"Senja akan selalu sama dan akan selalu indah di langit manapun ya Bim".
"Benar. Tapi terkadang mendung juga selalu menghalangi indahnya langit sore saat matahari ingin tenggelam dan sedang indah-indahnya."
***
"Bagaimana keadaan saya dok?" kataku yang sedang duduk didepannya.
"Sebaiknya tuan bima dirawat untuk beberapa hari kedepan. Saya melihat ada pertumbuhan kanker baru yang menyerang kepala tuan bima. Saya khawatir bila tidak cepat di tindaki kanker itu akan meluas."
Saya sontak terdiam, mengingat beberapa hari ini pusing di kepalaku mulai kambuh. Aku keluar dari ruangan dokter itu dengan wajah yang sedikit masam. Ku lihat ponselku lalu aku menelfon bunda.
"Halo bunda?'' katakau lewat ponsel
"Iya halo..... halooo.."
"Mmm ini siapa?"
"Bunda sedang berada di rumah sakit. Lebih baik kamu pulang." kata seorang yang membalas ucapanku dari ponsel.
kemudian telfon terputus.
Aku langsung meminta izin kepada dokter untuk segera pulang ke desa menengok bunda yang masuk rumah sakit. Dokter yang awalnya tidak mengizinkanku akhirnya memperbolehkan aku untuk pulang, dengan syarat setelah pulang menjenguk bunda aku segera menemuinya di rumah sakit untuk melihat perkembangan kanker yang sudah mulai tumbuh dalam kepalaku.
Saat itu juga. Hari itu juga. Aku langsung pulang kedesa. Dengan perasaan yang penuh dengan kekhawatiran, mengingat bunda yang sudah terlalu sering sakit-sakitan. Walaupun beliau sendiri tak pernah mengatakan padaku dan lebih sering mengatakan, "Bunda baik-baik aja. Bunda sering joging 2 kali seminggu keliling desa. Kamu jangan khawatir, fokus saja sama kuliahmu dikota."
Aku sangat paham, dengan suara yang yang sudah sedikit parau ia tidak benar-benar baik-baik saja. Bunda tidak lagi muda. Keriput diwajahnya sudah terlihat. Di waktu senja seperti ini beliau ingin rasanya ada selalu di dekatnya, hanya ingin berbalas budi sudah menyelamatkan ku dari kejamnya kehidupan. Aku sangat paham, beliau bukanlah ibu kandungku sejak dulu. Tapi aku sudah menjadikan dia segalanya bagiku, atau jauh lebih berharga dari kehidupanku senidiri.
***
Hujan mengguyur lokasi pemakaman bunda. Aku sangat terpukul melihat ini semua terjadi. Semuanya terasa singkat dan cepat. Abel yang ada di sampingkupun mencoba menenangkan. Ya.. Abel datang ke pemakaman bunda. Abel mencariku setelah hampir 2 minggu aku tak masuk kuliah. Aku memberi kabar padanya bahwa bunda telah tiada. Dia langsung meminta alamat lengkapku didesa lalu menyusulku kedesa.
"Tuhan lebih menyayangi bunda Bim. Kau harusnya bersyukur bunda pergi dengan perasaan tenang dan bangga bisa melihatmu di saat-saat terakhirnya." ujarnya sembari menenangkanku.
Aku hanya terdiam menatap gumpalan pasir yang terkena air hujan. Tangisanku tiba-tiba pecah, aku tersungkur takbisa menahan diri. Aku marah, kesal, hampir menyalahkan semua yang ada. Tapi apa yang aku lakukan tak akan ada gunanya. Abel mungkin benar, Tuhan memilih bunda untuk Ia ambil lebih dulu karena Tuhan lebih sayang pada beliau.
Beberapa warga yang mengantar bunda ketempat peristirahatan terakhirnya, satu persatu mulai kembali menuju rumah mereka. Sedangkan aku dan Abel tetap berada di tempat. Aku mengelus batu nisan itu seolah aku mengusap wajah bunda. Tangisanku kembali pecah saat mengingat semua kejadian saat bunda mengasuhku dari kecil. Ia tak membiarkan orang lain mengasuhku. Tapi mungkin inilah yang terbaik untuk bunda, agar dia tidak akan pernah lagi merasa sakit yang diderita.
Dengan wajah kecewa. Baju yang basah karna hujan. Aku kembali pulang kerumah. Ada yang aneh. Tidak ada lagi sapaan hangat dari seorang ibu, atau sambutan yang istimewa untuk anaknya yang sudah lama tidak ia jumpai. Aku mematung tepat di depan pintu masuk, segala memori tentang masa kecilku tiba-tiba muncul seperti film-film yang sudah lama tidak di tonton. Dengan mata yang sedikit sembab aku tersenyum. Betapa waktu begitu cepat berlalu, sampai pada akhirnya kepergian sesorang adalah akhir dari kehidupan ini. Tapi aku sudah ikhlas, kepergian bunda akan menjadi pacu jiwaku untuk terus maju, semangat dalam menjalani kehidupan seorang diri. "Bima akan baik-baik saja disini. Tak perlu lagi khawatir dengan Bima. Bunda, tidurlah dengan tenang."
***
Rumah pohon adalah tujuan utama saat pulang kedesa sekarang. Seolah kepergian bunda membuatku sadar atas segalanya. Teruntuk kehidupanku di masa yang akan datang nantinya. Abel selalu berpesan padaku. Jangan larut dalam kepergian seseorang, percayalah tuhan akan menggantikan sesuatu yang hilang itu asalkan kita ikhlas dengan semua yang telah di ambil olehNya.
Sudah hampir seminggu ini hanya Abel yang menemaniku saat berada di desa. Aku sempat mengajaknya kerumah pohon, melihat senja dari atas sana. Ia tentu terkagum-kagum dengan tempat itu. Aku mengatakan, tempat itu aku temukan tidak sengaja saat lari dari kejaran anak-anak nakal desa. Ia sempat menyinggung tulisan yang terukir di dalam rumah pohon itu.
"Nara...." katanya sambil mengusap tulisan yang ada di batang pohon ek.
"Dia senjaku. Kurang rasanya jika melihat senja tanpa dia. Dia orang yang paling aku cinta setelah bunda. Dan sekarang hanya dia satu-satunya yang aku punya dalam hidupku. Dia segalanya." jawabku sambil menatap lembayung.
Abel hanya mengangguk paham.
"Lalu dimana dia sekarang, apa dia datang kepemakaman minggu lalu?"
aku menarik nafas dalam. "Tidak."
Seolah sudah tau bagaimana perasaanku ia mengalihkan pembicaraannya untuk tidak membuatku memikirkan yang tidak perlu di fikirkan.
"Kapan kamu akan kembali ke kota?" tanyaku.
"Kalau kamu sudah baik-baik saja"
"Apaan sih, memangnya aku kenapa? Apa di matamu aku kurang baik sekarang. Aku sudah mengikhlaskan semuanya, pun dengan kepergian bunda. Tidak perlu di khawatirkan lagi."
"Lalu bagaimana dengan hatimu?"
"Hatiku?"
"Iya. Apa hatimu baik-baik saja?"
Aku terdiam menatap senja yang sedikit demi sedikit pamit undur dari tempat dia bernaung. Seolah memberi pertanda bahwa seseorang yang berada di hati selama ini ikut menghilang. "Apa kabar kamu disana, Nara cepatlah pulang."
***
Aku kembali ke kota. Sesuai janjiku, aku menuju rumah sakit untuk bertemu dokter yang sempat menanganiku. Aku merasakan beberapa hari saat berada di desa, sakit kepala yang sudah teramat sakit pernah kurasakan.
Setelah ini perjalananku semakin berat. Kehilangan sosok ibu dalam hidup ini sudah cukup menyulitkan segalanya. Ditambah tumor yang merengut kepalaku mulai meluas. Ya.. tumor, dokter memfonis penyakit yang aku derita. Dan saat ini dokter menyarankanku untuk rutin melakukan pengobatan, terutama untuk melakukan kemoterapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang
Short StoryKau masih lagu-lagu yang sering aku nyanyikan. Kau bukan hanya orang yang ingin aku bagi ketika aku mendapat kebahagiaan. Kau adalah momen-momen bahagiaan yang pernah aku bayangkan. Kau masih doa-doa yang sering aku panjatkan. Mata yang ingin aku t...