Kami berlima berkesempatan menumpang di salah satu rumah warga desa. Tentunya kami sudah meminta izin sebelumnya. Dan kebetulan Sam kenal dengan pemilik rumah, katanya yang sering di panggil pak Yanto ini adalah orang yang pernah dibantu oleh Sam saat pak Yanto masih berjualan di kota. Seberes makan kami berlima istirahat karna bertepatan hari sudah mulai gelap dan tubuh yang sedari tadi protes meminta untuk diistirahatkan.
***
Pagi datang, membawa sang surya muncul dari lapisan horizon. Bersamaan dengan suara nyanyian binatang pagi, kicauan burung dan kokokan ayam yang berhasil membangunkanku dari lelapnya tidur semalam. Aku melihat kawan lain yang masih tertidur nyenyak. Akhirnya aku bangun dari tidur dan berniat berjalan-jalan sedikit menikmati udara desa yang sejuk. Saat keluar dari rumah pak Yanto menuju halaman rumah. Ya benar saja, pemandangan yang tak kulihat di malam hari akhirnya terpampang di depan mata. Yatuhan indah sekali, gumamku. Gunung yang berdiri gagah serta kabut pagi yang menghiasi puncak gunung dan terdapat danau nan indah berpadu dengan kabut yang menari-nari di atasnya. Kalau boleh aku katakan, mungkin ini sama indahnya dengan Ranu Kumbolo yang ada di pendakian gunung Semeru. Ya walaupun aku belum sama sekali pergi kesana dan hanya pernah melihatnya di internet, mungkin Ranu Kumbolo bisa mendefinisikan sedikit keindahan danau dan gunung yang ada di desa ini.
Namun ada sesuatu yang aku rindu dari suasana ini. Suasana desa masa kecilku. Udara paginya, aroma tanah yang habis di sirami air hujan, rumah pohon, dan banyak hal lagi. Dan saat aku menikmati pemandangan yang ada di hadapanku tiba-tiba suara langkah kaki mendekat dari arah belakang.
"Kamu sudah bangun. Sedang apa?" kata seorang gadis dari arah belakang.
"Ehh Abel. Tidak, hanya menikmati udara pagi hari saja. Bagaimana tidurmu malam ini, nyenyak?
"Ya lumayan." sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang mulai dingin
"Bagaimana agenda untuk hari ini. Kamu siap?" tanyaku.
"Aku tidak pernah sesiap ini dalam hidupku."
Aku tersenyum.
Berapa saat tak ada percakapan di antara kami, aku dan Abel hanya memandangi pemandangan sedang cantik-cantiknya, matahari terbitpun tak kalah cantiknya dengan matahari terbenam yang sering orang-orang dambakan. Tak bisa di pungikiri Abel pun takjub dengan apa yang ia lihat di depan matanya.
"Wah tidak di sangka-sangka pemandangan yang diselimuti malam hari ternyata rupa aslinya seperti ini. Masih heran, kenapa kebanyakan orang memilih hidup dikota ketimbang didesa yang masih asri seperti ini." kata Abel yang tak merubah pandangannya.
"Ya manusia punya pilihan Bel."
"Iya maskud aku kenapa tidak hidup di desa saja yang tidak teralalu disibukkan dengan hiruk-piruk yang ada di kota."
"Tidak semua orang berfikir seperti itu Bel. Dan kamu sendiri kenapa memilih berkuatat pada perkuliahan di kota kota ketimbang mengasingkan di desa?"
"Ya manusia punya pilihan Bim"
Kami berdua tertawa lepas.
Dan entahlah, akhir-akhir ini semenjak perkenalanku dengan Abel terasa hangat dan bersahabat, padahal baru aku mengenalnya kemarin lusa. Namun dengannyalah hal tabuhpun mampu menjadi tawa. Godaan dari sebagian para lelaki adalah, ketika ia mampu membuat dirinya nyaman pada beberapa hal yang ia yakini salah dan berujung menumbuhkan rasa pada sesorang yang baru ia kenali.
Tak lama kemudian posnelku berbunyi, beberapa notifikasi muncul di layar ponsel. Namun beberapa pesan singkat membuatku terdiam sejenank memandang layar posnelku. Nara! ia akhirnya memberiku kabar setelah beberapa waktu menghilang.
"Aku sudah berada di indonesia, aku rindu padamu. Kapan ada waktu untukku?" kata Nara lewat pesan singkat yang ia kirimkan.
Senyum tipis mengihiasi raut wajahku.
***
Hari pertama liputan di mulai. Tepat pukul 09:00 aku dan kawan-kawan yang lain sedang menyiapkan alat-alat yang akan di bawa dan setelah itu kami berpamitan dan bergegas pergi dari rumah pak Yanto. Lalu kami berlima berjalan menelusuri jalan-jalan desa mencari narasumber yang bisa kami wawancarai, namun beberapa warga menolak untuk di wawancarai. Setelah hampir satu jam kami berkeliling dari satu tempat ke tempat lain akhirnya kami menemukan warga yang sukarela untuk di ajak bekerjasama.
Namanya Pak Ilham, umurnya kira-kira 50 tahun. Pak Ilham mengaku sudah tinggal di desa ini sejak 15 tahun yang lalu. Saat kami tawarka untuk diwawancarai pak Ilham sedang menanam beberapa benih padi yang ada di lahan sawah miliknya sendiri. Pak Ilham dengan senang hati menerima dan mengajak kami ke kediaman beliau setelah selesai dengan pekerjaannya.
Sesampainya kami di rumah pak Ilham, kami berlima di sambut dengan ramahnya keluarga beliau, istri dan satu anak perempuan yang berumur 7 tahun. Dihidangkanlah kami beberapa makanan, karna memang sedari pagi kami semua belum sarapan dari rumah Pak Yanto. Pak Ilham salah satunya warga yang bersedia kami wawancarai. Rupanya sangat bersahaja dan kehidupannyapun sangat sederhana, ia bekerja sebagai petani di lahan pribadinya untuk menghidupi istri dan satu anak perempuannya itu. Setelah selesai menyantap lahap makanan yang dihidangkan, kami berlima bergegas menyiapkan alat-alat dan perlengkapan lainnya.
Dan wawancara dimulai
***
Dan setelah hampir satu jam kami mewawancarai pak Ilham kamipun berpamit undur diri dan mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada beliau. Beberapa jawaban yang dikeluarkan oleh pak Ilham akhirnya kami paham bagaimana seharusnya mengetasi problema yang terjadi di desa Barat ini. Terutama di bidang pendidikan. Disisi lain juga terlihat dari semangata anak-anak desalah yang masih kurang untuk menuntut ilmu.
Sempat di satu waktu saat berada di jalan pulang kami bertemu dengan anak laki-laki yang sedang bermain bola dengan kawan-kawannya. Kami berlimapun berhenti sejenak dan berbaur dengan mereka. Saat kami sedang asik bermain dengan beberapa anak tersebut Randy mengajukan pertanyaan kepada beberapa anak laki-laki itu.
"Kamu kalau sudah dewasa nanti ingin jadi apa?" kata Randy pada anak laki-laki yang badannya paling gemuk dari kawannya yang lain.
"Ingin membantu bapak disawah saja." jawab anak itu sehabis menendang bola kearah gawang lawan.
Randy diam sejenak. "Tidak ingin sekolah?"
"Memangnya kalo sekolah kita bisa jadi apa bang?"
"Banyak hal. Bisa jadi dokter, polisi, tentara, pilot dan lain-lain. Tergantung apa yang kamu inginkan." ujar Randy kepada anak itu.
"Pilot itu yang nerbangin pesawat ya bang?"
"Iya benar. Nah kalau ingin jadi pilot harus sekolahnya yang tinggi."
"Oh harus tinggi ya bang. Tapi saya takut tinggi bang, takut jatoh"
Randy tertawa "Maksud sekolah tinggi itu kalo bisa sekolah sampai sarjana. Dan tidak hanya itu, untuk menjadi pilot harus mengambil sekolah penerbangan juga."
Anak lelaki itu termangu melihat ke arah Randy.
"Hmm.. Nanti kamu bakal paham. Intinya rajin belajar dan semangat terus ya, oke?" Kata RAndy sambil mengacak-acak rambut anak gemuk itu.
Dan setelah habis bermain dengan anak-anak desa kami bergegas pulang. Tak terasa hari kian sore dan setelah sesampainya dikediaman pak Yanto ingin rasanya aku mengguyur seluruh badanku dengan air dingin karna kegiatan hari ini yang cukup melelahkan.
***
Setelah habis menyantap santap malam aku keluar dari rumah menuju kursi panjang tanpa sandaran yang berada tepat dihalaman rumah pak Yanto dengan membawa komputer jinjingku dan secangkir kopi.
Malam ini langit memang sedang cantik-cantiknya, rembulan yang sedang purnama beradu indah dengan kawanan gemintang yang seolah menari-nari diangkasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang
Short StoryKau masih lagu-lagu yang sering aku nyanyikan. Kau bukan hanya orang yang ingin aku bagi ketika aku mendapat kebahagiaan. Kau adalah momen-momen bahagiaan yang pernah aku bayangkan. Kau masih doa-doa yang sering aku panjatkan. Mata yang ingin aku t...