Gadis itu menegadah dalam lamunannya. Esok hari, jadwal yang ia miliki semakin rapat. Banyak hal yang harus ia kerjakan, tak peduli seberapa lelahnya. Keringat mengucur pun, tak akan mengubah banyak hal. Tugasnya tidak akan berkurang, justru terlihat menumpuk jika nanti ia bersikap malas.
"Jangan sampai suara gue habis pas hari H lomba." suntuk Jennie mendendang bebatuan kecil yang ia lewati di sepanjang lapangan.
Jujur, kepala Jennie sempat pusing melihat ekspektasi banyak orang yang ditunjukan kepadanya. Dari sekian banyak itu, beberapa membuat Jennie tertekan.
Seorang gadis itu lemah, jika sudah lelah. Jennie--sudah melawati batas lelah yang disuguhkan Tuhan pada setiap hamba.
Seharusnya pula, Jennie saat ini berada di ruangan persegi empat untuk melakukan les vokal bersama Mr. Sam. Namun, gadis itu tidak datang. Tidak ingin berlatih dulu. Pun mengabaikan lebih dari dua puluh panggilan dari sang Mama.
Jennie paham, bahwa Mama bukan mengkhawatirkannya. Melainkan mengkhawatirkan bagaimana target kemenangan Jennie di perlombaan vokal tingkat kota beberapa minggu lagi.
"Halo, Kak Jennie!"
Sapaan itu, membuat Jennie mau tak mau menoleh. Ada dua orang gadis disana, melambaikan tangan ceria. Membuat Jennie mendengus kecil, lalu menghiraukan panggilan itu.
Memangnya, mereka siapa berani menyapa Jennie dengan santai?
"Malam ini, gue pergi kemana dulu, ya? Mall--atau restoran? Badmood banget gueee," suntuk Jennie kesal sendiri. Kembali, dering ponselnya mengudara. Membuat Jennie melipat bibir, ketika membaca nama si penelfon.
Lalisa.
"Halo?" sapa Jennie.
Terdengar helaan napas lega di seberang sana.
"Lo lagi dimana, Jen?" Pula nada cemas, yang diutarakan oleh sahabatnya.
Ah, tidak salah lagi. Pasti Mama menghubungi sahabatnya itu. Lalu menyuruh Lisa, untuk mencari tahu dimana Jennie berada.
Awalnya, Jennie ingin mengungkapkan satu kalimat yang paling tidak, bisa membuat Lisa mengerti. Membuat Lisa, tidak merasa khawatir, lalu bekerja sama dengan Jennie agar sang Mama tetap tidak mengetahui keberadaannya.
Yah, hanya itu, jika saja mata Jennie tidak membulat--lalu melepaskan ponsel dari genggaman.
Jika saja teriakan histeris tidak mengudara dari bibir kecilnya.
Jika saja bola itu, tidak terlempar dan meluncur tepat dimana Jennie berdiri.
Jika saja, semuanya tidak berubah menjadi gelap.
●●●
"Pelan-pelan!"
"Ini udah pelan, astaga."
"Tapi perih!"
"Siapa suruh sok jagoan? Denger, ya, kemarin muka lo itu udah babak belur. Sekarang segala kena bola. Lelucon macam apa, huh? Lo kira ini lucu?"
"Otak lo dipake. Siapa juga yang bilang lucu?"
Setelah mendengar kalimat itu--pemuda yang memegang kain kasa langsung menekan dimana luka lebam sang sahabat berada.
"Argh--bangsat! Jangan ditekan juga lah!"
Sialan. Yang tadi itu sakitnya sungguhan.
Pun mereka tak sadar, kericuhannya membuat seseorang terbangun. Kelopak mata yang beberapa menit lalu tertutup, telah terbuka. Bertubrukan langsung dengan terang lampu di ruangan serba putih ini. Secara refleks, jemarinya meraih pelipis. Mengusap pelan, karena pusing yang kembali mendera.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADIGMA
Fanfiction[ Completed ] Ada satu titik dimana ia merasa begitu beruntung, mempunyai segala yang orang lain tak punya. Namun, ada satu titik pula ia merasa begitu sial, tak ingin melanjutkan hidupnya. Ia ingin kebebasan, sebuah fatamorgana yang hanya bisa ter...