DARAH.
Mati.
Bunuh.
Bunuh.
Darah.
Mati.
Mati.
Darah
Bunuh.
Bunuh—
Geraman suara tak manusiawi menghiasi ketenangan malam di sebuah lembah bersejarah desa Konoha. Sinar bulan tampak memantulkan diri pada aliran air, memperlihatkan bulan bulat sempurna yang juga terlukis di tengah-tengah perairan tersebut. Udara di akhir musim panas berembus, menggoyangkan dedaunan pohon. Sebuah air terjun terapit oleh dua buah patung raksasa, patung berupa dua tokoh penemu desa ninja pertama, Konohagakure.
Debuman keras tiba-tiba menginterupsi ketenangan malam. Asal debuman muncul dari bebatuan tebing yang berjatuhan ke dalam aliran sungai di bawahnya, tenggelam dan terbawa arus. Pada sepanjang tebing tersebut, berdirilah sesosok perempuan yang menyerupai rubah. Ekor panjangnya bergerak-gerak liar. Dua buah telinga di kepalanya tampak siaga, mencoba mengawasi tiap pergerakan yang tersembunyi dalam kegelapan. Kuku tajam menghiasi jemari lentiknya, membuat ia semakin terlihat tak manusiawi.
Mata merah dengan pupil bergaris vertikal menatap area sekitar dengan liar. Ia kemudian menengadah ke atas, tepat ke arah bulan, untuk meraung. Raungan tersebut amat kontras dengan rupa anggunnya. Sosok itu melecutkan cambuk, lagi-lagi menimbulkan reruntuhan pada sisi tebing yang tengah ia tapaki. Ia menggertakkan gigi, menampakkan dua buah gigi taring yang hampir sama tajamnya seperti kuku yang ia miliki.
Aura mengancam dan berbahaya menguar dari sosoknya. Ia tampak tak terjaga ataupun terkontrol. Kerusakan besar yang terlihat di sepanjang tebing dihasilkan tanpa adanya kesadaran. Kepalanya terasa keruh. Ia mendengar suaranya sendiri yang berbisik agar ia segera beranjak dari sini. Ia harus segera korban untuk dibunuh dan diberi penderitaan tak terperi. Suara-suara itu merongrongnya, membuatnya hampir jatuh pingsan.
Kaki masih menapak pada sisi tebing. Ia berdiri secara horizontal dengan telapak tangan mencengkeram erat sebuah cambuk chakra. Alih-alih sepenuhnya kehilangan kontrol diri, ia kelihatan masih mampu menahan teror dalam kepalanya. Ia berjuang menghadapi efek tak terduga dari kekuatan baru yang belum lama ia temukan. Menghadapi kegelapan di dalam dirinya sendiri sudah menjadi makanan pokoknya sejak kecil. Mengabaikan suara yang bergema secara misterius di kepalanya seolah telah menjadi keahliannya. Ia bertekad pada untuk tidak menyerah. Melemparkan cambuk ke udara, ia mengulurkan tangan guna menyerap balik aliran chakra dari cambuk tersebut.
Tangannya gemetar. Ia berpegangan pada sisi tebing. Kuku-kuku tajam menancap di sana selagi ia melawan gerak tubuhnya sendiri. Mata dipaksakan untuk terpejam. Ia merasakan tumpukan energi yang seolah menarik-narik tiap keping kesadaran dirinya yang masih tersisa, membuat kepalanya begitu nyeri dan pening. Suara geraman tertahan terdengar dari tenggorokan. Ia mencoba berkonsentrasi, mencari-cari sumber cahaya dalam kepalanya yang keruh. Ia mencari, apa pun, sebuah pegangan—sesuatu yang menghubungkannya dengan kesadaran dan kontrol diri.
Naruto mencarinya seraya menahan gelombang kekuatan yang seakan menusuk tiap inci tubuh, membuatnya begitu kesakitan. Naruto berjalan jauh dan lebih jauh di dalam alam bawah sadarnya. Ia mencari serpihan-serpihan memori yang memaksakan diri untuk pudar. Yang ia saksikan hanyalah memori-memori buruk. Mulai dari masa kecilnya yang berat, pertarungannya dengan Sasuke di lembah ini, kematian Jiraiya, hancurnya Konoha oleh Pein, kegelapan yang meliputi diri Sasuke, kematian para anggota Aliansi Shinobi di tangan Uchiha Madara, ribuan mayat shinobi yang tertangkap oleh Pohon Dewa, kematian Uchiha Obito oleh Ōtsutsuki Kaguya, penyerangan Ōtsutsuki Momoshiki ke Konoha di tengah-tengah acara Festival Kemenangan, adanya Perang Besar Kedua, kematian teman-temannya; Tsunade, Kakashi, Sakura, dan Sasuke ....

KAMU SEDANG MEMBACA
Strange Behavior [END]
Fanfictionversi lengkap tersedia dalam bentuk PDF. [R-18] Uchiha Sasuke, seorang Nanadaime Hokage dan juga seorang ayah merasa bahwa kelakuan istrinya menjadi aneh setelah kepulangannya dari misi. Beban yang ia rasakan pasca kematian Naruto sembilan tahun lal...