XXIII

2.1K 269 22
                                    



















Tengah malam Renjun terjaga dari tidurnya, rasanya panas sekali dan ia sudah berkeringat. Bahkan kaus tanpa lengan yang ia kenakan terasa basah. Ingin membuka jendela tapi Jaemin tengah tidur di sebelahnya. Anak itu gampang kedinginan dan imunnya cukup buruk. Renjun mengalah setiap Jaemin menginap, selalu menutup rapat jendela.

Merasa tak tahan dengan hawa panas Renjun beranjak keluar dari kamar, sambil membawa sebungkus cigaret menuju depan rumah.

Semilir angin langsung menerpa tubuhnya begitu sampai di serambi depan rumah. Sudah sebulan ini dirinya mulai mencoba rokok yang biasa hingga elektrik, pelarian untuk rasa frustasi yang mendera seperti bara api yang sulit padam.

Ia dihadapkan pada satu keharusan, Kembali ke Cina dan bekerja di sana lalu menetap di sana.

Jaemin tidak mungkin akan menahannya, tapi mengapa rasanya berat untuk meninggalkan sang sahabat. Bagaimana Jaemin nantinya jika dirinya tidak lagi ada di sini, dan bagaimana cara mengatakan ini pada Jaemin. Renjun merasa berat meninggalkan Korea.

Karena Jaemin.

Tumbuh dari kecil bersama-sama, melihat segala kehidupan sang sahabat seperti mozaik yang pelik. Dan melihat setiap tikungan titik balik, bagaimana sang sahabat dengan tegar menghadapi kenyataan yang sulit ditampik.

Renjun mendudukan diri di kursi malas, sesekali meniup asap dari mulutnya dan juga sesekali terbatuk saat asap itu tak sengaja di hirupnya sendiri.

Amatir memang. Kendati demikian Renjun tidak bisa berhenti  kini pun diantara jari tengah dan telunjuknya terdapat batang rokok baru yang sudah terselip. Dan ia melakukannya,  beberapa kali menggantinya dengan rokok baru.

"Jun, sejak kapan kau merokok ?"

Renjun lupa sesuatu, Jaemin selalu bangun untuk melihat matahari terbit setiap hari. Dengan sweeter turtleneck yang menutupi seluruh leher Jaemin duduk di kursi sebelahnya sambil membawa dua cangkir berisi cairan hitam pekat.

"Tidak lama ini,"jawab Renjun kemudian.

"Begitu, kau.. punya masalah ya ?"

Pandangan Renjun meredup, "akuㅡ harus kembali ke cina."

"Kalau begitu kembalilah."

Renjun berdecih pelan, sesuatu yang tak pernah ia lakukan pada Jaemin. Punggungnya menempel pada sandaran kursi tanpa menyisakan ruang untuk udara dingin pagi masuk. Jemarinya bergerak mematikan rokok di atas asbak.
"Kau serius ?"

Anggukan menjadi jawaban, tanpa tatapan mengiyakan. Jaemin hanya mengangguk sambil melihat ke depan. Halus untuk sebuah gestur penuh kebohongan. Mengapa banyak sekali orang menggunakan kebohongan dengan alibi demi sebuah kebaikan. Lucunya, Renjun membenci sesuatu yang secara sadar ia lakukan.

Membenci kebohongan tapi tetap berbohong misalnya. Hah !

"Jaemin, kau harus menemui kak Jaehyun."

"Untuk apa ?"

"Kak Jaehyun tidak perlu kau hindari, hanya ibumu yangㅡ"

"Ibu Jeno maksudmu"

Renjun merapatkan bibirnya,"sejak kapan kau bersikap seperti Jeno."

"Maksudmu ?"

"Kau mengerikan Jaemin, kau tidak seharusnya bersikap sinis untuk keluarga yang pernah merawatmu semenjak bayi."

Mendengar ucapan Renjun, sebuah kilatan memori menghampiri Jaemin. Tentang sebuah hari sepulang sekolah sepuluh tahun yang lalu.

"Jung Jaemin ! Ah tidak maksudku Lee Jaemin, apakah kau takut wanita pemilik kedai itu akan menjadi ibumu ? Atau kau takut karena memiliki kakak seorang preman  ?"

Autumn In My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang