki. Bukan type orang yang tertutup atau jarang bercerita tentang keseharianku, tapi apa yang mau aku ceritakan karena memang tidak ada yang perlu diceritakan kepada mereka masalah 'pacaran'.
"Neng, kamu kan sekarang udah SMA ya. Kata orang sih masa SMA adalah masa dimana darah muda menggebu-gebu, Papa juga pernah ngalamin. Buktinya, dulu Mama kamu klepek-klepek sama Papa waktu zaman SMA" ungkap ayahku dengan memanggilku 'neng', itu tandanya dia sedang merajuk kepadaku.
"Masa SMA-ku biasa aja kok, pah" jawabku.
"Itu karena kamu belum menemukan sesuatu yang membuat masa mudamu jadi lebih berwarna, dulu Mama juga sama awalnya abu-abu, awam, sama kayak rok kita abu-abu" jelas Mamaku.
"Jadi maksudnya malam ini mau nyeritain masa muda Papa sama Mama? Bukannya kalian gak satu sekolah ya? Oh aku ngerti sekarang, pasti gara-gara besok Papa udah harus ke Malang makanya kalian mau nyeritain masa muda ya?" tanyaku saat itu.
"Bukan, kamu kan sekarang udah SMA ya. Papa mau tanya, udah punya pacar belum?" tanya ayahku.
Belum sempat aku menjawab, kakakku dan bang Dimas sudah tertawa terlebih dahulu, benar-benar menyebalkan.
"Aduh Om, gak bakal ada yang mau sama dia. Galak, jutek, gak ada manis-manisnya kayak le mineral" jawab bang Dimas.
"Hahaha bener juga tuh Pah kata si Dimas. Eh tapi-tapi pas waktu hari apa ya, Adrian lihat Alena lagi ngobrol berdua sama cowok depan gerbang sekolah tuh hahaha" sambung kakakku.
Aku hanya memiringkan bibirku dan terdiam, tidak mau menjawab. Karena kalian tahu, aku benar-benar bingung saat itu, sebal karena jawaban kakakku dan sepupuku, dan malu atas pertanyaan ayahku.
"Papa sih gak akan ngelarang kamu buat pacaran. Asal jangan ganggu sekolah sama jam belajar kamu aja. Justru bagus kalo kamu pacaran, Adrian gak perlu antar jemput kamu lagi neng. Tapi lebih bagus juga kalau gak pacaran, akan lebih fokus belajar. Dua-duanya ada manfaat sama mudharatnya. Pokoknya selama Papa gak ada di rumah, kamu tetep fokus belajar, kamu juga boleh pacaran asalkan equivalent aja mana waktu belajar mana bukan" jelas ayahku.
"Iya Pah, yaudah aku ke kamar dulu ya mau belajar ada tugas" jawabku, padahal saat itu aku sedang malas belajar dan tidak ada tugas. Tapi aku terpaksa bohong kepada ayahku hanya karena ingin keluar dari situasi yang aku anggap menjebak.
"Tenang aja Om, Dimas yang jagain"
***
Obrolan tadi sedikit membuatku kepikiran, orang pertama yang muncul di kepalaku tidak lain adalah Aksa. Apa benar yang ibuku bilang, masa mudaku masih abu-abu, lalu jika iya, apakah Aksa akan menjadi pelukis hariku? Memberi bumbu kehidupan dengan warna yang berbeda dari hari ke hari, kepalaku benar-benar dipenuhi spekulasi malam ini.
Aku lupa, ponselku tadi mati dan belum sempat aku charger. Aku kemudian mengambil charger ponsel yang ada di dalam tasku karena biasanya aku membawanya ke sekolah. Saat aku membuka tasku, aku melihat 2 kotak susu UHT pemberian Aksa masih lengkap dengan post it yang tertempel, aku tersenyum. Lalu aku mengambil 2 kotak susu itu ke atas meja belajar sambil mencharger ponselku, kalau diingat-ingat aku terus melihat post it yang tertempel itu sambil tersenyum, aneh mengingat kelakuan Aksa. Beberapa menit kemudian, ponselku sudah menyala dengan sendirinya. Aku tidak akan berbohong aku kira saat melihat layar ponsel akan ada notifikasi chat dari Aksa, nyatanya tidak. Hanya ada notifikasi grup yang saat aku buka isinya membicarakan hal tidak penting, bukan tugas atau info, tapi berisi kiriman yang meminta like comment untuk postingan Instagramnya. Aku simpan kembali ponselku, membiarkannya mengisi daya. Kemudian, aku mengambil novel filsafat 'Dunia Anna' padahal novelnya sudah berulang kali kubaca, hanya kuambil secara acak dari rak buku meja belajarku untuk sekedar melepaskan perasaan gabut yang melanda. Belum sampai selembar aku membalik kertas, ponselku berbunyi. Tapi aku enggan untuk membukanya, paling itu hanya pesan dari grup. Namun, setelah beberapa lembar aku membalik kertas novel, tidak ada notifikasi baru pertanda pesan masuk. Biasanya kalau grup akan ramai, tapi ini hanya ada satu pesan masuk. Aku penasaran, akhirnya kuhentikan aktifitas membacaku, mencoba melihat pesan masuk dari siapakah tadi. Aku hanya berniat melihat notifikasi dari lockscreennya saja karena siapa tahu itu memang dari grup, tapi saat kulihat ternyata itu pesan dari Aksa yang isinya "Hi Alena".
Saat ini, aku lebih tertarik untuk membalas pesan dari Aksa daripada membaca novel. Kali ini Aksa sukses membuatku melupakan hobi yang biasanya sulit untuk dihentikan apalagi jika kondisiku sedang gabut.
"Siapa?" jawabku pura-pura tidak mengenali pesannya, karena pesan yang dia kirimkan hanya 'Hi Alena' sama seperti pesan pertama yang Aksa kirim kepadaku.
Beberapa detik kemudian, tanda pesanku langsung berubah biru yang berarti telah Aksa baca karena memang Aksa saat itu sedang online.
"Aksa Teandra cowok terbaik, terkeren, terganteng, terpintar seantero sekolah yang sebentar lagi akan punya pacar. Kenal?" itu balasan dari Aksa.
Aku tertawa membaca balasan darinya, tanpa pikir panjang aku langsung membalas pesan dari Aksa itu.
"Gak kenal gue, katanya sih Aksa Teandra udah punya pacar namanya Fian Valen" itu kalimat yang kukirim sebagai balasan kepada Aksa.
"Yang nyanyi lagu 'sayang opo kowe krungu' itu ya? Kan di liriknya ada kalimat 'Ra bakal luntur tresnoku' lo tau gak artinya apa?" jawab Aksa
"Yamana gue tau, lo tanya sama pacar lo dong, kan dia yang nyanyi hahaha"
"Maunya lo yang nyanyi buat gue hehehe"
Itu sebagian hal yang aku dan Aksa bahas untuk berbalas pesan. Malam ini aku senang sekali, merasa hariku yang biasanya monoton sepulang sekolah hanya harus belajar telah berubah, kini ponselku juga lebih berguna sebagai media hiburan, bukan hanya bermanfaat sebagai media informasi dan komunikasi karena aku bisa tertawa dengan Aksa melalui sosial media yang diciptakan Jan Koum bersama Brian Acton ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spekulasi
Teen FictionAlena seorang gadis SMA yang kehidupannya normal, kemudian berubah penuh spekulasi setelah bertemu dengan seorang lelaki bernama Aksa. Berbagai rangkaian kejadian pun terus terjadi sehingga membuat mereka semakin dekat. 'Tidak ada yang pernah membe...