Rasanya, baru kemarin Jennie merasa lebih hidup. Lebih dihargai layaknya seorang putri. Memperlakukan dirinya, dengan begitu kasih dan juga sayang. Membuat Jennie nyaman meski ia belum menjawab pernyataan.
Setulus itu, Kim Taehyung padanya.
Namun sebuah probematika hidup memang tidak berakhir pada satu orang saja. Ia hidup dikelilingi banyak orang. Berbagai sifat, cara pandang, dan perasaan.
"Kamu itu minggu depan sudah tampil! Kenapa masih hancur begini nadanya?!"
Yang dibentak hanya menundukan kepala.
"Jennie, kamu dengar Mama atau tidak?!"
Mr. Sam, yang notabene guru privat Jennie menghampiri Debora yang tengah kepalang emosi. Berawal dari masuknya Debora ke ruang musik, dimana Jennie yang terus-menerus salah dalam lantunan, kemarahan pun tidak dapat dihindarkan.
"Nyonya, maaf, tapi ini tidak sepenuhnya salah Jennie. Mungkin, saya juga salah dalam mengajarinya."
Debora menoleh, mendapati Samuel Widyanegoro tengah merapihkan kacamata. "Anda tidak perlu membentak putri anda seperti demikian. Salah itu manusiawi," tutur Samuel.
Namun ini adalah Debora Jane Kim yang opininya tidak bisa dibantah siapapun. Sulit untuk menemukan celah agar emosi Debora dapat menurun.
"Tidak perlu menjadi sok pahlawan, Mr. Sam. Saya tidak menyalahkan anda, yang artinya anda memang tidak salah!" sungut Debora.
"Tapi Jennie adalah murid didik saya. Saya terjun langsung dalam mengajarinya musik. Jika Jennie salah, itu ada campur tangan saya, Nyonya."
Jennie menghela napas dalam tundukannya, "Ini bukan salah Mr, kok. Aku yang salah, Mama bener."
Samuel tetap menggeleng. Menatap Nyonya Kim dengan penuh keberanian. Sesama orang dewasa, sudah menginjak umur di atas empat puluh, kiranya bagi Samuel semua bisa diatasi dengan kepala dingin. Terlalu bocah jika saling melempar serapah. Lain cerita jika sudah kelewat parah—mungkin Samuel pun dapat terpancing pula.
"Masalah ini, dapat kita selesaikan baik-baik, Nyonya. Saya yakin Jennie sanggup mengejar ketertinggalannya."
"Sanggup anda bilang? Ingat waktu, Mr. Sam. Mengejar ketertinggalan tidak seinstan itu. Sekarang saya tanya, sudah berapa kali anak saya membolos saat ada jadwal?"
"Nyonya, saya akui, jadwal yang anda berikan memang sulit untuk dijalani. Putri anda, harus bertemu saya lima hari dalam seminggu. Itu, cukup berlebihan. Terlebih Jennie mengaku, bahwa ia memiliki kesibukan lain. Jadwalnya saling tumpang-tindih."
Debora mendengus jengah, melipat tangan di dada dengan begitu angkuh. Tidak peduli sekalipun lelaki dihadapan lebih tua lima tahun darinya, "Anda itu guru musik putri saya! Anda harusnya menegur dia jika dia salah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
PARADIGMA
Fanfiction[ Completed ] Ada satu titik dimana ia merasa begitu beruntung, mempunyai segala yang orang lain tak punya. Namun, ada satu titik pula ia merasa begitu sial, tak ingin melanjutkan hidupnya. Ia ingin kebebasan, sebuah fatamorgana yang hanya bisa ter...