XXII

2K 259 16
                                    











"Kalau saja kau Jaemin yang sama mungkin aku akan mempertemukanmu dengannya."

Pemuda dua puluh empat tahun itu menggigit bibir, upaya sia-sia mengenyahkan rasa bersalah yang hinggap seperti ribuan mesiu menuju tubuhnya secara bersamaan. Bayangan peluk hangat Irene kala itu merundung Jaemin hingg nuraninya, kalimat yang ia ucapkan waktu itu pasti sangat menyakiti hati ibunya.

Aku tidak bisa pulang dengan ibu sekarang, aku bukanlah anakmu bu... Ibu memiliki Jeno dan kakak tapiㅡ Aku akan baik-baik saja bu, jadi jangan terlalu mengkhawatirkan aku ya...."


Jaemin berkedip cepat, "Jadi bibi han merawat ibu sejak ia masuk rs pertama kali di Kanada ?"

"I-bu ?"

"Ah maksud saya ibu Jeno."

"Iya, waktu itu hampir lima tahun nyonya Irene sakit dan tak ada hari tanpa Jaemin disebut olehnya, ia terlihat sangat mencintai Jaemin."ujar bibi han. Kedua matanya menatap Jaemin dan kemudian menatap ke depan.

Sejenak kemudian bibi han berujar, "Apa mungkin ya.. Jaemin itu saudara kembarnya Jeno dan ia telah tiada ?"bibi Han menggeleng,"maaf jika kau merasa tidak nyaman karena kebetulan namanya sama denganmu Jaemin."

Pemuda bersurai merah muda itu menggeleng, enggan mengakui kalau memang dirinyalah yang dimaksud, "tidak apa bibi, ngomong-ngomong boleh saya izin pulang  saya ingin mengambil beberapa barang lagi."

"Tentu saja, jangan sungkan padaku ya."

"Uhm terimakasih bibi."

Malam itu juga Jaemin bersiap dengan coat dan ransel abunya. Dengan kereta bawah tanah Jaemin memutuskan untuk pulang. Padahal terhitung baru seminggu ia menetap di rumah sakit. Tak dapat ia pungkiri rasa bersalah itu terpupuk cukup besar , segalanya persis seperti apa yang diungkapkan Jeno tempo hari. Ireneㅡsang ibu menderita tanpa dirinya.

Hujan masih deras mengguyur saat Jaemin tiba di tujuan padahal ia harus berjalan sekitar satu kilometer untuk sampai ke rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan masih deras mengguyur saat Jaemin tiba di tujuan padahal ia harus berjalan sekitar satu kilometer untuk sampai ke rumah. Menit demi menit rintik hujan yang datang membasahi dedaunan di tanah. Dedaunan yang sudah terpisah dari tangkainya, yang gugur demi menyambut musim dingin.  Tak sampai dua bulan pohon-pohon akan memakai selimut dan jubah putih. 

Setelah menunggu lama dan hujan tidak juga reda, Jaemin nekat berjalan di bawah hujan.  Toh jika sakit ia hanya perlu minum obat dan istirahat.

Rumah di ujung jalan masih sama seperti kali terakhir di tinggalkannya, Ia hampir membuka pintu saat samar perdebatan di dalam terdengar di telinganya.

"Aku sudah tidak pernah memakai obat, tidak pernah memukul Jaemin dan pergi bekerja ke laut tapi aku tak bisa meninggalkan mereka, mereka teman-temanku !"


Autumn In My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang