Hingga pada suatu malam aku duduk ditaman kota. Cuacanya bersahabat, cerah dan langit di penuhi bintang-bintang. Aku menunggu seseorang yang aku sendiri sudah membuat janji akan bertemu di tempat ini. Dan tak lama kemudian datang seroang gadis yang begitu familiar bagiku. Tak ada yang berubah, hanya saja dia lebih cantik dari terakhir aku melihatnya. Bahkan sudah terlampau sangat cantik. Aku sampai-sampai takjub sendiri melihatnya.
"Sudah menunggu lama ya? maaf aku telat di jalan macet. Aku kangen banget sama kamu." Ucap wanita sambil berlari dan memelukku.
"Iya Ra tidak masalah." Jawabku sambil membalas pelukannya.
Ia melepas pelukannya. Kemudian Nara duduk di ayunan yang tak jauh dari tempatku duduk.
"Gimana hidup di kota Bim? menyenangkan?"
"Ya biasa saja. Hanya saja disini lebih berisik dari apa yang aku banyangkan."
Nara tertawa. "Namanya juga kota Bim."
"Ohiya aku minta maaf baru bisa bertemu denganmu. Banyak hal yang harus aku lakukan demi mewujudkan impianku. Maaf jika menyambutmu tak semeriah saat kau menyambutku datang ke desa." Ucapnya lalu menunduk.
"Tidak apa-apa aku mengerti dengan posisimu yang sekarang. Kau sudah tumbuh dewasa Ra. Aku memahami itu."
Nara kemudian mengangkat kepalanya. "Lalu bagaimana kabar Bunda?"
"Bunda baik-baik saja. Dia selalu menanyakan kabarmu."
"Aku kangen banget dengan suasana disana, melihat matahari terbenam dengan kau Bim."
Aku tersenyum tipis "Banyak hal yang aku lakukan di desa tapi tak bisa aku lakukan disini. Menikmati senja misalnya. Hidupku sudah bergelut dengan tugas-tugas setiap harinya."
"Menjadi dewasa memang seperti itu Bima. Ohiya kamu disini tinggal dimana?"
"Aku menyewa indekos, tak jauh dari sini."
Nara mengangguk.
"Bagaimana kuliahmu? kau mengambil jurusan apa?"
"Psikologi." jawabku singkat.
"Waaaaahhhh... bisa baca pikiran dong?"
"Aku mengambil jurusan psikologi. Bukan perdukunan."
Nara tertawa. "Hanya becanda, maaf."
Kami berdua tertawa lepas.
"Bagaimana tentang buku yang ingin kau terbitkan waktu itu?"
"Sudah terbit sebulan yang lalu Ra."
"Sungguh? waaahh sekarang kamu berhasil jadi penulis dong. Bukunya tentang apa?"
"Biasa, tentang percintaan anak remaja."
"Sangat mengikuti pasar ya? kalau boleh tau judulnya apa Bim?"
Aku menyodorkan buku yang aku ambil dari dalam ranselku. "Nih."
"TAN? waaahh keren, akan aku baca nanti setelah samapai dirumah." ucapnya sambil memandangi buku yang aku berikan.
"Di dalamnya sudah ada tanda tangan penulisnya juga kok." kataku menggoda.
"Iisssshhh nyebelin."
Kami berdua tertawa.
Di malam itu kami berdua bercerita tentang masalalu kami di desa, bercerita rumah pohon milik kita. Dan Nara juga bercerita tentang pengalamannya hidup di kota. Sudah lama kami tak sedekat seperti ini. Ini adalah pertama kalinya kami bertemu di kota ini. Itu pun saat aku mengirim pesan yang kesekian ratus kali.
Jujur saja. Aku merindukan sosok wanita ini lebih dari aku merindukan bunda. Perasaan yang mulai muncul dan tak sempat hilang kini berkeliaran lagi di dalam hatiku. Aku sudah dewasa dan bisa memahami bagaimana rasa persahabatan dan bagaimana dengan perasaan jatuh cinta.
Iya aku mengakui bahwa aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Tapi aku adalah orang tak gampang mengutarakan perasaan, terlebih itu adalah Nara. Aku tak mau kehilangan sahabatku sekaligus senjaku.
"Kau makin tampan sekarang." Ucapnya tiba-tiba
"Ah tampan darimana, jangan seperti itu." Jawabku tersipu malu.
Nara tertawa lepas "Wajahmu berubah derastis, tapi sikapmu tak ada yang berubah sama sekali. Masih saja pemalu."
"Kau juga sama, masih cerewet sama seperti dulu."
Kami berdua tertawa. Suasana malam di taman semakin dingin. Taman tak seramai malam-malam sebelumnya. Hanya ada beberapa muda mudi dan beberapa anak-anak remaja yang sedang berkumpul dengan teman-teman lainnya.
"Setelah buku pertama terbit apa lagi yang kamu rencanakan? Apa ada buku kedua?" tanya Nara.
"Sudah. Hanya saja belum terpikir untuk menerbitkan."
"Sudah ada judul?"
"Melangkah Tanpamu."
"Judulnya berat juga. Aku tebak, pasti ceritanya dari pengalaman pribadimu kan?" Nara tersenyum
"Ngawur. Cerita ini aku ambil dari kisah teman aku di kampus."
"Oh aku pikir dari pengalamanmu sendiri." Nara tertawa mengejek.
"Kau dekat dengan siapa selama kuliah." ucapnya.
Aku terkejut dengan pertanyaan yang di lontarkan Nara kepadaku.
"Tidak ada. Aku belum pernah dekat dengan siapapun."
"Ahh masa iya, cowok sepertimu tidak ada yang mau."
Aku hanya tersenyum tipis. "Kau bagaimana? Sudah ada yang mendekat? Atau bahkan sudah punya pacar selama disini?"
"Tidak Bim, hanya saja ada seseorang yang dari dulu membuatku terjaga saat didekatnya. Dia laki-laki yang istimewa menurutku. Dan dia sangat unik." Ucapnya sambil melihat bintang-bintang lalu tersenyum.
Ternyata selama ini sudah ada peria lain dihatinya, perasaan yang kubangun bertahun-tahun seketika runtuh
hanya dalam beberapa detik. Aku sadar diri, aku hanya sahabat dan tak lebih."Oh begitu. Siapa dia? Teman kuliahmu?"
Nara berdiri dari tempat duduknya lalu menghadapkan tubuhnya kearahku.
Dia menggelengkan kepala. "Kau."

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang
Short StoryKau masih lagu-lagu yang sering aku nyanyikan. Kau bukan hanya orang yang ingin aku bagi ketika aku mendapat kebahagiaan. Kau adalah momen-momen bahagiaan yang pernah aku bayangkan. Kau masih doa-doa yang sering aku panjatkan. Mata yang ingin aku t...