Pandangannya senantiasa terlempar ke jalan. Enggan membuka mulut, bahkan sesekali mendengus tertahan. Oh ayolah, ia bukan gadis kecil lagi, yang keluar rumah saja harus disupiri.
Tidak suka--namun tidak pula punya kuasa untuk menolak. Ucapan sang papa itu mutlak. Terlalu absoulut. Jelas, terlebih dengan acaman, bahwa jika ia menolak, maka pesta pertunangan akan dipercepat.
Gila, memang.
Cih.
Tidak sudi.
"Gue nggak tahu ya, orang yang pengen gue temuin ini ada di rumahnya atau enggak. Jadi kalau kita ternyata puter balik ke kampus, lo jangan nyalahin gue." Setelah mengatakannya, Jennie melipat tangan di dada.
Seokjin mengangkat alis. "Emang lo belum hubungin dia? Telfon dong, gimana sih?"
"Ck. Nggak punya nomor orang itu."
"Jangan sok susah begitu, sosial media di mana-mana. Anak kampus hits kayak lo, pasti sekelilingnya juga anak-anak hits. Pasti temen lo ini punya sosial media seenggaknya instagram, dong?"
Seokjin berisik, Jennie jadi kesal sendiri. "Males dan nggak mau! Tugas lo, cuma antar gue ke kampus. Dan kalau lo keberatan antar gue ke rumah orang itu sebelum ke kampus, turunin aja gue disini!" sungut Jennie.
Seokjin menghela napas. Jennie masih seorang gadis kecil yang cerewet baginya, jadi ia memaklumi itu. Pun tujuannya memang mengantar gadis itu ke kampusnya. Setidaknya, hingga pukul dua belas siang nanti, Seokjin tidak memiliki jadwal apapun di rumah sakit.
"Iya-iya. Gue antar kok," jawab Seokjin.
Beberapa menit setelahnya, juga berkat intruksi Jennie yang kelewat dingin itu, mereka sampai di salah satu rumah. Seokjin akui, rumah ini cukup besar. Modern dan didominasi oleh warna monokrom. Yah, sekeliling gadis itu memang orang-orang di atas rata-rata. Melihat bagaimana dan banyaknya merk terkenal yang tercantum di pakaian Jennie hari ini pun sudah memperlihatkan semuanya.
"Gue perlu turun, nggak?"
"Terserah!"
Ah, Seokjin, tolong bersabar.
Jennie memang semenyebalkan itu.
Setelah memencet bel, tidak lama kemudian keluarlah sosok pria paruh baya. Sosok yang dulu, sempat meragukan kehadiran Jennie. Iya, pekerja di rumah Taehyung. Yakni Pak Jung.
"Nona yang waktu itu, ya?"
Jennie mengangguk singkat. Melipat tangan di dada. Masih sama, seangkuh dulu.
"Kim Taehyung, ada?"
"Oh, ada, kok. Nak Taehyung di ruang tengah. Nona mau masuk atau gimana?"
Jennie menghela napas.
"Masuk."
●●●
Mungkin bagi sebagian pribadi, menyapa hangat ketika masuk ke rumah sebagai seorang tamu adalah hal yang wajib dilakukan. Paling tidak--mengetuk pintu dengan sopan untuk menyampaikan bahwa ada presensi lain yang ingin mengunjungi rumah.
Namun agaknya, berbeda dengan gadis itu. Setelah sampai di depan pintu putih yang menjulang tinggi ini, Jennie justru stagnan. Kebingungan. Takut jika Kim Taehyung syok akan kehadirannya.
Meski sudah pasti syok pemuda itu.
"Nona kenapa belum masuk? Pintunya nggak dikunci, kok. Tadi soalnya ada teman Nak Taehyung juga datang. Ketuk aja," sahut Pak Jung.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADIGMA
Fanfiction[ Completed ] Ada satu titik dimana ia merasa begitu beruntung, mempunyai segala yang orang lain tak punya. Namun, ada satu titik pula ia merasa begitu sial, tak ingin melanjutkan hidupnya. Ia ingin kebebasan, sebuah fatamorgana yang hanya bisa ter...