Hari kian sore. Mentari menyelesaikan tugasnya dengan baik hari ini, warna oranye dari mentari senja mencoba untuk menggoda siapa saja untuk menikmati keindahannya. Awan yang kian terlihat seperti gula-gula kapas nampak cantik terpadukan cahaya kemerahan dari balik mentari. Hari ini pun berakhir dengan sempurna, begitupun perbincanganku dengan gadis yang bernama Abel. Kami berduapun beranjak dari tempat duduk kami.
"Ingin melihat senja?" kataku.
"Boleh jika ingin menemani" jawab gadis itu sambil tersenyum.
Aku dan Abel langsung berjalan kaki menuju taman yang tak jauh dari toko buku tadi. Taman hari ini cukup ramai hiruk-piruk dipenuhi muda-mudi yang berkumpul. Saat beberapa menit mencari spot untuk menikmati senja akhirnya aku dan Abel duduk di sebuah kursi panjang tanpa sandaran, lebih tepatnya di dekat abang-abang yang menjual gula-gula kapas.
"Bang beli satu ya." ucap gadis itu kepada abang-abang tersebut.
"Kok belinya satu neng, pacarnya enggak di beliin?"
Sontak gadis itu terdiam. Terlihat Abel yang hanya menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tak gatal sambil tersenyum kecut. Tentu saja akupun hanya bisa terdiam, pura-pura tidak mendengarkan apa yang baru saja di ucapkan abang-abang itu.
Setelah kejadian yang membuat suasana sedikit terasa canggung, akhirnya kami berdua menikmati mentari yang sebentar lagi akan tenggelam dari horizon. Abel yang sedari tadi hanya sibuk menikmati gula-gula kapas yang sempat ia beli di taman tadi.
"Ehhm" aku berdeham.
"Kenapa? kamu mau?" ucap gadis itu sambil menyodorkan gula-gula kapas itu kepadaku.
"Enggak, aku cuman mau menyanyakan sesuatu."
"Yaudah tanya saja, kenapa harus minta izin segala." jawab gadis yang masih menatap dengan gula-gula kapasnya.
"Hhmm, kalau kamu hanya di beri kesempatan berbicara banyak dari biasanya, kamu ingin berbicara pada siapa?"
"Semua hal yang akan habis."
"Contohnya?"
Gadis itu merubah posisi duduknya lalu menghadap kearahku.
"Seperti senja yang sedang kita lihat sekarang dan seperti gula-gula kapas ini."
"Mau bilang apa?"
"Mau bilang kalau manusia masih suka lupa, yang habis itu enggak cuman benda atau makanan saja. Tapi waktu hadirnya manusia juga bisa habis. Menghilang, terus berganti."
Aku terdiam sejenak sambil mengangguk dan mencerna apa yang baru saja gadis itu katakan.
"Sepertinya aku akan lebih banyak belajar sama kamu."
"Hah? tidak salah? Aku yang harus belajar banyak dengan penulis sepertimu."
"Setidaknya ada sudut pandang dari kamu yang selalu membuat aku takjub."
Gadis itu hanya tersenyum sambil melanjutkan menikmati gula-gula kapasnya.
"Ohiya, aku berencana akan menghadiri seminar buku-buku legendaris yang pernah ada didunia loh yang lagi di selenggarakan di Jepang." ucap gadis itu
"Kamu juga pergi? wah kebetulan sekali. Aku juga akan pergi kesana."
"Serius? Kita bisa pergi bareng dong?" ujarnya antusias.
Aku mengangguk mengiyakan sambil tersenyum.
"Dan kau tau? penulis kritis yang pernah ada di Indonesia ini, jajaran bukunya masuk 10 besar buku yang sangat dicari didunia."
"Dia salah satu inspirasiku dalam menulis. Keidealisannya membuat siapa saja takjub padanya, Kata-kata dari Soe hok gie membuat aku sadar bahwa dunia ini teramat sangat luas."
"Luas dalam hal?"
"Ya apa saja. Tentang meraih impian contohnya. Kalau kata Soe hok gie "Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahilah, hidupkan impianmu dan jangan pernah takut melangkah."
"Kalau untuk mengejar dambaan hati?"
kami berdua tertawa.
***
Sesampainya aku di kamar indekosku, aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur dan membuka layar ponsel. Mencoba lagi, mencari kabar keberadaan Nara yang sampai sekarang hilang kabar. Sempat mencuri dengar dari salah satu temannya disini kalau dia sudah pulang dari Berlin. Namun tak kujumpai juga wanita itu. Akupun sempat mendatangi rumah Nara, namun tak kujumpai seseorangpun disana, desas desus terdengar dari tetangga, Nara dan keluarganya pergi beberapa hari yang lalu dengan orang tuanya yang entah kemana, sambil membawa bawaan barang yang cukup banyak, kata seorang tetangga yang tinggal di samping rumah Nara.
Beberapa saat, sebuah notif muncul di layar ponselku.
"Terimakasih untuk senja hari ini."
Aku sempat tersenyum.
"sama-sama" balasku singkat.
Lalu aku menatap langit-langit kamarku, mencerna kembali apa yang sempat Abel katakan padaku. Bahwa manusia sering lupa kalau setiap hal punya masa dan lambat laun akan menemukan akhir dari sebuah awal. Menghilang dan terganti
Aku sampai sempat berpikir yang tidak-tidak soal Nara. Dan pada akhirnya waktu akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan ini. Senjaku akan baik-baik saja, walau tak pernah berada disisi namun pancaran cahayanya mampu sampai ke dalam sanubari. Dan aku titipkan rinduku pada purnama malam ini, yang akan senang hati menerima bahwa ada anak manusia yang rindu setengah mati pada sang kekasih. Karena purnama juga tau bagaimana ia rindu gemintang saat tak ada disisinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang
Short StoryKau masih lagu-lagu yang sering aku nyanyikan. Kau bukan hanya orang yang ingin aku bagi ketika aku mendapat kebahagiaan. Kau adalah momen-momen bahagiaan yang pernah aku bayangkan. Kau masih doa-doa yang sering aku panjatkan. Mata yang ingin aku t...