part 11

260 11 0
                                    

Tiga bulan lalu dokter mengaku sudah membinasakan sel tumor di kepalaku. Iya, sakit kepala yang pernah menyerangku ternyata berbuntut panjang. Awalnya aku rasa ini sakit kepala biasa, tapi di luar dari dugaan. Ada tumor yang tumbuh di dalam kepalaku.

Dan seminggu yang lalu dokter mengatakan bahwa makin lama keadaanku makin membaik. Namun tetap, dokter menyarankanku untuk wajib mengontrol dan mengabari mereka perihal apa saja yang aku rasakan. Dokter sampai berkata kepulihan kepalaku terjadi sangat pesat.

Di samping itu semua aku sempat mendengar desas-desus dari rekan Nara bahwa dia akan pulang lebih cepat dari apa yang direncanakan, Nara berhasil menyelesaikan pendidikan kedokterannya selama setahun di Berlin atau lebih tepatnya ia menyelesaikan pendidikannya di luar waktu yang telah di tentukan. Ini adalah satu prestasi yang membanggakan untuk Nara dan begitupun denganku.

Namun Nara tak mengabariku tentang kepulangannya ini, ada apa dengan wanita itu?

***

Ibu kota kurang bersahabat kali ini. Cuaca sangat panas membakar kulit, aku yang sedang berteduh di sebuah pohon yang berada di taman kampus dengan komputer jinjing yang berada di depanku. Jariku sibuk menari- nari di atas tuts keyboard laptopku, sedikit menyicil tulisan yang sudah hampir mencapai titik akhir. Taklama kemudia datang seorang kawan menghampiriku.

"Bim, di cariin tuh sama pak Ronald." kata lelaki gondrong yang baru saja mengampiriku lalu duduk disebelahku.

"Disuruh untuk meliput? Enggak lah, capek." jawabku seadanya.

"Pak Ronald hanya bisa mengandalkanmu Bim. Kau sangat pandai dalam hal mengangkat sebuah cerita, ya karena pak Ronald tau kau ini penulis."

Aku tak menjawab. Lelaki gondrong itu masih saja berusaha membujukku untuk menerima ajakan Pak Ronald untuk membantunya meliput kesejahteraan desa Barat. Konon, lelaki gondrong itu memberitahu bahwa Pak Ronald ingin mengangkat berita tentang sulitnya pendidikan yang ada di desa Barat. Sebenarnya aku cukup tertarik tentang liputan ini, hanya saja aku masih berkutat dengan tulisan-tulisanku yang akan aku kirimkan ke penerbit 8 bulan dari sekarang.

Setelah beberapa menit lelaki gondrong itu membujukku, akhirnya akupun mengiyakan ajakannya. Setelah di pikir-pikir tak ada salahnya mengiyakan, sekalian
mencari inspirasi di luar sana, siapa tau saja ada yang bisa aku tuangkan ke tulisanku.

"Jadi begini, kita berada didalam satu tim. Satu tim ada lima orang, untuk tiga orang lainnya sudah pak Ronald siapkan. Dua dari kelas Jurnalis dan satu lagi dari kelas sastra Indonesia. Besok lusa kita adakan pertemuan kecil di gedung kampus. Dan kau harus datang." jelas lelaki gondrong itu.

"Iya." Jawabku singkat.

"Oke kalau gitu, aku pergi dulu dan memberi tahu pak Ronald kalau kau jadi ikut."

Lelaki gondring itu menepuk pundakku seraya beranjak dari tempat duduknya. Hari makin terik, kututup layar laptopku dan memasukkannya ke dalam tas. Aku beranjak dari tempat duduk dan berniat untuk mampir kesebuah tokoh buku yang berada di tengah tengah kota. Ku genggam kertas kecil yang berisi judul buku serta penulis yang akan aku cari.

Sesampainya di tokoh buku tersebut aku memasuki lorong demi lorong namun tak ketumakan buku yang sedang aku cari. Sempat menanyakan ke pegawai tokoh tersebut namun ia memberitahu bahwa buku yang sedang aku cari memang tidak ada. Buku tersebut memang cukup susah di temukan karna buku itu sangat langkah dan masuk dalam jajaran buku edisi terbatas. Aku keluar dari tokoh buku dengan wajah yang sedikit kecewa. Kemudian aku duduk di sebuah kursi panjang tanpa sandaran, memandangi beberapa orang yang sedang berlalu lalang. Pandanganku terpaku pada seorang gadis yang sedang duduk tak jauh dari tempatku bersemayam. Gadis itu memakai kaos berwarna biru navy, kacamata yang menghiasi wajahnya, rambutnya terurai panjang. Gadis yang sedang duduk itu sedang membaca sebuah buku dan saat ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dan mengangkat sedikit buku itu, yang tampak jelas terlihat sampul buku yang ia baca. Buku yang sedang aku cari-cari; gumamku dalam hati. Aku bergegas beranjak dari tempat dudukku dan menghampiri gadis itu.

"Permisi." kataku sopan.

"Iya?" jawab gadis itu sambil membenarkan duduknya dan meletakkan buku itu di atas meja didepannya.

"Boleh saya duduk?"

"Ohiya silahkan."

"Maaf sebelumnya, saya hanya ingin menanyakan tentang buku yang sedang kau baca."

"Oh... ini?" sambil mengangkat buku tersebut.

"Iya. Beberapa hari ini saya mencari-cari buku itu. Kalau boleh tau dimana tempat untuk saya bisa mendapatkan buku ini. Karna setahu saya buku ini edisinya terbatas."

"Kau bisa pinjam buku ini. Lagian aku sudah hampir selesai membacanya."

"Apa tidak merepotkan jika aku meminjamnya?"

"Tidak. Memangnya kenapa?"

"Biasanyakan orang lain sedikit sungkan kalau bertemu orang baru."

"Orang baru?" gadis itu sedikit tertawa.
"Aku mengenalmu, kita satu kampus." lanjut gadis itu.

Aku terdiam. Bagaimana bisa gadis ini mengenalku sedangkan akupun tidak pernah melihatnya di lingkungan kampus.

"Kenalin. Namaku Abel Leonie Karia, panggil saja Abel." ucapnya sambil menyodorkan tangan.

Dengan sedikit rasa gugup aku membalas sodoran tangannya. "Aku Bima."

"Oh nama kamu Bima. Aku sering melihatmu di taman kampus, menyendiri terkadang hanya berkutat dengan laptop. Kamu introvert?"

"Bukan tugas kampus. Aku hanya sedang mengerjakan tulisanku yang beberapa bulan ini aku kirim ke penerbit. Aku tidak begitu mudah bergaul, aku hanya mempunyai beberapa teman saja di kampus."

"Kamu seorang penulis?" tanyanya takjub.

"Tidak juga." Jawabku singkat.

"Bagaimana bisa menjadi penulis?" tanya gadis itu lagi.

Karna tak mau berbasa basi aku mengalihkan pembicaraan kembali menanyakan buku yang sedang gadis itu baca.

"Katakan, dimana aku bisa mendapatkan buku itu?" tanyaku mengalihkan.

"Ini untukmu, kau bisa baca."

"Bukannya kamu belum selesai membacanya?"

"Tak apa. Aku sudah pernah menyelesaikannya. Aku hanya membacanya lagi untuk mengingat."

"Oh begitu. Jadi boleh aku meminjamnya?"

"Boleh saja."

Setelah itu kami habiskan waktu untuk berbincang-bincang. Membahas tentang buku-buku yang pernah aku dan dia baca. Abel gadis yang sangat ekspresif dan tidak hanya itu ternyata pemikirannya begitu keritis tentang negeri ini yang sebagian aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan.

Kami ada kecocokan dalam hal pemikiran. Dan aku sangat beruntung bisa bertemu dengan gadis seidealis ini yang mempunyai pemikiran luas tentang apa saja. Dan berharap, aku bisa belajar banyak dari pemikiran-pemikiran Abel.

Senja Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang