Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Waktu terus berjalan maju tanpa henti. Sama sepertiku yang makin tumbuh, kini aku duduk di kelas 3 SMP. Aku dan Nara masih saja saling berkirim kabar walau sekarang tak melalui surat.
"Aku akan berlibur kesana Bim. Menengokmu dan Bunda. Aku akan kesana saat liburan akhir tahun tiba." Katanya melalui pesan singkat lewat ponsel.
"Benarkah? Aku akan memberitahu bunda kalau kau akan kesini." Balasku.
Aku segera memberi tahu bunda kabar gembira ini. Aku berlari menuju ruang tamu, ku dapat bunda yang sedang bermain bersama anak-anak di Yayasan ini.
"Bunda.." Teriakku dari kejauhan.
"Iya Bima, ada apa? kenapa teriak-teriak?
"Maaf bun. Ini Bima dapat kabar dari Nara kalau dia akan kesini saat liburan akhir tahun nanti. Tepatnya bulan depan."
"Ohiya? Baguslah. Ciieee jadi Bima ada temannya lagi dong." Jawab bunda dengan nada menggoda
"Iya dong bun." Jawabku sambil senyum-senyum.
****
Aku mempersiapkan diri untuk kedatangan sahabatku ini. Dalam pesan singkat ia sudah memberi tahu bahwa dia sudah dekat. Dengan gelisah aku menunggu di depan Yayasan mondar-mandir tak jelas. Lalu tak lama ku lihat datang mobil berwarna putih mendekat.
Keluarlah seorang wanita dari dalam mobil itu. Ya benar, dia Nara. Wanita itu tampak cantik. Rambutnya yang sudah terurai panjang, kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, matanya kecoklatan, dan tak ada lagi gigi ompong yang sering menghiasi bibirnya itu.
Aku segera menyusul Nara yang sedang kesulitan mengeluarkan barang-barang dari dalam mobil.
"Sini.. sini biar aku saja. Kau masuklah ada bunda di dalam."
"Ah sudah tak apa Bim."
Aku mengangkat satu koper kecil dan menggandeng satu buah ransel milik Nara.
"Masuklah, akan ku panggilkan bunda."
Ia mengangguk.
Tak lama kemudian datang bunda dari arah dalam. Lalu bunda tersenyum melihat kedatangan seseorang wanita yang kini sudah tumbuh dengan baik di kota.
"Yaampun Nara. Ini benar kamu? Kamu sudah tumbuh jadi wanita yang seutuhnya sekarang. Kamu tumbuh sangat baik di kota. Bunda sampai pangling melihat kamu." Ujar bunda sambil memeluk Nara.
Aku hanya tersenyum tipis dan bergegas pergi membawa barang-barang Nara ke dalam kamar tamu.
"Iya bunda. Nara kangen sama bunda." Jawab Nara membalas pelukan Bunda.
Bunda melepas pelukannya. "Kamu berapa lama disini?"
"Mungkin sampai liburan berakhir Bunda."
"Bagus kalau begitu. Liburannya disini saja sama Bima dan bunda ya. Yasudah kamu istirahat dulu sana, pasti perjalanannmu kemari melelahkan." Bunda menunjuk kamar tamu.
Bersamaan dengan aku yang keluar dari sana.
"Iya bunda terimakasih banyak." Ucapnya sopan.
Bunda beranjak pergi dan aku menghampiri Nara yang masih berdiri di ruang tamu. Kami saling memandang. Langkah kakiku seakan ingin berlari secepat mungkin. Tak kusangka Nara pun melangkah ke arah ku tanpa mengubah pandangannya sama sekali. Kami berdua bertemu, satu pelukan jatuh ditubuhku. Pelukannya sangat teramat hangat dan bersahabat. Lama sekali tak kujumpai wanita ini.
"Kau apa kabar?" tanya Nara tanpa melepas pelukannya.
"Aku selalu baik-baik saja Ra. Kau bagaimana?"
"Aku juga baik-baik. Kau semakin tinggi sekarang."
Aku melepaskan pelukan itu. "Bukan aku yang semakin tinggi. Kau saja yang semakin pendek."
Kami berdua tertawa dan saling berpelukan, lebih erat dari pelukan yang pertama.
***
Seminggu sudah Nara berada disini. Tak ada hari yang membosankan lagi. Tak ada lagi bermain sendirian. Senjaku kembali.
Sore ini aku berniat kembali melihat senja di rumah pohon ek. Tempat biasa aku bermain dengan Nara saat masih kecil dulu. Rumah pohonnya sudah tak lagi sama. Aku sudah memperindah dalam dan luarnya. Tampak lebih layak dan nyaman, tentu saja ini ku persiapkan untuk kedatangan sahabatku.
"Ini kau yang rawat selama aku pergi?"
"Iya dong siapa lagi?"
"Makin cantik. Aku naik duluan ya Bim, aku tidak sabar melihat pedesaan dari atas sana lagi."
"Iya hai-hati Ra."
Nara naik kerumah pohon dan aku menyusulnya dari belakang. Nara takjub, terdiam. Dilihat sekeliling rumah pohon itu, ia menolehkan pandangannya ke kanan dan kekiri, merasa heran tapi ia sangat senang.
Aku menaruh foto-foto masa kecil kami berdua saat berada di Yayasan, menambahkan lampu kelap-kelip menambah kesan romantis. Dan di pojok rumah pohon aku taruh boneka beruang bewarna coklat yang tentunya tak asing bagi Nara.
"Aku tak bisa berkata-kata. Ini Indah banget Bim. Sudah banyak berubah tapi ada yang tak akan berubah" Dia takjub sambil menunjuk nama kami yang tertulis di batang pohon ek.
"Untuk menyambut sahabatku." aku tersenyum.
"Terimakasih atas sambutannya." dia membalas senyum.
Dia mengambil boneka beruang bewarna coklat lalu memeluknya dengan erat. "Putri Elenaaaa." Teriaknya.
Aku tertawa. "Kau ini masih saja seperti dulu. Kalau sudah dengan boneka itu pasti sudah merasa dunia milikmu sendiri."
"Aku kangen banget sama Putri Elena. Tapi tunggu. Dari mana kau dapat boneka ini? bukannya boneka ini hilang saat aku mau berangkat ke kota ya?"
Aku menarik nafas pelan-pelan. Nafasku tak beraturan. Aku terdiam.
"Aku mengambilnya Ra." Kataku
Aku menunduk. Tak ingin ku lihat wajah kecewa dari wajah Nara. Memang benar saat sebelum kepergiannya ke kota, konyolnya aku mengambil boneka beruang miliknya agar ia tak jadi pergi. Aku tak ingin jauh darinya saat itu, hanya dia yang aku butuhkan. Sampai-sampai Nara menangis sampai 2 jam tanpa henti karena tak menemukan Putri Elena, sapaan untuk bonekanya.
"Sudah tak masalah. Boneka ini bisa untukmu saja. Sapa tahu ini bisa mengobati rindumu padaku." Ucapnya sambil tertawa
Aku tertawa kecut.
Aku benar tak menyangka. Senjaku kini kembali di bumi desa. Kami berdua kembali menikmati senja dirumah pohon ek dimana masa kecil kami di habis di pohon ini. Melihat senja, berbincang, bahkan tidur siang di dalam rumah pohon itu. Pernah suatu ketika seluruh warga desa mencari-cari aku dan Nara yang tertidur dirumah pohon itu sehabis melihat senja. Bunda dan warga desa panik, namun kami ditemukan oleh salah satu warga desa yang melihat rumah pohon ini dan mengecek dalamnya.
Masa-masa yang indah untuk tidak di kenang memang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang
Historia CortaKau masih lagu-lagu yang sering aku nyanyikan. Kau bukan hanya orang yang ingin aku bagi ketika aku mendapat kebahagiaan. Kau adalah momen-momen bahagiaan yang pernah aku bayangkan. Kau masih doa-doa yang sering aku panjatkan. Mata yang ingin aku t...