part 9

337 10 0
                                    

Sejak malam itu, hubungan kami kembali dekat. Tidak sebagai sepasang sahabat, melainkan menjadi sepasang kekasih. Aku tak mengerti bagaimana mengartikan tentang jatuh cinta, terlebih Dia adalah cinta pertamaku.

Pada hari minggu, dengan menggunakan sepeda motor aku dan Nara berboncengan ke arah pantai. Aku berniat membawanya melihat senja sore ini. Ku parkirkan sepeda motorku dan kutitipkan kepada teman yang tinggal di dekat dermaga.

Aku menggandeng erat tangannya. Berjalan menelusuri panjangnya jembatan, terlihat ada beberapa kapal yang bersandar. Ada yang datang adapula yang pergi. Dermaga sore ini tak lagi ramai hiruk piruk orang yang ingin berpergian dan kembali pulang.

Sesampainya aku di ujung dermaga, terhamparlah pemandangan laut lepas, dengan angin yang menerpa halus kulit, mengibas lembut rambut.

"Lama sekali tak kunikmati senja seperti ini, apalagi denganmu." ucapku.

"iya sama, hidup begini saja sudah cukup bagiku. Semesta sudah memberi banyak hal padaku dan jika aku tak bertemu denganmu di Yayasan dulu, mungkin aku tak berada disini sekarang. Terimakasih atas semua hal baik yang pernah kau berikan Bima." Jawabnya sambil menggamit lenganku.

Kami memandang ke arah dimana senja sedang cantik-cantiknya. Mentari menyelesaikan tugasnya dengan baik hari ini. Dan kini tugasnya akan di lanjutkan oleh rembulan yang tak kalah indahnya saat bersanding dengan kemilau bintang-bintang.

***

Aku dan Nara singgah di sebuah warung untuk menghangatkan badan. Aku dengan segelas kopi hitam dan Nara dengan Teh tawar hangatnya. Tak lama kemudian datang pemuda menepukku punggungku dari belakang.

"Bim tenda dan kayu bakarnya sudah gw siapin noh disana. Gw tinggal dulu ya." Ucap pemuda itu.

"Thanks banget ya bro." Jawabku sambil menepuk telapak tangannya.

"Untuk apa tenda dan kayu bakar?" Kata Nara.

"Untuk kita camping."

Aku menarik tangannya lembut dan menuntunnya ke arah dimana tenda dan beberapa kayu bakar di letakkan. Aku tak mengatakan apapun soal camping kepada Nara, wajar jika ia sedikit terkejut dengan ini.

"Kita benar akan camping disini Bim? Malam-malam seperti ini?"

Aku melepas jaket yang ku kenakan. "Aku akan menyalakan api unggun dan membuat tendanya. Sembari menunggu tenda dan apinya menyala tolong ini di pake ya, aku lupa memberitahumu untuk membawa jaket." Kataku sambil memakaikannya jaket.

"Tumben sekali kau mengajakku camping, apa ini termasuk kencan pertama kita?" Ucapnya sambil menyubit-nyubit lenganku

"Bisa jadi." aku tersenyum

***

Aku mengatur perapian dengan kayu panjang yang aku pegang. Sedangkan Nara sedang berbaring menatap langit yang sedang cantik-cantiknya. Sesekali suara jangkrik terdengar, juga suara arang yang terbakar. Suasan terlalu sunyi untuk suasana seperti ini.

"Kau memang ahli membuatku takjub Bim. Hari ini aku bisa melihat senja dan indahnya langit malam dengan bersamaan." Ucapnya sambil memandang ke arah langit.

"Bukan aku, tapi kau yang menuntunku untuk melakukannya."

"Maksudnya?" Kata Nara sambil mengubah posisinya yang tadinya berbaring, kini terduduk.

"Iya. Darimu aku belajar melakukan yang terbaik Ra, untukmu apa saja akan kulakukan. Asal jangan memintaku untuk membuat pabrik boneka. Itu di luar kemampuanku."

Nara tersenyum lalu menggamit lenganku.

"Kau laki-laki terbaik yang pernah aku temui, bunda adalah wanita terhebat yang pernah aku jumpai, Dan kedua orangtua angkatku. Kalian adalah malaikat penyelamatku, tanpa kalian aku tak akan bisa seperti ini. Duniaku kini lebih indah dari sebelumnya di tambah lagi ada kau Bim."

"Kita masih mempunyai Tuhan, kau dan aku tak pernah tahu dimana orang tua kandung kita berada. Tapi kita masih punya Tuhan yang Maha Pemurah, menitipkan disekeliling kita orang-orang baik. Yang membuat kita seperti sekarang."

"Terimakasih Bim, terimakasih untuk semuanya."

"Untuk apa berterimakasih? Aku tidak merasa memberikan apapun."

"Tanpa kau sadari kau sudah memberikanku segalanya. Kau ingat kejadian saat anak-anak Yayasan mengejekku? Lalu saat itu kau melempari mereka dengan kerikil dan membawaku kerumah pohon itu. Kau bukan menyelamatkanku dari kejaran anak-anak jahil itu saja. Tapi kamu sudah menyelamatkan apa yang hilang dari diriku."

"Apa itu?"

"Kamu menyelamatkan mimpi-mimpiku Bim."

Aku menghela nafas dalam.

"Bukan aku, tapi kau Ra. Kamu yang mampu menghidupkan mimpi-mimpimu sendiri. Aku hanya bisa mendukungmu dari belakang."

"Tapi lebih dari itu, kamu mengajarkanku apa artinya berusaha dan berjuang Bim. Aku tak pernah menyesal bertemu denganmu."

"Aku juga. Jika pertemuan kita di ulang kembali saat berada di Yayasan itu. Aku akan memohon pada Tuhan agar menjatuhkan hatiku padamu saat itu juga, saat kita berumur 7 tahun."

"Alasannya?"

"Enggak tahu juga. Bukannya kebanyakan orang bilang jatuh cinta itu tak perlu alasan ya."

"Dasar, gombal."

***

Aku memijat-mijat pelan pundakku yang pegal dan menyandarkan tubuhku di kursi tepat di bawah pohon yang berada di taman kampus. Hidup menjadi mahasiswa memang susah-susah gampang. Apalagi di kota perantauan, tak ada yang mudah memang dalam hidup. Tugas demi tugas harus kuterima, jam tidurku tersita oleh tugas-tugas yang membuatku kepalaku ingin pecah.

Jam menunjukkan 13:30 bersamaan ku lihat layar ponselku, pesan dari Nara yang menyuruhku untuk menemuinya di taman kota secepatnya. Aku segera bergegas kesana, khawatir terjadi sesuatu kepada Nara.

Aku beranjak dari tempat duduk kemudian berlari menuju parkiran motor dan menyusul Nara yang sudah berada di taman kota.

Sesampainya disana kulihat Nara yang sedang duduk disebuah kursi. Aku berlari menghampirinya.

"Hey Ra. Are you okey?"

Sontak tanpa berkata-kata Nara memelukku.

Nara menatapku dan tersenyum. "Aku akan ke Berlin besok. Aku akan melanjutkan studiku disana. Dosenku mempermudahkanku untuk melanjutkan sekolah kedokteranku Bim."

"Be.. Berlin?" Kataku tak percaya.

"Iya Berlin. Aku akan ke Jerman besok."

"Secepat ini? Kenapa tidak di Indonesia saja?"

"Aku mendapatkan beasiswa Bim, mana mungkin aku sia-siakan kesempatan ini."

Aku hanya tersenyum kecil, beda dengannya yang sedari tadi kegirangan bukan main. Jujur saja ada di hati kecilku yang tak rela jika ia pergi kesana. Jarak akan menjadi permasalahannya. Namun aku tak bisa memaksakannya untuk tetap tinggal di Indoneisia. Ini masalah mimpi-mimpinya sejak kecil, dan aku juga tak boleh kalah, aku juga harus mewujudkan mimpi-mimpiku.

"Berapa lama kau disana?"

"Hanya setahun Bim. Jangan khawatir aku akan tetap mengirimkanmu kabar disana. Dan besok aku akan take off."

Aku berusaha menerima kalimatnya barusan, aku tahu dia kesana bukan untuk main-main dia kesana untuk menghidupkan mimpi-mimpinya itu.

"Aku berjanji padamu Bim setelah urusanku selesai aku akan pulang dan tak akan kemana-mana, aku akn menemanimu lagi melihat senja."

Sontak aku memeluknya erat, sesekali aku mengelus lembut rambutnya.

Semesta telah mengirimkanku sosok perempuan yang tangguh dan pantang menyerah seperti Nara, dia sangat yakin untuk menghidupkan satu persatu mimpi-mimpinya. Dan aku harus rela menghadapi jarak yang terlampau jauh dengan Nara, dan dia juga mengingatkanku untuk menghidupkan impianku kelak.

Jarak akan menjadi teman yang akrab untukku, dengan semua yang aku lalui dengan Nara selalu saja berhubungan dengan jarak. Senjaku akan berada di berlin namun senjaku akan tetap berada di langit manapun dia berada. Rasa rindu akan menjadi bumbu-bumbu di kala sepasang kekasih ini menahan diri di suatu hubungan jarak jauh, itu hal yang wajar. Namun ada hal yang perlu di ketahui tentang hubungan yang terpisah jarak, yaitu kepercayaan. Jika kepercayaan ini hancur, maka hancurlah semua.

Senja Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang