Banyak orang berkata, bahwa laki-laki lebih menggunakan logika dibanding perasaan mereka. Melawan kehendak hati untuk diuji kembali dalam pikiran. Menangis itu lemah—kiranya begitu bagi sebagian pemuda. Meski dalam benak, memaki diri sendiri, karena sadar sudah tidak sanggup lagi.
Puncaknya?
Maka mata memerah menjadi pilihan. Tanpa suara, menghindar dari segala keramaian agar sunyi dapat memeluk kekalahannya saat ini. Air mata—itulah kekalahan Jeon Jungkook setelah sekian lama.
"Sial," umpatnya pelan yang kini terduduk diatas tong besi kumuh. Menikmati angin sore rooftop universitas seorang diri.
"Kapan Tuhan dipihak gue?"
Mata bulat itu menengadah, menatap langit yang berubah jingga.
"Sakit—rasanya sakit. Tapi rasa benci itu nggak bisa hilang gitu aja."
"Kapan hukum alam terjadi? Nyawa harus dibayar nyawa, kan? Kapan hal itu berlaku? Kapan Tuhan ambil nyawa si bajingan itu?"
Dendam itu memang sudah terlanjur berakar. Mematikan syaraf kasih pun sayang Jungkook pada Kakaknya sendiri. Terkadang, dendam paling membekas adalah sakit hati.
Sederhana, namun begitu berbahaya, bukan?
Dan yang selanjutnya Jungkook dapati adalah jaket hitam yang mendarat di atas bahunya. Refleks pemuda itu menoleh, menemukan presensi Park Jimin berjalan ke arahnya. Tentu, dengan helaan napas panjang Jimin menghampiri Jungkook.
"Mulut dijaga, dendaman tuh nggak baik!" tutur Jimin.
Jungkook memutar bola mata malas, mengalihkan pandangan agar Jimin tidak melihat matanya yang sendu.
"Nangis itu alami. Lo nggak nangis, lo bukan manusia."
Sialnya, Jimin sudah terlanjur tahu.
"Lawakan lo nggak lucu!"
Jimin terkekeh, membawa bokongnya untuk ikut terduduk bersama Jungkook—meski dengan tong yang berbeda. "Siapa yang ngelawak Jung, astaga. Serius gue, lo kalo nangis ya nangis aja. Nggak bakal gue ejek."
Namun Jungkook tetap diam, bahkan enggan beradu tatap dengan Jimin.
"Tadi gue denger, lo mau hukum alam bener-bener kejadian. Nyawa dibayar nyawa, kan? Kalau gitu, kenapa lo nggak sekalian buat mudah? Bukannya, kalau musuh mati ditangan kita kedengerannya lebih bagus dan menantang?"
Sontak saja tatapan Jungkook menajam. Menoleh ke arah Jimin dengan kekehan sinis, "Jangan lo samain gue sama Taehyung, Jim. Gue bukan pembunuh!"
"Sayangnya, Abang lo itu bukan pembunuh."
"Halah!"
"Dia juga sama hancurnya, Jung. Dia, juga dihantui rasa bersalah. Lo kira, dengan Taehyung diem saat lo salahin dia, lo pukul dia, dia nggak stress, gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADIGMA
Fanfic[ Completed ] Ada satu titik dimana ia merasa begitu beruntung, mempunyai segala yang orang lain tak punya. Namun, ada satu titik pula ia merasa begitu sial, tak ingin melanjutkan hidupnya. Ia ingin kebebasan, sebuah fatamorgana yang hanya bisa ter...